Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Gumitir Ditutup Bikin Macet 30 KM di Ketapang, Usulan Tol Jawa-Bali Mencuat: Gubernur Ogah, Warga Menolak

gumitir-ditutup-bikin-macet-30-km-di-ketapang,-usulan-tol-jawa-bali-mencuat:-gubernur-ogah,-warga-menolak
Gumitir Ditutup Bikin Macet 30 KM di Ketapang, Usulan Tol Jawa-Bali Mencuat: Gubernur Ogah, Warga Menolak

radarbanyuwangi.jawapos.com – Antrean kendaraan di Pelabuhan Ketapang kembali mencapai titik kritis. Sejak sepekan terakhir, antrean truk, mobil pribadi, hingga bus pariwisata mengular hingga puluhan kilometer, bahkan menembus kawasan hutan Baluran dan pinggiran Situbondo.

Dalam banyak kasus, sopir dan penumpang terjebak di jalan selama puluhan jam tanpa kepastian kapan giliran bisa menyeberang ke Pulau Bali. Situasi ini berpotensi memicu kelumpuhan distribusi logistik, keterlambatan pengiriman barang, hingga gangguan kenyamanan wisatawan.

Kondisi darurat ini kembali menyulut perbincangan lama, mengapa belum ada jembatan penghubung antara Pulau Jawa dan Bali?

Sebuah pertanyaan yang sudah bergaung sejak era Presiden Soeharto, namun selalu mandek tanpa realisasi. Banyak masyarakat awam menilai, jika saja jembatan penghubung seperti Suramadu dibangun di Selat Bali, maka kemacetan ekstrem seperti sekarang bisa diminimalisir.

Menyoal perkara itu, penolakan terhadap proyek penghubung Jawa–Bali ini sempat ditegaskan oleh Gubernur Bali, Wayan Koster.

Dulu pernah ramai blueprint futuristik tol transparan sepanjang dua kilometer yang membentang antar Jawa-Bali, menarik perhatian netizen dan memunculkan spekulasi bahwa proyek tersebut tengah dirancang pemerintah.

Kala itu ia langsung menyatakan secara tegas bahwa jembatan penghubung antara Jawa dan Bali bukanlah pilihan yang akan didukung oleh Pemerintah Provinsi Bali.

“Kalau jembatan Jawa–Bali, tidak! Saya tolak! Cukup dengan kapal. Alam menciptakan itu pakai kapal. Kalau tidak ada kapal, tidak jalan. Tidak ada jembatan,” ujar Koster tegas.

Pernyataan itu mengonfirmasi kembali bahwa penolakan bukan hanya datang dari tokoh adat atau masyarakat lokal, tetapi juga dari level pemimpin daerah.

Baca Juga: Kemacetan Tembus Kota Banyuwangi, Bule-bule Maksa Turun Travel Pindah Naik Ojek ke Ketapang!

1. Penolakan Budaya dari Masyarakat Bali

Salah satu hambatan terbesar datang dari dalam Bali sendiri. Pulau Dewata memiliki nilai-nilai adat dan spiritual yang sangat dijaga. Banyak tokoh adat, pemuka agama, dan komunitas lokal secara konsisten menolak ide pembangunan jembatan karena khawatir akan menggerus kearifan lokal dan membawa dampak sosial yang tidak terkendali.

Bali ingin menjaga keseimbangan populasi, membatasi arus urbanisasi dari luar, serta melindungi kelestarian budaya dari gempuran modernisasi yang terlalu cepat. Bagi masyarakat adat Bali, keterpisahan geografis dari Jawa justru menjadi pagar alami untuk mempertahankan identitas.

2. Risiko Geologis dan Vulkanik Tinggi

Selat Bali berada di zona aktif secara tektonik. Kawasan ini dikelilingi oleh gunung api aktif seperti Raung, Ijen, hingga Agung. Tanah di bawah lautnya tidak stabil, sering dilintasi gempa, dan memiliki potensi tsunami.

Membentangkan jembatan besar di atas zona rawan seperti itu jelas akan menjadi tantangan teknologi kelas dunia dan berisiko tinggi secara keselamatan jangka panjang.


Page 2

Selat ini bukan hanya perairan lokal, tapi juga koridor penting bagi kapal-kapal besar. Membangun jembatan berarti harus membuat struktur yang cukup tinggi untuk memungkinkan kapal bertonase besar lewat di bawahnya.

Desain seperti ini sangat mahal, kompleks, dan belum tentu feasible untuk jangka panjang. Alternatifnya? Terowongan bawah laut? yang biayanya justru jauh lebih besar lagi.

4. Biaya Proyek Terlalu Besar, Imbal Hasil Tidak Pasti

Pembangunan jembatan diprediksi menelan anggaran triliunan rupiah. Namun tidak seperti Jembatan Suramadu yang menghubungkan wilayah industri Jawa Timur dengan Madura, hubungan Jawa–Bali tidak memiliki intensitas logistik sebesar itu.

Dengan kata lain, imbal hasil ekonominya rendah, sementara biaya pembangunannya sangat tinggi.

Banyak pelaku pariwisata justru menolak jembatan. Bagi mereka, perjalanan menyeberang dengan kapal feri menjadi bagian dari pengalaman menuju Bali.

