TAK terasa kita sudah menginjak sepuluh hari terakhir di bulan suci Ramadan. Kita akan menjadi seorang muslim yang merugi jika tidak melakukan amal saleh yang mampu meningkatkan kualitas diri dan masyarakat di sekitar kita.
Sebab, puasa bukan ritual agama (Islam) yang fokus meng-upgrade diri belaka, melainkan juga mengandung spirit dan orientasi perbaikan (islah) sosial masyarakat.
Sebagaimana sabda Rasulullah: ”Barang siapa memberi makan berbuka puasa bagi orang yang berpuasa, maka ia mendapat seperti pahala orang-orang yang puasa tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun” (HR Tirmidzi).
Jika kita mencermati hadis tersebut, nampak jelas ada suatu seruan kepada kita untuk memberi, membantu, dan menolong orang lain. Tentu bantuan kita itu bukan hanya diperuntukkan bagi orang yang sedang berpuasa semata, namun juga bagi mereka yang membutuhkan.
Tidak peduli dari golongan, komunitas, dan agama manapun. Sehingga, dalam konteks ini, selain sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, ibadah puasa juga memuat spirit dan nilai keberpihakan kepada mereka yang lemah (al-Mustadh’afun).
Dengan kata lain, puasa merupakan ibadah yang memiliki spirit ”pembebasan”, dan sebagai seorang mukmin, kita wajib mengaktualisasikannya.
Upaya menggali dimensi dan nilai-nilai sosial yang terkandung di dalam ibadah puasa ini, sejauh pengetahuan saya, sudah banyak dilakukan.
Bagaimana puasa dipahami sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas diri, memperbanyak pahala, dan keharusan kita untuk membantu sesama.
Memahami puasa dengan cara demikian memang penting sehingga kemudian dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, seperti yang sudah disinggung di atas, puasa merupakan ibadah fardu yang bersifat spritual dan sosial.
Akan tetapi, kalau kita menelisik lebih jauh pemahaman mainstream masyarakat Islam, justru kita akan menemukan semacam ”penindasan interpretatif”.
Hal ini bisa kita telusuri dari salah satu pandangan yang menyatakan bahwa alasan umat Islam (diwajibkan) berpuasa ialah untuk menunjukkan simpati kepada orang miskin yang lapar.
Mayoritas umat Islam memahami puasa dengan cara demikian. Puasa dipahami sebagai ibadah yang mendorong umat Islam untuk memberi rasa iba kepada orang-orang miskin.
Secara sekilas, memang, tidak terlihat terdapat masalah yang serius. Tapi, kalau kita membaca pemahaman itu secara kritis, akan menyatakan sesuatu yang lain.
Seolah-olah anggapan tersebut menyatakan: ”Kita adalah seorang muslim yang kaya, atau setidaknya berpunya”. Dan secara eksplisit pemahaman itu menegaskan satu hal: di mana orang kaya merupakan ”subjek”, dan orang miskin adalah ”objek” dalam suatu agama.
Page 2
Bagaimana mungkin di dalam suatu agama (Islam), ada relasi subjek-objek yang justru menciptakan jurang pemisah di antara mereka? Sehingga, seorang muslim kaya (borjuis) berada di atas muslim miskin (proletar). Pemahaman seperti ini memiliki konsekuensi yang akan meruntuhkan prinsip egalitarianisme dalam Islam.
Maka dari itu, memahami bahwa ibadah puasa adalah ”ajang” untuk menunjukkan simpati kepada orang miskin perlu kita tanggalkan. Karena pemahaman semacam itu merupakan hasil dari penalaran yang tidak sehat.
Dalam On The Sociology of Islam (1979), Syariati mengemukakan bahwa sejarah manusia senantiasa berjalan secara dialektis.
Hal ini disebabkan oleh dua kubu masyarakat yang saling berlawanan. Dan dua kubu ini kemudian mengkonstruksi realitas sosial, terutama masyarakat Islam, sehingga memunculkan dua tipologi atau karakteristik masyarakat: Qabil dan Habil.
Pertama, kubu Qabil yang bersifat negatif. Kubu ini bisa kita temui di sekitar kita, seperti orang atau kelompok yang menindas, memperbudak, dan membodohi masyarakat dengan segala cara. Kedua, kubu Habil yang memiliki sifat positif.
Mereka adalah orang atau kelompok yang berjuang menegakkan keadilan, melawan segala bentuk penindasan, menjunjung tinggi keadilan, membela kaum lemah, dan senantiasa mengatakan kebenaran.
Pandangan cendekiawan muslim asal Iran itu membantu kita dalam memahami tipologi masyarakat Islam dewasa ini. Dalam konteks memahami alasan ibadah puasa sebagai ”ajang” menunjukkan simpati kepada orang-orang miskin yang lapar, dapat kita katakan, hal itu merupakan hasil penalaran dari kubu Qabil.
Sebab, di dalam pemahaman itu, kita menemukan suatu penindasan interpretatif yang menciptakan jurang pemisah antara muslim satu dengan yang lain, antara muslim kaya dan muslim miskin.
