Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Tak Punya Ambulans, Pasien Diangkut Becak

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
Ilustrasi Pemeriksaan Kesehatan

TIDAK mudah bagi masyarakat awam untuk bisa sembarangan masuk ke dalam Lapas Banyuwangi. Penjagaan di Lapas kelas ll-B tersebut sangat ketat. Saat berusaha masuk, pintu berukuran besar sebagai akses utama menuju ke dalam harus dilawan.

Sebuah bel elektrik di bagian pojok, menjadi password awal untuk bisa masuk lapas. Setelah bel dipencet, tidak lama petugas akan membuka jendela mini yang ada di pintu. Di sana, proses identifikasi awal dilakukan petugas, termasuk menanyakan apa keperluan masuk ke Lapas.

Bila lolos sesi ini, maka akses lanjutan pun bisa mulus. Pintu besar di buka dan tamu dipersilahkan masuk. Bila tidak diizinkan jangan harap bisa masuk lebih jauh ke dalam Tidak terkecuali saat Jawa Pos Radar Banyuwangi berkunjung ke Lapas.

Identifikasi awal super ketat juga dilakukan terhadap siapa saja. Saya bersyukur tahap awal ini berhasil dilalui. Begitu diizinkan melewati gerbang utama, pemeriksaan berlaniut dan lebih ketat.

Hanphone dan barang bawaan lainnya yang dilarang tidak boleh dibawa masu. Kartu tamu berwarna merah dengan nomor pun diberikan sebagai tanda yang membedakan dengan penghuni dan petugas lapas.

Lolos pemeriksaan sesi ini, barulah pengunjung bisa menginjak ke dalam bagian utama lapas. Di sana sudah ada Kepala Seksi Pembinaan Lapas Banyuwangi, Sunaryo yang sudah menungu. Langkah lanjutan kemudian diarahkan ke bangunan klinik kesehatan yang berada di sebelah aula utama. Bangunan layanan kesehatan ini menyatu dengan bangunan lain di sana.

Sebagai sarana kesehatan di lapas Banyuwangi, klinik kesehatan tersebut lumayan lega. Bangunan ini memiliki ukuran leba 4 meter dan panjang 5 meter. Bangunan fisiknya cukup terjaga dan terawat.

Dan yang terpenting sebagai ruang pelayanan kesehatan, klinik ini cukup bersih dan mempunyai sirkulasi udara yang memadai. Tidak ketinggalan, meski bernama klinik bangunan ini juga tidak meninggalkan cirinya seperti bangunan lain, tetap dilengkapi dengan jeruji besi. Operasionalnya pun mirip rumah sakit yakni buka 24 jam.

Klinik lapas juga memiliki sejumlah peralatan pendukung medis yang memadai. Alat tekanan darah, tes kolesterol dan darah, denyut jantung, hingga tabung dan selang oksigen. Tampak pula beberapa peralatan lain disana.

Stok obat pun tersedia di klinik untuk aneka ragam penyakit kategori ringan. Ranjang bagi pasien untuk pemeriksaan juga ada. “Alat kami cukup lengkap,” kata Sunaryo. Tinggal di dalam blok tahanan bukan alasan bagi penghuni lapas untuk tidak menjangkau layanan ini.

Untuk bisa mendapat layanan medis, penghuni cukup menyampaikan keluhan ke petugas soal penyakit yang di deritanya. Petugas selanjutnya akan membawa pasien ke klinik untuk menjalani pemeriksaan.

Tidak seperti lapas umumnya, keberadaan sanitasi yang baik disini membuat penghuninya jarang mendapatkan masalah dengan penyakit pencernaan seperti diare dan sebagainya. Kalau pun ada, dari diagnosis yang dilakukan justru lebih banyak ari pola makan yang keliru. Justru demam menjadi penyakit yang sering dikeluhkan oleh penghuni lapas Banyuwangi .

Selain itu, klinik ini juga memiliki dua unit pemeriksaan khusus untuk penderita HIV/ AIDS dan tuberkulosis (TB). Seluruh tahanan yang baru masuk, wajib menjalani pemeriksaan darah. Tujuannya untuk mengidentifikasi potensi terjangkit penyakit tersebut.Upaya ini menjadi bagian langkah dan tindakan lanjutan bila ditemukan potensi penyakit itu penghuni berstatus positif.

Sebagai petugas medis, klinik Lapas dijaga oleh dua petugas kesehatan dengan status perawat. Petugas medis juga merupakan sipir terlatih di bliang kesehatan. Mereka standby setiap hari untuk memberikan layanan pemeriksaan kesehatan kepada warga binaan lapas bila diperlukan. Temmasuk memeriksa kesehatan penghuni lapas yang baru masuk tersebut.

Tersedianya tenaga kesehatan ini masih dirasakan kurang, Klinik kesehatan lapas ini sejauh ini belum memiliki dokter tetap. Hal inilah yang membuat layanan kesehatan yang diberikan baru sebatas penanganan pertama atau mirip dengan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K).

“Kalau mungkin ada dokter, klinik ini bisa melakukan penanganan medis secara cepat. Pasiennya yaitu tahanan bisa pakai BPJS di sini,” beber Sunaryo.  Tidak adanya dokter di klinik, membuat pihak lapas kesulitan untuk mematenkan praktik klinik tersebut.

Keberadaan dokter menjadi rencana lawas dari awak Lapas untuk bisa memperoleh izin operasional klinik lapas menjadi mandiri. Sejauh ini, kegiatan klinik menjadi satu bagian dari kewajiban lapas memberikan layanan kesehatan bagi warga binaannya.

Selain nihil tenaga dokter, klinik ini juga belum memiliki fasilitas kendaraan untuk rujukan pasien. Sejauh ini, pasien yang mengeluh mengalami gangguan kesehatan akan diobservasi lebih dulu di dalam klinik. Bila penyakitnya membutuhkan penanganan lebih, pasien akan dirujuk ke rumah sakit.

Untuk sampai ke rumah sakit, klinik tidak memiliki ambulans. Jadi selama ini, proses rujukan ke Rumah Sakit pasien harus rela naik becak menuju Rumah Sakit. Bahkan bila ada, mobil milik sipir akan menjadi ambulans dadakan menuju rumah sakit. “Ambulans nggak ada. Pakai yang ada saja,” ujar Sunaryo. (radar)