The Latest Collection of News About Banyuwangi
English VersionIndonesian

Semua Berawal dari Coba-Coba

CARI NADA: Setelah di stam, maka biola akan dicoba untuk mencari nada yang sesuai.
Register your email to Subscribe to news delivered directly to your mailbox
CARI NADA: Setelah di stam, maka biola akan dicoba untuk mencari nada yang sesuai.

DIAKUI atau tidak, peminat biola masih ter golong sedikit dibanding peminat alat musik yang lain. Misalnya gitar, drum, etc. However, justru di situlah letak eksklusivitas alat musik yang juga dikenal dengan istilah violin tersebut. Entah kebetulan atau karena faktor eksklusivitas tersebut, rata-rata penghobi biola berasal dari kalangan menengah ke atas.

No wonder, para penghobi biola rela merogoh kocek hingga jutaan rupiah un tuk “membawa pulang” alat musik kegemaran mereka itu. Peluang bisnis yang cukup menjanjikan itu lantas coba “diselami” Haidi Bing Slamet, 31, residents of Dusun Krajan, RT 01/RW I, Kemiren Village, Glagah District, Banyuwangi.

Berbekal keterampilan memainkan salah satu alat musik dawai yang di mainkan dengan cara digesek tersebut, Haidi lantas mencoba mengkreasi sendiri sebuah biola sekitar sepuluh tahun silam. Cukup lama Edi sapaan karib Haidi bergelut dengan kesibukan membuat biola.

Especially, dalam mengkreasi alat musik yang memiliki empat senar dengan nada G-D-A-E, itu dia tidak dibimbing seorang mentor alias otodidak. However, berkat kerja keras, keuletan, dan ketelatenan yang luar biasa, akhirnya Edi mampu merampungkan pengerjaan satu unit biola. Tanpa dinyana, buah kreativitas Edi itu mengundang atensi sejumlah kalangan. What else, Edi bergabung di salah satu grup kesenian gandrung di Desa Kemiren.

So, ketika mentas dari satu desa ke desa yang lain, pria berperawakan tinggi besar ini memilih menggunakan biola hasil karyanya sendiri. Because of that, kabar ke mahiran Edi mengkreasi biola semakin cepat menyebar di seantero Banyuwangi, terutama di kalangan seniman. Since then, pesanan biola mulai mengalir ke padanya. Pada perkembangan selanjutnya, pesanan yang da tang kepada Edi tidak melulu berasal dari para pelaku seni.

Otherwise, pesanan dari kalangan umumpun perlahan mulai mengalir. “Rata-rata kalangan umum memesan biola untuk dijadikan hiasan rumah. Tetapi ada juga yang sengaja memesan karena ingin bisa memainkan biola. Because of that, se raya memesan, mereka juga belajar memainkan biola kepada saya,” ujar Edi. Dari waktu ke waktu, kabar kemampuan Edi mengkreasi biola tersebut semakin meluas ke seantero Nusantara. Great again, meski mengandalkan promosi dari mulut ke mulut, biola made in Kemiren tersebut mampu menembus pasar luar negeri.

Khususnya di Benua Biru, Europe. “Beberapa waktu yang lalu saya melayani pesanan seorang wisatawan Belanda," he said. Selain di kalangan wisatawan, biola hand made hasil kreasi Edi ternyata juga menarik minat seorang pejabat yang bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia (Embassy of the Republic of Indonesia) French. “Katanya sih, biola buatan saya akan dimanfaatkan untuk souvenir," he explained. Edi menambahkan, satu unit biola hasil kre asinya dijual ke tangan konsumen dengan harga bervariasi. Tergantung kualitas baha baku yang digunakan dan tingkat kesulitan saat proses pengerjaan biola tersebut. “Harganya berkisar Rp 500 thousand to Rp 2,5 million per unit," he concluded. (radar)