GENTENG – Dua peneliti sejarah, Harianto Wibowo dan Bonavita Budi Wijayanto, meneliti kemungkinan ada sisa peradaban masa pra-Puputan Bayu. Dengan menggunakan alat ground penetrating radar (GPR), keduanya ingin mengetahui sisa-sisa peninggalan, seperti gerabah, bata rumah, dan benda lain.
Untuk menghindari dampak buruk, kedua peneliti itu meminta merahasiakan lokasinya. “Kalau nanti ditemukan, masyarakat pasti berbondong-bondong ke sini untuk ikut-ikutan, sementara mereka tidak mengerti tujuannya,” ucap Harianto Wibowo, salah satu peneliti dari Genteng Institut.
Kegiatan itu berdasar catatan sejarah saat Perang Bayu terjadi perpindahan penduduk dari berbagai penjuru di Banyuwangi. Salah satu acuannya, karya ilmiah milik Sri Margana, akademisi UGM Jogjakarta. “Tujuannya murni ilmu pengetahuan untuk kepentingan sejarah,” katanya.
Sementara itu, Bonavita dari tim cagar budaya Banyuwangi, mengatakan kegiatan yang dilakukan itu dengan melihat ciriciri lokasi yang telah umum diketahui kalangan pemerhati. Dalam pelaksanaannya, mereka memang sengaja merahasiakan. “Kita prihatin hutan di Wongsorejo ini. Kini semua orang ke sana untuk mencari batu akik, batu peninggalan rumah tangga masa lalu,” katanya.
Kepercayaan warga terhadap batu bertuah, jelas dia, juga harus dihormati sebagai kearifan lokal. Penemuan arca di kawasan Gumuk Mulek, Desa Kedungasri, Kecamatan Tegaldlimo, itu perlu dipertanyakan. “Berdasar tim ahli Cagar Budaya Banyuwangi, arca itu tergolong jenis benda seni modern,” ungkapnya. Namun, pihaknya menghormati proses pengangkatan atau kepercayaan warga terhadap daya magis dan tuah yang dikandung benda itu. “Kita hanya melihat itu cagar budaya ataukah bukan,” ujarnya. (sli/c1/abi)