Jika jembatan dibangun, akan ada lonjakan kendaraan pribadi dari Jawa yang masuk ke Bali, memperparah kemacetan di kota-kota seperti Denpasar dan Ubud.

Lebih jauh lagi, citra Bali sebagai “pulau yang terpisah dan eksotis” bisa hilang jika menjadi terlalu mudah diakses darat.

6. Dinamika Politik yang Selalu Berubah

Sejak era Presiden Soeharto hingga Presiden Jokowi, wacana pembangunan jembatan ini selalu muncul, namun tidak pernah sampai ke tahap groundbreaking. Alasannya?

Karena setiap kali memasuki studi mendalam, muncul kembali penolakan lokal, masalah anggaran, serta pertimbangan risiko jangka panjang yang membuat proyek ini tidak lolos dari meja pengambil keputusan.

Melihat kondisi hari ini, terutama saat kemacetan di Ketapang makin tak terkendali, wacana jembatan memang kembali menggeliat. Namun kenyataannya, selama faktor budaya, risiko geologis, dan keraguan ekonomi belum terpecahkan, Jembatan Jawa–Bali tampaknya akan tetap menjadi mimpi yang digantung.

Sebagai alternatif, pemerintah bisa fokus pada peningkatan infrastruktur pelabuhan seperti sistem bongkar muat cepat (TBB), perluasan dermaga, serta pembangunan tol lintas selatan dan utara.

Bukan tanpa alasan, strategi ini dinilai jauh lebih realistis dibandingkan membangun jembatan senilai ratusan triliun rupiah yang belum tentu dibutuhkan semua pihak.


Page 3

radarbanyuwangi.jawapos.com – Antrean kendaraan di Pelabuhan Ketapang kembali mencapai titik kritis. Sejak sepekan terakhir, antrean truk, mobil pribadi, hingga bus pariwisata mengular hingga puluhan kilometer, bahkan menembus kawasan hutan Baluran dan pinggiran Situbondo.

Dalam banyak kasus, sopir dan penumpang terjebak di jalan selama puluhan jam tanpa kepastian kapan giliran bisa menyeberang ke Pulau Bali. Situasi ini berpotensi memicu kelumpuhan distribusi logistik, keterlambatan pengiriman barang, hingga gangguan kenyamanan wisatawan.

Kondisi darurat ini kembali menyulut perbincangan lama, mengapa belum ada jembatan penghubung antara Pulau Jawa dan Bali?

Sebuah pertanyaan yang sudah bergaung sejak era Presiden Soeharto, namun selalu mandek tanpa realisasi. Banyak masyarakat awam menilai, jika saja jembatan penghubung seperti Suramadu dibangun di Selat Bali, maka kemacetan ekstrem seperti sekarang bisa diminimalisir.

Menyoal perkara itu, penolakan terhadap proyek penghubung Jawa–Bali ini sempat ditegaskan oleh Gubernur Bali, Wayan Koster.

Dulu pernah ramai blueprint futuristik tol transparan sepanjang dua kilometer yang membentang antar Jawa-Bali, menarik perhatian netizen dan memunculkan spekulasi bahwa proyek tersebut tengah dirancang pemerintah.

Kala itu ia langsung menyatakan secara tegas bahwa jembatan penghubung antara Jawa dan Bali bukanlah pilihan yang akan didukung oleh Pemerintah Provinsi Bali.

“Kalau jembatan Jawa–Bali, tidak! Saya tolak! Cukup dengan kapal. Alam menciptakan itu pakai kapal. Kalau tidak ada kapal, tidak jalan. Tidak ada jembatan,” ujar Koster tegas.

Pernyataan itu mengonfirmasi kembali bahwa penolakan bukan hanya datang dari tokoh adat atau masyarakat lokal, tetapi juga dari level pemimpin daerah.

Baca Juga: Kemacetan Tembus Kota Banyuwangi, Bule-bule Maksa Turun Travel Pindah Naik Ojek ke Ketapang!

1. Penolakan Budaya dari Masyarakat Bali

Salah satu hambatan terbesar datang dari dalam Bali sendiri. Pulau Dewata memiliki nilai-nilai adat dan spiritual yang sangat dijaga. Banyak tokoh adat, pemuka agama, dan komunitas lokal secara konsisten menolak ide pembangunan jembatan karena khawatir akan menggerus kearifan lokal dan membawa dampak sosial yang tidak terkendali.

Bali ingin menjaga keseimbangan populasi, membatasi arus urbanisasi dari luar, serta melindungi kelestarian budaya dari gempuran modernisasi yang terlalu cepat. Bagi masyarakat adat Bali, keterpisahan geografis dari Jawa justru menjadi pagar alami untuk mempertahankan identitas.

2. Risiko Geologis dan Vulkanik Tinggi

Selat Bali berada di zona aktif secara tektonik. Kawasan ini dikelilingi oleh gunung api aktif seperti Raung, Ijen, hingga Agung. Tanah di bawah lautnya tidak stabil, sering dilintasi gempa, dan memiliki potensi tsunami.

Membentangkan jembatan besar di atas zona rawan seperti itu jelas akan menjadi tantangan teknologi kelas dunia dan berisiko tinggi secara keselamatan jangka panjang.