KOMPAS.com – Tari Gandrung merupakan salah satu kesenian tradisional paling khas dari Banyuwangi, Jawa Timur.
Namun di balik popularitasnya sebagai ikon budaya dan pariwisata daerah, Tari Gandrung menyimpan sejarah panjang yang sarat makna dan simbol perjuangan masyarakat.
Asal usul Tari Gandrung
Secara historis, Tari Gandrung berakar dari tradisi religius masyarakat agraris Banyuwangi, khususnya etnis Osing.
Tarian ini merupakan turunan dari Tari Seblang, yang merupakan bagian dari ritual pemujaan terhadap Dewi Sri, dewi kesuburan dan padi. Dalam konteks ini, Tari Gandrung menggambarkan rasa syukur dan cinta masyarakat tani terhadap hasil panen yang melimpah.
Baca juga: Tari Gandrung Asal Banyuwangi: Sejarah, Gerakan, dan Ciri Khas
Menurut penuturan Slamet Dihardjo, seorang budayawan Banyuwangi, istilah “gandrung” sendiri berarti ‘terpesona’ atau ‘jatuh cinta’. Dengan demikian, Tari Gandrung dapat dimaknai sebagai bentuk ekspresi cinta masyarakat terhadap karunia alam.
Menariknya, pada awal kemunculannya pasca-Perang Bayu (1771–1773), Gandrung ditarikan oleh laki-laki yang berdandan seperti perempuan.
Dikenal dengan sebutan Gandrung Lanang, tarian ini bahkan digunakan sebagai media perjuangan melawan kolonial Belanda.
Syair-syair dalam pertunjukannya mengandung pesan-pesan perlawanan. Sosok legendaris terakhir Gandrung Lanang adalah Marsan, yang meninggal pada awal abad ke-20.
Penari gandrung kembali diperankan perempuan
Sejak akhir abad ke-19, terjadi perubahan signifikan pada kesenian Gandrung. Peran penari dialihkan kepada perempuan, konon sebagai upaya mengembalikan hakikat asli tarian tersebut.
Penari perempuan pertama adalah Semi, seorang gadis kecil yang sakit-sakitan dan bernazar akan menjadi penari Gandrung jika sembuh.
Selain itu, instrumen musik pengiring pun mengalami pembaharuan. Dari yang awalnya hanya berupa kendang dan rebana, kini dilengkapi dengan gamelan Osing yang mencakup biola, kempul, ketuk, kenong, hingga kluncing. Gamelan Osing ini merupakan perpaduan antara tradisi Jawa dan Bali.
Tari Gandrung jadi ikon budaya Banyuwangi
Sejak tahun 1970-an, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mulai melakukan revitalisasi terhadap kesenian daerah, termasuk Gandrung.
Di bawah kepemimpinan Bupati Djoko Supaat Slamet, seniman diberi ruang untuk mengembangkan variasi gerak dan komposisi musik. Salah satu hasilnya adalah tarian kreasi Jejer Gandrung oleh Sumitro Hadi pada 1978.

Langkah strategis lainnya datang dari Bupati Samsul Hadi pada awal 2000-an. Lewat SK Bupati No.173 tahun 2002, Tari Gandrung resmi ditetapkan sebagai maskot pariwisata Banyuwangi.
Pemkab Banyuwangi juga menggencarkan pelatihan tari di sekolah-sekolah dan menetapkan Jejer Gandrung sebagai tarian penyambutan resmi di berbagai acara daerah.
Baca juga: Ingin Foto Keren di De Djawatan Banyuwangi, Wisatawan Bisa Sewa Fotografer Murah
Simbolisasi Gandrung sebagai identitas budaya pun dipertegas dengan pembangunan patung-patung penari Gandrung di berbagai sudut kota, termasuk yang paling ikonis di pintu masuk utara Banyuwangi, dekat Pantai Watu Dodol.
Sejak tahun 2012, Kabupaten Banyuwangi punya event tahunan yang dinanti, yakni Festival Gandrung Sewu. Acara ini menampilkan tarian kolosal dari ribuan penari gandrung.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.