Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Jejak Berdarah Pembantaian di Pangandaran Tahun 1999

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Detik.com



Pangandaran

Memiliki panorama alam laut yang mempesona menjadikan Pangandaran sebagai destinasi wisata pantai favorit di Jawa Barat. Kabupaten Pangandaran yang mekar dari Ciamis pada 25 Oktober 2012 itu, menjadi daerah mandiri dengan penghasilan laut, wisata, dan hasil buminya yang kaya.

Di balik panorama alamnya yang indah bak Bali di Pulau Jawa, ternyata ada tragedi pembantaian berdarah yang membekas di benak warga.

Pembantaian itu bukan dilakukan manusia terhadap hewan, tetapi manusia terhadap manusia. Tragedi berdarah itu masih diingat warga saat ini sebagai pembunuhan terhadap para terduga dukun santet di Pangandaran.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Awal Mula Tragedi Pembantaian Dukun Santet

Awan mendung menggelayut di Pangandaran pada tahun 1999. Kala itu tengah ramai isu dukun santet atau tukang teluh yang lebih akrab di tengah masyarakat Ciamis Selatan kala itu.

Kala itu sumber informasi berita valid masih terbatas diakses oleh warga, informasi mengenai gonjang-ganjing tukang teluh itu menyebar dari mulut ke mulut yang berujung pada hilangnya nyawa sejumlah orang.

Tokoh Masyarakat Pangandaran Ruhendi (50) mengatakan, tragedi pembantaian terduga dukun santet di Pangandaran memiliki runutan cerita yang cukup panjang.

“Panjang lebar ceritanya, karena pemicunya itu berita di TV soal pembantaian dukun santet di Banyuwangi,” kata Ruhendi saat berbincang dengan detikJabar, Sabtu (21/10/2023).

Konflik bermula dari tayangan di televisi yang menyebutkan jika orang-orang yang membantai dukun santet di Banyuwangi tak dihukum. Kejadian itu terjadi sekitar tahun 1998.

“Sehingga beranggapan kalau di Pangandaran dilakukan akan terjadi hal yang sama,” ucapnya.

Ruhendi mengingat betul jika kejadian pertama muncul tahun 1999 dari Desa Pagergunung, Kecamatan Pangandaran.

“Sebetulnya bukan terduga seperti apa yang diberitakan media saat itu, tetapi itu beneran dukun santet. Benar bukan terduga, tapi memang dukun santet. Pagergunung jadi bola panas pembantaian dukun santet di Pangandaran,” katanya.

“Ya awal mula pembantaian kepada dukun yang berada di kampung saya ini,” katanya.

Kala itu, warga Pangandaran juga memang tengah resah dengan praktik-praktik perdukunan. Sehingga muncul inisiatif dari warga.

Korban Pertama

Orang pertama yang dipersekusi hingga tewas bernama Ki Tarmuji guru besar para tukang teluh (santet) di wilayah Pangandaran. Dia dipercaya memiliki ilmu hitam yang bisa menimbulkan penyakit aneh hingga menyebabkan orang meninggal dunia.

“Kejadian itu mulai sekitar awal 1999, usia saya masih 28 tahun dan baru menikah,” kata Ruhendi.

“Ki Tarmuji gurunya para santet di Pangandaran. Dia sangat terkenal di kampung ini. Usai warga panas mereka membabibuta (membantai) Ki Tarmuji hingga tewas dan digantung di jembatan,” katanya.

“Dulu saya menyaksikan cuman tidak ikut persekusi. Semua masyarakat ikut pada waktu itu, hampir semua terpicu,” imbuhnya.

Pembantaian Ki Tarmuji, menurut Ruhendi dilakukan saat malam hari hingga tengah malam. “Setiap menyasar target sekelompok warga itu melakukannya malam hari,” ucapnya.

Pemicu Pembantaian Menyebar

Api kemarahan warga tampaknya merembet ke wilayah lainnya di Ciamis selatan, lainnya yang kala itu masih belum jadi daerah otonomi baru (DOB) Kabupaten Pangandaran. Warga di Sidamulih, Cijulang hingga Cimerak juga ikut tersulut.

“Menjadi bola panas, bermula dari situ, spontanitas. Seperti terstruktur sampai ke daerah-daerah dan pembantaian pun terjadi di beberapa wilayah Pangandaran,” ucapnya.

Informasi yang diterima detikJabar, kejadian selanjutnya menimpa salah satu warga Kecamatan Sidamulih, diseret sekelompok orang yang menutup wajahnya bak ninja sarungan.

Penyeretan salah satu warga itu dilakukan terang-terangan saat terduga pelaku mengumandangkan takbir malam lebaran pada 19 Januari 1999.

Warga di desa tersebut tidak ikut campur dan memilih tutup mata. Terduga dukun santet itu dibawa puluhan orang ke atas dump truck bak besar disiksa dan dikuliti hingga tewas.

Kemudian mayat terduga dukun santet itu dibuang ke sungai Ciwayang, Desa Cimindi, Kecamatan Cigugur.

Korban Salah Sasaran

Kemudian setelah tragedi ini menyebar tak sedikit pembantaian terhadap terduga tukang teluh salah sasaran. Bahkan sempat menyasar masyarakat setempat yang dicurigai.

Korban terakhir dalam data yang diterima detikJabar ki Oneng, warga terduga dukun santet di Kecamatan Cimerak.

