Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Dikira Anggota Jamaah Islamiah, KH. Machrus Ali Pernah Ditolak Naik Pentas

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

KH.-Machrus-Ali-menerima-tamu-di-rumahnya-di-Dusun-Purwosari,-Desa-Benculuk,-Kecamatan-Cluring,-Banyuwangi,-Jumat-lalu

SIANG itu, sinar matahari cukup panas. Suara azan untuk panggilan salat Jumat telah berlalu, dan khotib juga telah mengakhiri khotbah. Ratusan umat Islam dengan mengenakan baju takwa tampak memenuhi sepanjang jalan raya di Desa Benculuk, Kecamatan  Cluring.

Mereka baru turun dari salat di Masjid Al-Falah di desa itu.  Dari ratusan jamaah salat Jumat itu,  salah satunya KH. Machrus Ali, salah satu penceramah kondang di Kabupaten Banyuwangi. Kiai alumnus Pondok Pesantren Darussalam, Blokagung,  Desa Karangdoro, Kecamatan   Tegalsari, itu mengajak wartawan Jawa Pos Radar Genteng mampir ke rumahnya  yang berjarak sekitar 500 meter  dari masjid.

Kediaman Kiai Machrus di Dusun Purwosari, Desa Benculuk, itu ternyata cukup luas. Halaman rumahnya juga tampak asri. Di sebelah kanan pintu masuk ada sebuah gazebo lengkap dengan taman bunga hingga terasa sejuk.

Teras rumahnya juga cukup nyaman dengan karpet panjang terhampar. Suara gemericik air terdengar sayup-sayup dari kolam ikan yang berada di sebelah barat teras. Sejumlah kaligrafi dan foto-foto ulama, terpampang  pada dinding teras rumah berukuran tiga meter kali delapan meter itu.

Tidak berselang lama, Kiai Machrus muncul dari balik kelambu sambil mengucapkan salam.  Meski sedang menjalankan ibadah puasa Ramadan, tubuhnya masih tampak segar. Dengan wajah yang semringah, dia langsung membuka pembicaraan seraya menanyakan alamat dan maksud kedatangan para tamu.

Dari sejumlah tamu yang sudah menunggu itu, ada dua pemuda yang bermaksud mengundang Kiai Machrus untuk mengisi pengajian di masjid. Sejurus kemudian, kiai nyentrik itu  mengambil kalender yang berada di meja  belakang tempatnya duduk.

“Jadwal saya padat, acaranya sampean kapan,” tanya Kiai Machrus pada salah seorang pemuda asal Desa Kalipait, Kecamatan Tegaldlimo itu. Angka-angka dalam kalender itu tampaknya sudah penuh coretan bolpoin. Coretan-coretan  itu berarti ada jadwal mengisi pengajian.

Melihat coretan pada kalender, selama Ramadan  sudah penuh, termasuk setelahnya. Meski dengan coretan seadanya, kiai Machrus hafal  lokasi dan waktu pengajian yang akan dihadiri.  “Insya Allah sudah hafal di mana empatnya, jam berapa, acara apa, dan siapa yang mengundang,”  katanya sambil senyum.

Khusus Ramadan tahun ini sengaja tidak mau melayani ceramah ke luar Banyuwangi, seperti ke Kabupaten Lumajang, Jember, dan Bali. Itu karena ingin lebih khusyuk menjalankan  ibadah puasa Ramadan. Jika seluruh permintaan ceramah diterima, dalam sehari saja bisa lebih empat kali tempat dengan acara berbeda.

Permintaan menjadi penceramah selama bulan Ramadan itu, sudah dipesan sejak sebulan sebelum Ramadan tiba. Karena banyaknya permintaan itulah, harus konsisten menjaga kesehatan fisik agar bisa hadir dan memenuhi permintaan tersebut.

“Sakit pun kadang juga saya paksa untuk tetap hadir, dan tetap memohon pertolongan dan perlindungan Allah SWT,” terang suami  Nyai Hj Mardiyah itu. Untuk menjaga kondisi tubuh selama R madan  agar bisa tetap segar dan semangat, dia mempunyai tips sehat, yakni mengakhirkan sahur dan olahraga  jogging sejauh empat kilometer usai salat Subuh.  Selain itu, mengawali berbuka dengan yang  manis dan makan tidak terlalu kenyang.

“Sebisanya usahakan tetap berolahraga, yang penting harus  berkeringat,” terang Wakil Rais Syuriah PCNU Banyuwangi itu. Selama menjadi juru dakwah, tentu banyak  pengalaman suka dan duka yang dialami. Dari sekian pengalaman yang tak bisa dilupakan,  saat mengisi ceramah agama di Kalimantan.  Jauh-jauh datang, setiba di lokasi justru ditolak dan tidak diperkenankan naik ke pentas karena  dianggap anggota Jamaah Islamiah (JI).

“Saya berjenggot ini dikira juga anggota JI, jadi ditolak karena dikhawatirkan mengajarkan aliran sesat,” kenangnya. Untuk membuktikan dirinya bukan anggota JI, akhirnya dia diminta menjadi imam salat Isya. Usai turun dari salat itu warga dan panitia percaya bahwa dirinya bukan anggota JI seperti yang dikira sebelumnya.

“Akhirnya saya boleh  berdakwah dan hingga kini masih terus di  undang ke Kalimantan,” terangnya. Tugas menjadi juru dakwah tidaklah mudah, selain harus mampu memberikan nasihat  dengan menyampaikan ajaran-ajaran agama  sesuai tuntunan Al-Quran dan Al-Hadis,  sikap dan perilaku sehari-hari juga harus bisa dijaga sesuai apa yang didakwahkan.

“Yang sulit memang bisa menasihati, tapi tidak mampu melakukan, itulah yang berat,” beber bapak tiga anak itu.  Jika ada waktu luang di rumah, kiai Machrus terus mempelajari dan memperdalam ilmu agama dengan membaca kitab-kitab yang diperolehnya dari pondok pesantren 32 tahun silam.

Tidak itu saja, waktunya juga masih tersita dengan mengurus Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ) Baitul Husnan yang diasuhnya. (radar)