RADARBANYUWANGI.ID – Dahulu kala, jauh sebelum suara gemuruh Gunung Raung terdengar seperti sekarang, gunung itu berdiri sangat tinggi dan menjulang. Konon puncaknya sampai menyentuh awan, bahkan sering dikira para petani sebagai tiang langit.
Burung pun enggan terbang terlalu dekat, karena angin di sana bisa membuat mereka hilang arah.
Gunung Raung dulu dikenal sebagai Gunung Sukma Langit, tempat para resi bertapa, tempat para dewa mengintip bumi.
Namun suatu hari, langit bergemuruh. Tanah bergetar. Seekor kera putih raksasa meloncat dari pucuk awan ke pucuk gunung. Ia adalah Hanoman, sang panglima para kera yang sakti mandraguna.
Waktu itu, ia baru saja menyelesaikan perang besar melawan raja raksasa bernama Rahwana.
Baca Juga: Gunung Raung Sering Erupsi Jelang Suro, Mitos Kuno Kembali Terngiang: Kebetulan atau Pertanda?
Rahwana memang sudah gugur, tapi tubuhnya aneh ia punya sepuluh kepala! Sembilan kepala sudah disegel, tapi satu kepala terakhir tetap hidup bebas.
Hanoman tahu, kepala ini tidak boleh dibiarkan. Ia mencari tempat tersembunyi di seluruh Nusantara.
Ia mencari gunung yang tinggi, kokoh, dan dalam. Hingga sampailah ia di Jawa Timur. Ia berdiri di hadapan Gunung Sukma Langit.
Lalu dengan tenaga saktinya, Hanoman mengibaskan ekornya dan memotong puncak gunung itu. Awan terbelah. Petir menyambar. Suara ‘RAUUNG!’ menggema ke seluruh penjuru tanah Jawa. Dari situlah nama baru gunung itu lahir: Gunung Raung.
Setelah puncaknya terbuka, Hanoman melemparkan kepala terakhir Rahwana ke dalam perut gunung. Ia menyumpal lubang itu dengan batu, dan mengurungnya dengan mantra.
Baca Juga: Mitos Portal Gaib Penghubung Alas Purwo dan Gunung Raung: Jejak Kerajaan Lelembut di Timur Jawa
“Sampai akhir zaman, jangan pernah bangkit lagi!” seru Hanoman.
Sejak hari itu, Gunung Raung tidak pernah tenang. Ia bernafas. Ia bergemuruh. Kadang-kadang batunya meleleh, seperti amukan yang disimpan kepala Rahwana di dalamnya.
Page 2
Page 3
RADARBANYUWANGI.ID – Dahulu kala, jauh sebelum suara gemuruh Gunung Raung terdengar seperti sekarang, gunung itu berdiri sangat tinggi dan menjulang. Konon puncaknya sampai menyentuh awan, bahkan sering dikira para petani sebagai tiang langit.
Burung pun enggan terbang terlalu dekat, karena angin di sana bisa membuat mereka hilang arah.
Gunung Raung dulu dikenal sebagai Gunung Sukma Langit, tempat para resi bertapa, tempat para dewa mengintip bumi.
Namun suatu hari, langit bergemuruh. Tanah bergetar. Seekor kera putih raksasa meloncat dari pucuk awan ke pucuk gunung. Ia adalah Hanoman, sang panglima para kera yang sakti mandraguna.
Waktu itu, ia baru saja menyelesaikan perang besar melawan raja raksasa bernama Rahwana.
Baca Juga: Gunung Raung Sering Erupsi Jelang Suro, Mitos Kuno Kembali Terngiang: Kebetulan atau Pertanda?
Rahwana memang sudah gugur, tapi tubuhnya aneh ia punya sepuluh kepala! Sembilan kepala sudah disegel, tapi satu kepala terakhir tetap hidup bebas.
Hanoman tahu, kepala ini tidak boleh dibiarkan. Ia mencari tempat tersembunyi di seluruh Nusantara.
Ia mencari gunung yang tinggi, kokoh, dan dalam. Hingga sampailah ia di Jawa Timur. Ia berdiri di hadapan Gunung Sukma Langit.
Lalu dengan tenaga saktinya, Hanoman mengibaskan ekornya dan memotong puncak gunung itu. Awan terbelah. Petir menyambar. Suara ‘RAUUNG!’ menggema ke seluruh penjuru tanah Jawa. Dari situlah nama baru gunung itu lahir: Gunung Raung.
Setelah puncaknya terbuka, Hanoman melemparkan kepala terakhir Rahwana ke dalam perut gunung. Ia menyumpal lubang itu dengan batu, dan mengurungnya dengan mantra.
Baca Juga: Mitos Portal Gaib Penghubung Alas Purwo dan Gunung Raung: Jejak Kerajaan Lelembut di Timur Jawa
“Sampai akhir zaman, jangan pernah bangkit lagi!” seru Hanoman.
Sejak hari itu, Gunung Raung tidak pernah tenang. Ia bernafas. Ia bergemuruh. Kadang-kadang batunya meleleh, seperti amukan yang disimpan kepala Rahwana di dalamnya.