Padahal, Islam merupakan agama yang egaliter, emansipatif, dan liberatif. Sifat ini juga menjadi visi agung para nabi yang diutus oleh Tuhan. Sebagaimana yang dikemukakan Ziaul Haque, dalam Revelation and Revolution in Islam (1987), bahwa para nabi-revolusioner diutus di dunia memiliki tiga tujuan: menyatakan kebenaran, berjuang melawan kezaliman dan kebatilan, dan menciptakan tatanan sosial yang baik, adil, dan setara.
Islam adalah agama yang berpihak kepada mereka yang lemah, membebaskan masyarakat dari belenggu penindasan, dan mewujudkan sistem sosial yang rahmatan lil ’alamin. Dengan demikian, memahami puasa Ramadhan sebagai upaya umat Islam untuk bersimpati kepada orang miskin yang lapar, adalah wujud penindasan yang subtil.
Model pemahaman semacam ini lahir dari nalar Qabil yang menindas, dan bahkan berpotensi menghambat kemajuan masyarakat Islam. Karena, dalam kehidupan kita dewasa ini, penindasan tidak lagi berupa perbudakan dan kekerasan seperti di era penjajahan kolonial. Saat ini ia bekerja secara lembut, tak kasat mata, dan acap kali tanpa kita sadari.
Oleh karena itu, untuk memerangi nalar muslim Qabil yang menindas melalui pemahaman tersebut, kita perlu memahami ibadah puasa secara lebih kritis, liberatif, dan emansipatif. Bagaimana di bulan suci Ramadan ini, terutama saat kita berpuasa, tindakan praktis yang kita lakukan memberikan dampak positif bagi kehidupan sosial.
Misalnya, senantiasa membela kemanusiaan, berada di pihak masyarakat yang tertindas, dan melakukan gerakan konkret untuk memerangi segala bentuk penindasan yang diciptakan penguasa tiran.
Demikianlah makna puasa yang sesungguhnya. Ibadah puasa yang memiliki nilai spiritual (untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT) dan nilai sosial (untuk memperbaiki tatanan sosial yang timpang).
Selain itu, puasa juga dilandasi oleh spirit pembebasan masyarakat dari ketertindasan sistemik yang dilakukan oleh para penguasa tiran. (*)
Page 3
TAK terasa kita sudah menginjak sepuluh hari terakhir di bulan suci Ramadan. Kita akan menjadi seorang muslim yang merugi jika tidak melakukan amal saleh yang mampu meningkatkan kualitas diri dan masyarakat di sekitar kita.
Sebab, puasa bukan ritual agama (Islam) yang fokus meng-upgrade diri belaka, melainkan juga mengandung spirit dan orientasi perbaikan (islah) sosial masyarakat.
Sebagaimana sabda Rasulullah: ”Barang siapa memberi makan berbuka puasa bagi orang yang berpuasa, maka ia mendapat seperti pahala orang-orang yang puasa tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun” (HR Tirmidzi).
Jika kita mencermati hadis tersebut, nampak jelas ada suatu seruan kepada kita untuk memberi, membantu, dan menolong orang lain. Tentu bantuan kita itu bukan hanya diperuntukkan bagi orang yang sedang berpuasa semata, namun juga bagi mereka yang membutuhkan.
Tidak peduli dari golongan, komunitas, dan agama manapun. Sehingga, dalam konteks ini, selain sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, ibadah puasa juga memuat spirit dan nilai keberpihakan kepada mereka yang lemah (al-Mustadh’afun).
Dengan kata lain, puasa merupakan ibadah yang memiliki spirit ”pembebasan”, dan sebagai seorang mukmin, kita wajib mengaktualisasikannya.
Upaya menggali dimensi dan nilai-nilai sosial yang terkandung di dalam ibadah puasa ini, sejauh pengetahuan saya, sudah banyak dilakukan.
Bagaimana puasa dipahami sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas diri, memperbanyak pahala, dan keharusan kita untuk membantu sesama.
Memahami puasa dengan cara demikian memang penting sehingga kemudian dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, seperti yang sudah disinggung di atas, puasa merupakan ibadah fardu yang bersifat spritual dan sosial.
Akan tetapi, kalau kita menelisik lebih jauh pemahaman mainstream masyarakat Islam, justru kita akan menemukan semacam ”penindasan interpretatif”.
Hal ini bisa kita telusuri dari salah satu pandangan yang menyatakan bahwa alasan umat Islam (diwajibkan) berpuasa ialah untuk menunjukkan simpati kepada orang miskin yang lapar.
Mayoritas umat Islam memahami puasa dengan cara demikian. Puasa dipahami sebagai ibadah yang mendorong umat Islam untuk memberi rasa iba kepada orang-orang miskin.
Secara sekilas, memang, tidak terlihat terdapat masalah yang serius. Tapi, kalau kita membaca pemahaman itu secara kritis, akan menyatakan sesuatu yang lain.
Seolah-olah anggapan tersebut menyatakan: ”Kita adalah seorang muslim yang kaya, atau setidaknya berpunya”. Dan secara eksplisit pemahaman itu menegaskan satu hal: di mana orang kaya merupakan ”subjek”, dan orang miskin adalah ”objek” dalam suatu agama.