Sering orang bertanya, dengan nada setengah yakin: dari mana sebenarnya rasa aman itu berasal? Dari senjata yang terlihat di pinggang? Dari seragam yang rapi dan pangkat yang bertingkat? Dari apel pagi dengan barisan lurus dan komando yang keras? Pertanyaan itu tampak sederhana, tetapi jawabannya tidak pernah sesederhana itu. Di lapangan, ketertiban jarang lahir dari bentakan. Ia tumbuh pelan, nyaris tak terdengar. Seperti rumput yang merambat di sela-sela batu. Tidak gagah, tidak mencolok, tetapi mengikat tanah agar tidak mudah longsor.
Pengalaman di Banyuwangi menunjukkan hal itu dengan cukup terang. Selama masa kepemimpinan Rama Samtama Putra, kota ini berjalan dalam suasana yang relatif kondusif. Bukan tanpa masalah—karena hidup memang tidak pernah steril dari gesekan—tetapi terawat. Ada rasa aman yang tidak dibunyikan dengan sirene. Ada ketertiban yang tidak dipaksakan dengan nada tinggi. Orang pulang malam tanpa waswas berlebihan. Anak-anak bermain sore tanpa kecemasan yang diwariskan dari ketakutan orang dewasa. Barangkali inilah bentuk keamanan paling hakiki: ketika manusia tidak merasa sedang diawasi, tetapi dijaga.
Nama Rama Samtama Putra di Banyuwangi tidak beredar sebagai kabar keras. Tidak hadir sebagai headline yang memekakkan. Ia lebih sering muncul sebagai bisik yang menenangkan. Seperti hujan kecil di sore hari—tidak mengagetkan, tidak menuntut perhatian, tetapi membuat udara terasa jinak. Di kota yang akrab dengan riuh festival, arus wisata, dan lalu lintas manusia yang hampir tak pernah benar-benar diam, ketenangan justru menjadi peristiwa langka. Dan Rama memilih berada di wilayah itu: wilayah sunyi yang jarang diliput, tetapi justru menentukan arah.
Banyak orang masih mengira stabilitas lahir dari seragam, pangkat, dan instruksi. Dari barisan yang rapi dan suara komando yang tegas. Seolah ketertiban adalah hasil bentakan yang berhasil, atau disiplin yang dipaksakan. Padahal, dalam banyak hal, keteraturan justru tumbuh dari hal-hal yang lebih senyap: dari kesediaan mendengar, dari kemampuan menahan lidah sebelum bicara, dari kebiasaan duduk tanpa tergesa. Dalam tradisi religius, mendengar adalah ibadah paling awal. Bahkan sebelum bicara tentang perintah dan larangan, manusia diminta untuk menyimak. Wahyu pun pertama-tama datang untuk didengar, bukan untuk dipamerkan. Dari mendengar itulah kerendahan hati tumbuh. Dan dari kerendahan hati, ketertiban menemukan akarnya.
Rama tampaknya memahami laku ini. Kekuasaan tidak dijadikan panggung, melainkan ruang pengabdian. Kehadiran tidak selalu ditandai dengan protokoler, melainkan dengan kesediaan hadir apa adanya. Ia muncul di ruang-ruang yang sering luput dari peta kekuasaan: pojok Taman Blambangan, meja warung kopi, diskusi kecil bersama tokoh budaya, seniman, dan sesepuh adat. Tidak ada mikrofon. Tidak ada podium. Kadang bahkan tidak ada agenda. Hanya percakapan yang mengalir, kadang melebar, kadang berputar-putar, tetapi justru di situlah denyut masyarakat terasa.
Sebagian orang mungkin heran. Kapolresta kok seperti tidak menjaga jarak. Terlalu santai. Terlalu membumi. Tapi barangkali justru di situlah ilmunya bekerja. Dalam laku spiritual, menjaga jarak berlebihan sering melahirkan prasangka. Sebaliknya, kedekatan yang jujur menumbuhkan saling percaya. Dan kepercayaan adalah fondasi paling kokoh dari stabilitas. Pendekatan budaya dan seni dibiarkan hidup. Puisi dibaca. Diskusi kebangsaan dan budaya berlangsung tanpa beban. Bagi sebagian orang, ini mungkin tampak sepele—bahkan tidak penting. Namun dalam kacamata batin, seni adalah jalan sunyi menuju keteraturan jiwa. Puisi mengajarkan orang untuk mengendapkan kata, menimbang makna, dan belajar diam sebelum menilai. Orang yang batinnya tertata, jarang tergoda merusak ruang bersama.
