detik.com
Muhammad Nashir (35), warga Dusun Krajan, Desa Kembiritan, Kecamatan Genteng, Banyuwangi, memilih jalan hidup yang tak biasa. Ia rela meninggalkan pekerjaannya sebagai guru swasta demi menggeluti pengelolaan sampah.
Bermula dari kesulitan membagi waktu antara mengajar dan mengolah sampah, Nashir akhirnya memutuskan untuk memilih menggeluti kecintaannya pada pengelolaan sampah dibanding mengajar di sekolah. Meski ia memiliki penghasilan tetap yang tergolong cukup, Nashir tak ragu meninggalkan pekerjaannya sebagai guru di salah satu sekolah swasta di Kecamatan Genteng, Banyuwangi.
“Sebelum ini saya sebagai seorang guru di salah satu sekolah swasta di Kecamatan Gentang. Sekitar 5-6 tahunan kami mengolah sampah,” jelas Muhammad Nashir, Rabu (27/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain faktor ekonomi, Nashir beralih menjadi pemburu sampah juga karena kepeduliannya terhadap lingkungan. Ia berkomitmen untuk membantu masyarakat mengelola sampah-sampah yang dibuang dari rumah tangga ataupun saat kegiatan masal.
“Motivasi pertama karena faktor ekonomi juga banyak waktu yang bisa saya lakukan bersosial, berkeluarga jauh lebih banyak yang tidak didapat saat menjadi pengajar,” tambahnya.
Nashir sudah sekitar 5 tahun menjadi seorang pengajar, di saat yang sama ia juga mengolah sampah di rumahnya. Ia mencoba mengoptimalkan waktunya untuk mengolah sampah pada jam istirahat sekolah dan sepulang dari mengajar.
“Saat itu sebagai guru dan mengolah sampah, jam setengah 7 bagaimanapun harus sudah sampai sekolah, jam istirahat olah sampah dan kembali mengajar sampai jam setengah dua begitu terus setiap hari. Akhirnya saya tinggalkan dan memilih lebih fokus mengolah sampah dan bisa membantu menyelesaikan persoalan sampah di masyarakat,” jelas dia.
Sebagai guru swasta, Nashir memiliki penghasilan pasti yang tergolong cukup untuk kehidupan sehari-hari yakni sekitar Rp 1,8 juta per bulan. Saat memutuskan meninggalkan profesinya, ia rempat mendapat pertentangan dari keluarga, namun, Nashir bertekad memilih jalan pengelolaan sampah.
“Kalau pertentangan pasti, soalnya kalau guru berpakaian rapi, bersih, wangi kalau sampan kan bau. Khawatir juga karena guru penghasilannya jelas setiap bulan ada, sedangkan di sampah penghasilannya kadang naik dan turun. Alhamdulillah sampai hari ini lebih besar pendapatannya,” bebernya sembari memilah sampah di tempat penampungan sampah miliknya.
Dari sampah, Nashir berhasil mengumpulkan pendapatan bersih sekitar Rp 4 juta sampai Rp 4,5 juta setiap bulan. Penghasilan itu ia peroleh dari iuran sampah yang diberikan warga secara sukarela, hasil penjualan sampah anorganik, penjualan hasil olahan sampah organik yang sudah jadi maggot dan pupuk pada maupun cair, serta hasil penjualan kerajinan dari sampah anorganik seperti popok bekas yang diubah menjadi vas dan pot bunga.
“Selain sampah organik jadi maggot, saya dibantu mahasiswa yang KKN juga untuk membuat produk kerajinan seperti pot dan vas bunga dari popok bekas yang itu juga bisa dijual,” jelasnya.
“Kemarin juga ada mahasiswa dari UI yang membantu mengolah minyak jelantah jadi lilin aroma terapi,” tambah Nashir.
Untuk memperlihatkan keseriusannya, Nashir membuat organisasi pengelolaan sampah yang diberi nama Fasco Recycle. Fas (Fast) berarti cepat dan Co dimaksudkan untuk kolaborasi. Ia mengajak sejumlah masyarakat untuk berkolaborasi mengelola sampah menjadi barang produk-produk berguna.
“Saya membuat organisasi Fasco Recycle ini untuk mewadahi gerakan pengelolaan sampah berkelanjutan,” terangnya.
Setiap bulan, Nashir dan Fasco bisa mengelola sampah anorganik hingga 1,2 ton sementara untuk sampah organik mencapai 1,5 ton. Kondisi itu pun bergantung pada aktivitas rumah tangga di lingkungannya. Jika ada musim hajatan, maka sampah yang diolah akan lebih banyak.

(auh/abq)