Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Hidup Tanpa Lampu, Selalu Nyoblos saat Pemilu

SENDIRI: Syawal di rumahnya di kawasan hutan Gumuk Jambe, Dusun Sragi Tengah, Desa Sragi, Kecamatan Songgon.
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
SENDIRI: Syawal di rumahnya di kawasan hutan Gumuk Jambe, Dusun Sragi Tengah, Desa Sragi, Kecamatan Songgon.

Mbok Syawal, 65, satu-satunya warga yang menetap di hutan pinus kawasan Gumuk Jambe, Desa Sragi, Kecamatan Songgon. Selama 25 tahun perempuan kelahiran Bondowoso itu hidup tanpa jaringan listrik.
-ALI NURFATONI, Songgon-

SETELAH menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, motor yang saya kendarai akhirnya tiba di sebuah rumah di tengah hutan pinus kawasan Perhutani Bayu Kidul kemarin. Persisnya di kawasan Gumuk Jambe, Dusun Sragi Tengah, Desa Sragi, Kecamatan Songgon. Di situ hanya ada satu rumah penduduk.

Mendengar bunyi kendaraan, seorang perempuan tua tiba-tiba keluar dan berdiri di depan pintu rumah berdinding kayu itu. Sang pemilik rumah itu adalah Mbok Syawal, 65. Tanpa banyak tanya, janda beranak satu itu mempersilakan wartawan koran ini masuk ke rumahnya.

Tidak ada kursi di dalam rumah itu, apalagi sofa. Hanya ada beberapa ekor ternak dan binatang piaraan. Ada kucing dan beberapa ekor ayam kampung. Praktis, karena hewan leluasa keluarmasuk membuat tempat tinggal tersebut menjadi kumuh dan bau.

Sejumlah perabotan dapur juga tidak tertata dengan baik. Untuk mendapatkan kebutuhan dapur, nenek tersebut harus pergi ke pasar. Menuju pasar di desa terdekat, janda tersebut harus berjalan kaki sejauh satu kilometer. Jalan yang dilalui merupakan jalan setapak yang kondisinya naik-turun. Meski begitu, menuju pasar terdekat di Desa Sumber Arum, dia tidak membutuhkan waktu terlalu lama, hanya 45 menit.

Di pasar, selain mencari kebutuhan perut, nenek tersebut juga sering berjualan sayur-mayur hasil memetik di hutan. Proses barter pun biasa dilakukan. Namun demikian, rutinitas mencari lauk-pauk ke pasar itu tidak setiap hari dilakukan. ‘’Ya kadang seminggu sekali, dua minggu sekali. Pokoknya gak pasti.

Kalau beras habis, ya ke pasar,’’ ujar Mbok Syawal. Selama puluhan tahun tinggal sendiri di tengah hutan pinus, dia mengaku tidak pernah menerima bantuan beras untuk rakyat miskin (raskin) dari pemerintah. Meski begitu, setiap kali ada pemilihan umum (pemilu), baik pemilu kepala desa, pemilukada, legislatif, maupun presiden, dirinya selalu diminta mencoblos.

”Saya tidak pernah dikasih bantuan beras. Tapi kalau nyoblos selalu disuruh,’’ katanya. Sementara itu, rumah yang ditempatinya berdiri di atas lahan milik Perhutani. Sebenarnya, Syawal ingin sekali pindah ke tempat yang lebih nyaman. Namun, apa daya kondisi ekonominya tidak memungkinkan. “Ingin sekali pindah rumah, tapi mau bagaimana lagi, saya tidak punya apa-apa.

Ini saja rumah dikasih orang,’’ paparnya. Syawal menceritakan awal mula tinggal di rumah tengah hutan pinus tersebut. Ceritanya, puluhan tahun silam dia bersama suaminya, Pak Syawal, 70, memang diberi kepercayaan Perhutani untuk menjaga kawasan hutan pinus tersebut. Maka dari itu, dibangunlah pos penjagaan sebagai tempat tinggal mereka. ‘’Oleh Perhutani disuruh jaga di sini.

Di sini dulu banyak tumpukan drum berisi getah pinus,” kenangnya. Sebelumnya, keluarga Syawal menumpang di rumah orang warga di Dusun Pertapan, Desa Sragi, selama beberapa tahun. Selama beberapa tahun tinggal berdua bersama sang suami, tiba-tiba sang suami menikah lagi. “Suami saya punya istri lagi.

Sekarang tinggal di daerah Blokagung. Ya sama-sama seperti saya ini, nama tempatnya Alas Jati,’’ ujarnya. Sejak ditinggal sang suami, praktis Mbok Syawal hanya tinggal bersama sang anak. Padahal, saat itu anak yang diberi nama Syah Asma Bulani itu masih balita. Meski sendiri, perempuan tersebut mampu mengasuh dan menghidupi anak semata wayangnya itu hingga dewasa.

Kini sang anak sudah berusia 27 tahun. ‘’Sampai sekarang, anak saya belum menikah,’’ jelasnya. Air menjadi masalah bagi dirinya. Sebab, sumber air cukup jauh dari rumahnya. Namun demikian, Mbok Syawal tidak kenal menyerah. Di sisi lain, ternyata rumahnya yang berada di tengah hutan itu bermanfaat bagi orang lain.

“Orang-orang menitipkan sepeda di sini. Itu punya orang. Sekarang masih nyadap getah pinus. Orang-orang kadang membawakan air untuk memasak,’’ ujarnya sambil menunjuk sebuah kendaraan bermotor yang diparkir di dalam rumahnya. Sementara itu, menuju rumah Mbok Syawal bisa ditempuh melalui dua jalur. Bisa melalui jalur Desa Setail, Kecamatan Sempu, atau melewati Desa Sumber Arum, Kecamatan Songgon.

Tapi harus diakui, dua jalur tersebut sama-sama sulit karena medannya cukup berat. Jalan di kedua jalur itu rusak dan berubah menjadi kolam saat hujan. Bila tidak karena terpaksa, tidak ada yang mau tinggal di rumah tanpa tetangga itu. Tidak ada sumber energi listrik yang bisa diakses. Tentu saja, saat malam, perempuan itu hanya menggunakan alat penerangan seadanya. (radar)

Kata kunci yang digunakan :