Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Asal-usul Kereta Kencana di Kantor Disbudpar Banyuwangi

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Kepala-Bidang-Kebudayaan-Disbudpar,-Choliqul-Ridha,-berdiri-di-depan-kereta-kencana-kemarin

Didatangkan dari Surakarta untuk Pelangi Budaya

KERETA kencana yang memiliki desain klasik ala Jawa Tengah tersebut beberapa kali digeser dari tempatnya berdiam. Beberapa waktu lalu pernah diletakkan di halaman belakang kantor Disbudpar. Namun, beberapa tahun belakangan, kereta kencana berwarna biru kehijauan tersebut dipajang di halaman depan, bahkan dibangunkan pondok.

Kereta kencana tersebut ternyata memiliki beberapa versi cerita. Menurut Kepala Bidang Kebudayaan, Choliqul  Ridho, kereta kencana itu diberi Keraton Surakarta pada sekitar  tahun 1860-an kepada Bupati Banyuwangi kelima, Pringgokusumo.

Namun, belum sampai  dipakai, kereta tersebut dikembalikan  ke tempat asal karena dianggap tidak sesuai budaya Banyuwangi. “Selang beberapa waktu kemudian kereta kencana kembali ke sini karena dibeli pemerintah daerah,” ucap Ridha.

Berbeda lagi dengan cerita yang  dituturkan mantan Kepala Disbudpar periode 1999-2004, Asmai Hadi. Kereta tersebut katanya dibeli pada masa bupati Purnomo Sidik. “Saat itu daerah hendak menyelenggarakan  pawai Pelangi Budaya,” katanya.

Rencananya, kereta kencana tersebut akan digunakan bupati dan istri saat acara tersebut. Pihak  Disbudpar menghias kereta tersebut seapik mungkin dan menyiapkan kuda penarik terbaik dari Kelurahan Boyolangu, Kecamatan Giri.

Namun, pada hari pelaksanaan, Bupati Purnomo Sidik menolak dengan alasan ingin bersama forum pimpinan daerah (forpimda). Purnomo Sidik waktu itu meminta  camat Banyuwangi yang saat itu dijabat Asmai Hadi menaiki  kereta kencana tersebut.

“Akhirnya ya saya dan istri saya, Diyah Iskanti, yang naik kereta kencana itu,”  katanya sambil tertawa.  Saat menjabat kepala Disbudpar  pada tahun 1999, kereta itu masih berada di Boyolangu. Dengan pertimbangan kereta tersebut merupakan bagian Disbudpar, Asmai akhirnya menggeser kereta tersebut ke kantor yang terletak   di Jalan Jenderal Ahmad Yani Nomor 74 tersebut.

Dia meletakkan di halaman depan sebagai  salah satu properti. Seiring berjalannya waktu, kereta tersebut dipindah ke halaman belakang. Baru pada masa kepemimpinan M. Yanuar Bramuda kereta tersebut kembali  berada ke halaman depan disandingkan  dengan meriam dan batu-batu berbentuk gong.

Bahkan, Disbudpar membangun pondok untuk rumah lindung kereta kencana tersebut. Sebab, kereta tersebut beberapa kali dinaiki pengunjung padahal keadaannya sudah rapuh. Selain kereta kencana tersebut,  ada meriam peninggalan Vereenigde  Oostindische Compagnie (VOC) pada masa penjajahan Belanda.

Meriam tersebut dipajang  dari kantor pemerintah kabupaten beberapa tahun silam. “Meriam  itu pernah mau dijual, tapi kita beli supaya bisa diletakkan di Dispar,” jelas Asmai. Dia memiliki kenangan pribadi dengan meriam itu.

Saat pertama kali meletakkan meriam itu di  halaman depan, Asmai memiliki firasat buruk mengenai posisi meriam yang dihadapkan ke timur. Tepat keesokan hari pemasangan meriam tersebut terjadi peristiwa bom Bali. “Memang  kebetulan, tapi saya rasa sangat berhubungan,” katanya.

Sementara itu, jajaran batu  gong yang terletak di taman Dispar itu dibeli saat masa pemerintahan Bupati Samsul  Hadi. Batu peninggalan zaman purbakala tersebut ditemukan seseorang di Stinggil, Umpak  Songo, Muncar. Batu tersebut dijual dengan harga Rp 500 ribu per buah oleh si penemu. Setelah meminta izin bupati, akhirnya   batu purbakala tersebut diletakkan di Disbudpar.(radar)