Ada adegan kecil yang kerap terulang. Bukan di ruang rapat. Bukan pula di balik meja besar yang penuh map dan stempel. Adegan itu terjadi di tempat yang justru dianggap remeh: pojok Banyuwangi Creative Market (BCM), Minggu pagi, di Taman Blambangan. Di sana, secangkir kopi dibiarkan sejenak. Tidak langsung diminum. Ditunggu sampai uapnya jinak. Tampak sederhana. Bahkan nyaris tidak layak dicatat. Tetapi justru dari hal-hal kecil seperti itulah watak seseorang sering terbaca. Kopi yang terlalu panas bisa melukai lidah. Keputusan yang terlalu cepat bisa melukai banyak orang. Dua hal itu tidak jauh berbeda. Sama-sama butuh jeda. Menunggu kopi mendingin adalah pengakuan bahwa tidak semua hal bisa ditaklukkan dengan segera. Ada waktu yang harus dihormati. Ada proses yang tidak boleh dilompati. Dalam dunia yang serba cepat—serba ingin segera, serba ingin viral, serba ingin selesai hari ini juga—menunggu menjadi tindakan yang hampir dianggap dosa. Padahal, dalam banyak tradisi religius, menunggu justru adalah bentuk ibadah. Ia melatih sabar. Ia mengajarkan batas.
Rama Samtama Putra memilih jalan itu. Menunggu. Mengendapkan. Membaca situasi. Tidak semua hal ditanggapi dengan reaksi spontan. Tidak setiap gejolak harus dijawab dengan suara keras. Kadang, yang dibutuhkan justru keheningan agar persoalan menampakkan wajah aslinya. Sikap seperti ini memang tidak heroik. Tidak dramatis. Tidak menghasilkan tepuk tangan. Tetapi mahal. Sangat mahal. Karena menunggu berarti menahan ego. Menunda keinginan untuk segera terlihat bertindak. Dan bagi seorang pejabat, menahan diri seringkali lebih sulit daripada bertindak.
Di BCM, Minggu pagi, orang-orang lalu-lalang. Ada yang berolahraga. Ada yang berbelanja. Ada yang sekadar ingin terlihat sibuk. Rama duduk di sana setelah olahraga tanpa membuat suasana berubah tegang. Tidak ada lingkar pengamanan. Tidak ada jarak yang dipaksa. Kopi tetap kopi. Obrolan tetap obrolan. Kota tetap berjalan seperti biasa. Justru di situlah tanda bahwa sesuatu bekerja dengan baik. Menunggu kopi mendingin juga berarti percaya bahwa panas akan reda dengan sendirinya. Bahwa tidak semua konflik harus dipadamkan dengan sirene. Ada panas sosial yang cukup didiamkan sejenak, agar tidak berubah menjadi luka. Kesabaran semacam ini jarang dibicarakan dalam laporan kinerja. Tidak masuk grafik. Tidak mudah diukur. Tetapi dampaknya terasa.
Banyuwangi merasakannya. Kota ini relatif tenang bukan karena tidak ada persoalan, melainkan karena persoalan-persoalan itu tidak dibiarkan membesar. Ada tangan yang bekerja pelan. Ada kepala yang tidak tergesa. Ada pilihan untuk menunggu sebelum bertindak. Di zaman ketika kecepatan sering disalahpahami sebagai kecakapan, menunggu menjadi tindakan radikal. Dan di pojok Taman Blambangan itu, secangkir kopi yang dibiarkan mendingin telah berubah menjadi pelajaran kepemimpinan. Tanpa pidato. Tanpa poster. Tanpa slogan. Kadang, menjaga kota memang tidak membutuhkan suara keras. Cukup secangkir kopi. Dan kesediaan untuk menunggu.
Agama, dalam hikmah paling dasarnya, tidak pernah menempatkan pemimpin sebagai pusat semesta. Ia justru meletakkannya di pinggir: sebagai khadim, sebagai pelayan. Seseorang yang hadir bukan untuk ditinggikan, melainkan untuk menopang. Bukan untuk disorot, melainkan untuk memastikan cahaya sampai ke sudut-sudut yang kerap luput dari perhatian. Dalam laku seperti ini, kepemimpinan bukan soal berdiri paling depan, melainkan kesiapan untuk berdiri paling lama ketika yang lain lelah. Pemimpin tidak harus selalu bicara paling lantang. Bahkan, dalam banyak ajaran spiritual, terlalu banyak bicara sering kali justru menjauhkan dari kebijaksanaan. Yang lebih penting adalah memastikan semua suara punya ruang untuk hadir. Suara yang lirih. Suara yang ragu. Suara yang tidak pandai menyusun kalimat. Sebab keadilan tidak selalu datang dari mereka yang pandai berbicara, tetapi kerap bersembunyi di balik diam orang-orang kecil.
Tidak perlu selalu terlihat. Tidak harus selalu disebut. Dalam etika religius, kebaikan yang paling murni justru yang dikerjakan tanpa saksi. Pemimpin yang baik adalah ia yang bekerja sehingga orang lain merasa aman untuk hidup, bernafas, dan bertumbuh—tanpa perlu tahu siapa yang menjaga mereka. Ketika masyarakat bisa menjalani hari-harinya tanpa rasa takut, tanpa curiga berlebihan, di situlah pelayanan benar-benar bekerja. Kewenangan, dalam logika ini, bukan alat untuk menekan atau mengatur dengan kekakuan. Ia adalah amanah. Titipan yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban, bukan hanya di hadapan hukum, tetapi juga di hadapan nurani. Karena itu, amanah tidak dijalani dengan beban kesombongan, melainkan dengan kesadaran bahwa kuasa hanyalah sarana, bukan tujuan.
