BEGITU unik dan beragamnya Banyuwangi. Setiap desa atau lingkungan selalu memiliki tradisi budaya lokal yang dimiliki. Contoh di Desa Kemiren ada tradisi Ider Bumi dan Mepe Kasur. Di Boyolangu punya tradisi Puter Kayun, Alas Malang punya tradisi Kebo-keboan. Di Bakungan dan Olehsari ada seblang.
Tradisi unik warisan leluhur juga terlaksana di Lingkungan Cungking, namanya tradisi Resik Lawon (membersihkan kain kafan). Lingkungan Cungking terletak di Kelurahan Mojopanggung, Kecamatan Giri, Banyuwangi. Cungking meskipun letaknya berada di wilayah perkotaan, namun masih sangat kental nuansa budayanya. Gandrung pertama wanita berasal dari desa ini.
Tidak salah, nama-nama jalan di Lingkungan Cungking dan Bakungan menggunakan nama kesenian daerah Banyuwangi. Sebut saja, Jalan Kendang kempul, Jalan Angklung Caruk, Jalan Gandrung, dan banyak lagi. Begitu kentalnya nuansa budaya Suku Osing di Cungking, maka semua tradisi di kawasan tersebut tidak pernah hilang serta tidak tergerus kemajuan teknologi.
Sebagai gambaran, tradisi Resik Rawon atau membersihkan kain kafan penutup makam atau petilasan, merupakan tradisi yang disakralkan oleh Masyarakat Cungking. Resik Lawon sudah ada sejak ratusan tahun silam. Hingga kini, tradisi tersebut dilaksanakan rutin oleh warga Cungking. Resik Lawon dilaksanakan pada Kamis atau Minggu antara tanggal 10 hingga 15 bulan Ruwah (kalender Jawa) atau menjelang bulan Ramadan.
Tradisi Resik Lawon diadakan untuk menghormati Ki Wongso Karyo yang merupakan leluhur masyarakat Cungking yang dikenal dengan sebutan Buyut Cungking. Ritual diawali dengan membersihkan makam dan membuka kain kafan penutup makam Buyut Cungking. Kain kafan dimasukkan wadah besek dari anyaman bambu, selanjutnya dibawa ke Dam Krambatan Banyu Gulung di Kelurahan Banjarsari dengan berjalan kaki. Setelah dicuci, Lawon (kain kafan) total sepanjang 100 meter lebih itu dibawa ke Balai Tajuk di Cungking untuk dibilas dan diperas.
Begitu sakralnya tradisi ini, warga sekitar mempunyai keyakinan bahwa air perasan kain kafan tersebut berkhasiat untuk awet muda, serta juga mendatangkan keberkahan dan kesehatan bagi yang meminumnya. Sehingga saat pemerasan kain kafan banyak warga berebut air perasan tersebut.
Setelah diperas tiga kali di dua bak air yang berbeda, barulah kain kafan tersebut dijemur di jalan dengan bantuan bambu dan tali tambang warna hitam. Saat penjemuran, kain kafan harus ekstra hati-hati. Karena pertanda alam akan terjadi bila terjadi sesuatu saat penjemuran kafan.
Pernah suatu ketika, talinya putus dan kain kafan berjatuhan. Benar saja, tidak lama berselang terjadinya pemberontakan G30S-PKI. Ada lagi, saat dijemur kain kafan tidak kering, padahal cuaca saat itu panas, ternyata ada peristiwa petrus tahun 1983. Hal tersebut diceritakan oleh sesepuh atau pemegang kuncen petilasan Buyut Ki Wongso Karyo.
Setelah kering, kain kafan tersebut tidak dipasang kembali di makam atau petilasan Buyut Ki Wongso Karyo. Melainkan kain tersebut dilipat dan disimpan di balai tajuk selama seminggu. Setelah disimpan, barulah kain kafan bersih tersebut dilebuh di sekitar makam Buyut Cungking Ki Wongso Karyo. Kain kafan yang digunakan untuk menutup makam Ki Wongso Karyo akan menggunakan kain baru.
Namun sungguh ironi. Tidak hanya ritual Resik Lawon, berbagai tradisi di Banyuwangi selama ini tampak sangat minimnya generasi muda yang terlibat. Meskipun ada, tapi tidak begitu banyak. Hal ini bila terus berlanjut, sungguh sangat mengkhawatirkan. Generasi baru Banyuwangi dengan pendidikannya yang tinggi, dengan gaya hidup kekinian, dengan pola pikir pragmatis, dan materialistis, perlahan akan menggeser sendi-sendi kebudayaan dan tradisi Suku Osing.
Pertentangan perilaku generasi antara generasi sepuh yang penuh tradisi dan generasi sekarang yang merasa tidak harus terikat tradisi, akan terus ada di masyarakat. Ini sangat dilematis. Generasi muda adalah pewaris Banyuwangi di masa mendatang. Modernitas yang sarat kemajuan teknologi dan pengetahuan, telah mengubah jalan hidup banyak orang dan cara mereka berkomunikasi.
Adat dan tradisi harus tetap dijaga dan dilestarikan. Karena adat dan tradisi merupakan bukti bahwa nenek moyang kita terdahulu mampu menciptakan budaya yang baik dan bermartabat. Era modernisasi ini, jangan sampai menggerus semua potensi warisan kebudayaan Indonesia, khususnya di Banyuwangi. Tradisi mepe kasur di Kemiren, Puter Kayun di Boyolangu, Kebo-keboan di Alasmalang, serta tradisi lainnya di Banyuwangi, semua itu adalah identitas daerah. Ini harus terus dilestarikan, jangan sampai tergerus perkembangan zaman. Tradisi Resik Lawon membuktikan, bahwa pelestarian tradisi masih tetap terjaga dan tidak akan tergerus tantangan modernitas seperti saat ini. (*)