MELANJUTKAN agenda ekspedisi-ekspedisi yang biasa dilakukan Jawa Pos Radar Banyuwangi (JP-RaBa), kali ini JP-RaBa memutuskan melakukan ekspedisi peninggalan kolonial di Banyuwangi yang masih utuh maupun yang sudah tinggal nama.
Bangunan kolonial dipilih menjadi objek ekspedisi karena di Banyuwangi banyak peninggalan kolonial tapi hingga saat ini belum diinventarisasi dengan baik. Atas dasar itulah JP-RaBa berkepentingan melakukan penelusuran, inventarisasi, memberitakan, lalu membukukan, agar bisa dinikmati khalayak; tidak hanya saat ini tapi juga di masa yang akan datang.
Atas kepentingan itu, JP-RaBa menggandeng komunitas sejarah Banyuwangi paling aktif, yakni Banjoewangie Tempo Doeloe (BTD). Selain ikut melakukan ekspedisi, BTD bertugas menyuplai data yang
dibutuhkan JP-RaBa tentang lokasi-lokasi yang ditelusuri tim ekspedisi.
Setelah waktu dan nama-nama lokasi yang akan ditelusuri disepakati, ekspedisi pun dilakukan. Diputuskan, lokasi pertama yang dikunjungi adalah asrama Inggrisan. Pada Senin 11 April pukul 09.00 tim ekspedisi langsung menuju lokasi.
Tim ekspedisi tidak kesulitan mencari lokasi, karena asrama Inggrisan berada di pusat kota dan sudah sangat familier di telinga masyarakat. Dilihat dari luar, Asrama Inggrisan tidak tampak memiliki keistimewaan.
Pagarnya terbuat dari besi rendah. Bangunan terluar Asrama Inggrisan adalah jajaran ruko kecil yang digunakan untuk usaha oleh sejumlah pihak. Jajaran ruko tersebut mengapit pintu masuk yang di atasnya ada tulisan “Asrama Inggrisan”.
Tampaknya tulisan itu belum lama diperbarui. Memasuki asrama, kita akan disuguhkan halaman luas dan ada satu beringin raksasa di tengah-tengah. Di kanan dan kiri halaman itu berjajar bangunan panjang berpintu tinggi. Ada yang menghadap selatan, timur, dan ada yang menghadap utara.
Saat tim ekspedisi mengunjungi lokasi tersebut tidak banyak aktivitas terjadi di lokasi tersebut. Hanya dua-tiga perempuan paro baya terlihat sedang mengobrol santai di teras bangunan. Untuk keperluan pengungkapan masa lalu Asrama Inggrisan, tim ekspedisi berusaha mencari data dari para penghuni.
Ternyata tidak sulit mengakses informasi tentang asrama yang kini ditempati anggota TNI Kodim 0825 Banyuwangi itu. Tinggal kulo nuwun kepada siapa saja penghuni yang ada dan menyampaikan maksud serta tujuan, mereka akan langsung menjelaskan yang mereka tahu dan menyampaikan beberapa hal yang seharusnya tidak dilakukan pengunjung.
Setelah mendengar penjelasan salah satu penghuni yang tidak mau disebutkan namanya, tim ekspedisi mulai menjelajah tiap sisi bangunan. Yang pertama dikunjungi adalah bangunan utama yang berlantai dua di sisi paling barat.
Saat ini lantai bawah bangunan tersebut dijadikan tempat tinggal oleh anggota Kodim 0825. Setiap ruangan dibatasi pilar-pilar yang tidak begitu tinggi. Menurut seorang sumber, semua lantai bawah tersebut adalah sebuah ruangan panjang tanpa dinding di kanan kirinya.
“Namun, sejak dihuni anggota TNI, kami beri sekat,” ujar sumber tersebut. Lantai bawah yang dihuni oleh anggota TNI tidak hanya di sebelah barat saja. Tetapi, juga di sisi selatan dan utara halaman. “Kurang lebih ada 25 asrama. Tetapi, tidak semua terisi. Hanya beberapa saja,” lanjutnya.
Tim ekspedisi melihat di belakang bangunan utama sebelah barat ada bangunan satu lantai. Jendela dan pintu bangunan itu tertutup rapat. Diduga, bangunan tersebut merupakan bekas dapur umum masa kolonial. Setelah mencermati bangunan bagian barat, tim ekspedisi menyusuri bangunan lain di sebelah selatan.