Menjalani kewenangan dengan ringan bukan berarti sembarangan. Ringan karena tidak dipenuhi ambisi pribadi. Ringan karena tidak harus selalu membuktikan diri. Namun justru penuh tanggung jawab, sebab setiap keputusan disadari memiliki dampak bagi banyak kehidupan. Dalam laku seperti ini, kekuasaan ditundukkan pada nilai, dan jabatan menjadi jalan sunyi untuk berbuat baik. Agama mengajarkan bahwa kelak yang ditanya bukan seberapa tinggi jabatan pernah dipegang, melainkan seberapa banyak ketakutan yang berhasil diredakan. Seberapa banyak luka yang dicegah. Seberapa banyak kehidupan yang dibiarkan tumbuh tanpa gangguan. Dan barangkali, di situlah makna terdalam dari kepemimpinan sebagai khadim: hadir secukupnya, bekerja sepenuh hati, lalu pergi tanpa meninggalkan beban—kecuali kenangan tentang rasa aman yang pernah ada.
Ketika kabar mutasi akhirnya datang, rasa kehilangan pun hadir pelan. Tidak meledak, tidak riuh. Seperti kehilangan kursi di teras rumah. Benda kecil, nyaris remeh, tetapi selalu dicari saat senja. Baru terasa penting justru ketika tidak lagi di tempatnya. Para tokoh adat Osing kemudian duduk bersama. Tanpa SK. Tanpa telegram. Tanpa protokol. Tidak ada meja panjang, tidak ada kursi berjarak. Hanya tikar, kopi hangat, dan percakapan yang mengalir pelan. Dari situ lahir keputusan yang tidak pernah dipesan oleh negara: memberikan kehormatan sebagai Warga Kehormatan Suku Osing.
Upacara pun digelar dengan cara yang bersahaja. Tumpeng serakat dihidangkan. Bukan sekadar sajian, melainkan simbol yang sarat makna. Dalam tradisi Osing, tumpeng serakat adalah pengingat arah hidup. Alasnya lebar, puncaknya satu. Artinya jelas: masyarakat boleh beragam, tetapi tujuan batinnya satu. Menuju keseimbangan. Menuju Yang Maha Tunggal.
Kata serakat sendiri mengandung makna kebersamaan dan persetujuan batin. Ia bukan perayaan kemenangan, melainkan pernyataan niat baik. Lauk-pauk yang mengelilingi tumpeng bukan pelengkap semata, melainkan simbol peran yang saling menopang. Tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain. Semuanya mengarah ke pusat makna yang sama.
Doa-doa dilangitkan dengan cara Osing—cara yang tidak tergesa. Ada jeda. Ada keheningan. Ada ruang bagi napas untuk menemukan iramanya sendiri. Dalam keheningan itulah manusia belajar menerima bahwa segala yang datang pada akhirnya akan pergi. Bahwa jabatan hanyalah persinggahan. Bahwa yang tinggal bukan nama di papan, melainkan jejak di ingatan.
Penghormatan ini bukan basa-basi. Ia tidak lahir dari agenda, melainkan dari laku. Dari cara menghormati orang lain tanpa memilah latar. Dari kebiasaan duduk setara, ngopi bersama, tertawa dengan bahasa sehari-hari, tanpa merasa perlu menjaga jarak kuasa. Orang sering tidak menyangka bahwa sosok santai itu adalah Kapolresta. Dan justru di situlah kewibawaan tumbuh: bukan karena ditakuti, tetapi karena dihormati.
Banyuwangi paham, tidak ada yang bisa ditahan selamanya. Karier seseorang tidak bisa diikat oleh kerinduan sebuah kota. Harapannya sederhana: semoga pengganti kelak juga mau duduk, mau mendengar, mau berdiskusi tanpa nada tinggi. Mau menganggap puisi, kopi, dan percakapan remeh sebagai bagian dari kerja menjaga negeri.
Sebab Banyuwangi tidak pernah meminta banyak. Ia hanya ingin diperlakukan sebagai rumah. Dan selama satu tahun tiga bulan itu, Rama Samtama Putra telah bersikap seperti tamu yang tahu diri—datang dengan sopan, duduk dengan santun, dan pergi dengan meninggalkan kenangan baik.
Di kota ini, ia tidak akan dikenang semata sebagai Kapolresta. Ia akan dikenang sebagai seseorang yang pernah memilih mendengar, pernah mau duduk setara, dan pernah menjaga ketertiban dengan cara yang paling manusiawi. Dalam hidup yang fana, barangkali itulah bentuk pengabdian yang paling abadi: dikenang bukan karena jabatan, melainkan karena adab.
Syafaat ; Ketua Lentera Sastra Banyuwangi