“Seingat saya yang dikuliti tubuhnya terbagi menjadi tiga alat vitalnya dipotong dan dibuang ke sungai itu Ki Oneng. Banyak korban tertuding mungkin memang ada karena respon masyarakat jika tidak mendukung itu ibaratnya takut tidak memihak. Pasti itu bela diri saja, pada prinsipnya pasti punya,” kata Ruhendi.

Polisi kemudian bergerak dengan mengamankan belasan warga Pangandaran pada tahun 2000-an.

Malam Hari di Pengajian

Memori ingatan masih mengitari salah satu warga di Pangandaran yang mengalami malam mencekam saat musim pembantaian.

“Tahun 1999 berarti saya sekitar usia 12 tahun, kalau di Kampung kan informasi sangat terbatas tidak disiarkan di media mainstream. Sementara itu sumber informasi utama kan desas desus dan gosip-gosip saja,” kata Andi Nuroni Pegiat Literasi di Pangandaran.

Menurutnya saat mendengar informasi pembantaian itu datang dari guru ngajinya yang sempat khawatir menjadi korban salah sasaran.

“Ya dulu kan keyword (kata kunci) yang beredar itu. ‘Dukun santet dukun santet’ naon sih dukun santet (apa sih dukun santet),” kata Andi.

Andi mengatakan guru ngaji itu pernah bilang kepada para murid-muridnya, jika ada yang mencarinya maka jangan diberitahu.

“Guru ngaji bahkan beberapa waktu tidak ngajar ngaji karena takut jadi sasaran salah tangkap,” katanya.

“Itu kan memori masa kecil, jadi saya tahunya cerita penggalan itu. Jadi terdengar banyak dukun santet dibunuh, diasosiasikan dengan guru ngaji,” kata Andi.

Andi menyebutkan jika saat itu background politik dalam peristiwa tersebut belum mengerti pasti, termasuk setelah dewasa belum mendapatkan jawaban kecuali kalangan terdidik yang mendapatkan informasi.

“Latar belakang politiknya sampai hari ini tidak cukup mendalami, tapi kurang lebih gambarannya ada hubungannya dengan pembantaian di Banyuwangi, dan mungkin ada kaitannya dengan masa reformasi saat itu,” ucapnya.

Usai Tragedi Pembantaian

Tragedi Pembantaian terhadap dukun santet berlangsung periode Januari-April 1999. Sepanjang tahun itu ketakutan dan trauma warga masih terasa.

Melansir dari data Komisi untuk Orang Hilang dan Tindakan Kekerasan (Kontras) yang terbit.

Pada 26 April 1999 mencatat, peristiwa pembantaian menewaskan 50 orang, bahkan diduga lebih dari 50 orang. Selain itu data lainnya menyebutkan 100 dan Kepolisian Daerah Jawa Barat di tahun yang sama menuliskan 18.

“Dari pemeriksaan sementara, beberapa tersangka mengatakan ini dilakukan karena dendam akibat anggota keluarganya yang meninggal setelah diobati oleh orang yang dituduh tukang teluh ini. Di samping itu karena memang didukung masyarakat,” ujar Kapolres Ciamis Letkol (Pol) Martono didampingi Kapolsek Pangandaran Lettu (Pol) A Muis BJ waktu itu.

Modus Operasi

Biasanya sebelum beraksi, para pemuda dan masyarakat berembuk dulu untuk menentukan siapa calon korbannya. Dananya berasal dari masyarakat dan penyandang dana lainnya.

“Para tersangka yang mengotaki pembunuhan ini mengakui, mereka disuruh masyarakat. Dana yang digunakan untuk membayar pembunuh diberikan oleh masyarakat sendiri. Bahkan ada yang meminjam dari seseorang. Tetapi siapa masyarakat itu, sampai saat ini kami belum mendapat keterangan pasti. Kini sedang diselidiki,” papar Kadit Serse Polda Jawa Barat waktu itu.

Dalam laporan Investigasi Tempo yang terbit 10 Mei 1999 yang bertajuk “Pembantaian Dukun Teluh dari Ciamis Selatan” menceritakan absurd dan memualkan pembunuhan Oneng Suharya terduga dukun santet yang dimutilasi secara membabi buta.

Bahkan Tempo menuliskan kekejaman seorang algojo yang memotong beberapa bagian tubuh hingga alat vitalnya.

Tewasnya Oneng merupakan salah satu korban terakhir pada April 1999. Setelah itu tahun 2000an sejumlah pihak diperiksa kepolisian Polres Ciamis.

Tragedi pembantaian tersebut sempat disorot berbagai pihak dan dianggap sebagai pelanggaran HAM. Sebuah jurnal yang ditulis Budi Sa’rin yang berjudul “Pembunuhan Berkedok Santet di Ciamis sebagai Pelanggaran Berat HAM”

Budi menuliskan jika ada dua kelompok yang beraksi dalam pembantaian tersebut, pertama kelompok verifikasi pencari target orang yang akan dibantai dan kedua tim provokasi dan pembunuh.

Tugas provokator menyeret korban hingga ke tengah massa. Ada 100-200 orang yang menjadi kelompok pembantai tersebut dan hanya 4 orang tim provokator.

Lorong Waktu merupakan rubrik khusus dari detikJabar yang membahas mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau.

(yum/yum)

source

Kata kunci yang digunakan :