Di bagian selatan ada lahan kosong yang dipenuhi semak setinggi dada manusia dewasa. Di antara tumbuhan tersebut tampak satu bangunan yang sudah runtuh. Belum diketahui apa fungsi bangunan tersebut di masa lalu.
Yang jelas bangunan tersebut dibangun pada era kolonial. Itu terlihat dari jendela dan pintu yang berbentuk setengah lingkaran. Dindingnya yang mengelupas menyebabkan susunan bata penyusun bangunan itu terlihat artistik.
Bangunan itu pun kerap dijadikan spot fotografi bertema vintage. Tidak ada keterangan detail yang didapat dari wawancara yang dilakukan terhadap para penghuni. Sebab, rata-rata mereka menempati asrama itu belum terlalu lama.
Sementara itu, keterangan- keterangan yang disampaikan budayawan dan sejarawan kurang begitu meyakinkan. Sehingga, tim ekspedisi berusaha mencari data sedapat-dapatnya di lokasi. Tidak kehilangan akal, tim ekspedisi mencari apa pun yang bisa dijadikan petunjuk, meskipun itu hal kecil.
Tanpa diminta, Wakil Ketua BTD, Ali Muttaqin, menunjukkan sebuah tutup lorong. Pada tutup lorong itu terdapat pelat besi dan bertulisan “Burn Brothers Rotunda Works 3 Blackfriars Road London S.E”. tim ekspedisi langsung mencari informasi tentang tulisan tersebut dari berbagai sumber.
Setelah melakukan penelusuran berhari-hari, bahkan hingga ke literatur-literatur online Belanda, akhirnya didapati sebuah informasi yang mengejutkan. Ternyata anggapan selama ini bahwa Asrama Inggrisan sebuah asrama peninggalan Inggris terpatahkan.
Asrama inggrisan dulu ternyata stasiun kabel telegraf bawah laut yang menjadi penghubung komunikasi Australia dengan Asia dan Eropa. Dan nama yang terpahat di tutup lorong tersebut adalah nama perusahaan yang menggarap pemasangan kabel telegraf tersebut.
Berdasar penelusuran yang dilakukan BTD, pada tahun 1870 British-Australian Telegraph Company memasang kabel bawah laut dari Banyuwangi ke Australia. Kabel yang digunakan pada proyek telegraf tersebut dibuat di Inggris.
Ketua BTD, Munawir,menyebutkan saat memasang kabel bawah laut dari Banyuwangi ke Australia bagian utara, yakni Darwin, pihak perusahaan Inggris mendatangkan para pekerja dan tenaga ahli dari Singapura. Mereka adalah orang Inggris yang tinggal di Singapura.
Hal itu cukup masuk akal mengingat Singapura merupakan daerah koloni Inggris yang jaraknya tidak jauh dari Indonesia. “Sebetulnya mereka tidak didatangkan, tapi dijemput. Kapal laut yang mengangkut kabel dari Inggris itu lebih dulu mampir ke Singapura untuk menjemput para pekerja yang akan memasang kabel bawah laut dari Banyuwangi ke Australia,” papar Munawir.
Saat penggarapan kabel bawah laut tersebut para tenaga ahli yang merupakan orang-orang Inggris itu tinggal di Asrama Inggrisan yang saat itu disebut lodge atau lojai oleh lidah lokal Banyuwangi yang artinya penginapan.
Mungkin itu yang menyebabkan lodge itu kemudian hari dijuluki “Asrama Inggrisan”, meskipun pemerintah Inggris tidak pernah menggunakan bangunan itu sama sekali, kecuali para pekerja telegraf. Yang tercatat dalam sejarah pengguna asrama tersebut adalah pemerintah kolonial Belanda dan Kempeitai.
Kempeitai merupakan unit pasukan tentara utama kekaisaran Jepang di era perang Asia-Pasifik. Melihat hasil penelusuran tersebut, tampak Banyuwangi memiliki daya tawar sangat tinggi di masa lalu. Sehingga, dipilih menjadi lokasi penghubung Australia, Asia dan Eropa.
“Selama ini seolah ada yang menutup-nutupi kebesaran Banyuwangi di masa lalu. Itu harus diungkap,” tegas Ali Muttaqin. Mengenai Asrama Inggrisan ini tidak bisa dibahas dalam satu edisi saja. Sehingga, akan dilanjutkan pada edisi berikutnya, misalnya tentang perusahaan kabel secara rinci dan rumah sang manajer di bagian depan.(radar)