Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Kisah Pilu Kakek Suwandi, Saksi Hidup Perang Kemerdekaan di Lereng Gunung Raung Banyuwangi

kisah-pilu-kakek-suwandi,-saksi-hidup-perang-kemerdekaan-di-lereng-gunung-raung-banyuwangi
Kisah Pilu Kakek Suwandi, Saksi Hidup Perang Kemerdekaan di Lereng Gunung Raung Banyuwangi

radarbanyuwangi.jawapos.com – Delapan puluh tahun sudah Indonesia merdeka. Namun di balik hiruk pikuk perayaan HUT Kemerdekaan, masih ada saksi hidup yang menyimpan ingatan getir tentang perjuangan berdarah demi mengibarkan Sang Merah Putih.

Salah satunya adalah Suwandi, kakek renta asal Dusun Sidomulyo, Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Banyuwangi.

Dewasa ini mungkin banyak saksi hidup yang bisa mengisahkan kengerian perang masa kolonial lebih dari 80 tahun silam. Namun, di Banyuwangi ada seorang kakek yang menjadi saksi hidup kejadian masa itu.

Dialah Suwandi, veteran asal lembah Gunung Raung, tepatnya Dusun Sidomulyo, Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu.

Usianya ditaksir sudah satu abad lebih. Rambutnya memutih, tubuhnya ringkih, tetapi memori tentang masa kolonial dan agresi militer Belanda masih tertanam di benaknya hingga kini.

Suwandi seperti punya gudang arsip sendiri di kepalanya. Halaman per halaman dari masa-masa sulit menjadi pribumi itu terdokumentasi dengan rapi dalam ingatannya.

Mengawali ceritanya, Suwandi menyebutkan sejak remaja sudah menjadi serdadu perang di berbagai tempat.

Di antaranya, perang di Surabaya, perang di Jember, dan terakhir perang melawan penjajah Belanda di Banyuwangi.

“Saya lupa tahunnya, tapi saat itu saya sudah dewasa,” ujarnya lirih saat ditemui di kediamannya Sabtu (16/8) lalu.

Mengacu pada catatan sejarah, agresi militer Belanda kedua berlangsung sekitar tahun 1947–1948.

Saat itulah pasukan republik terdesak keluar dari kota dan bertahan di desa-desa, termasuk di lereng Gunung Raung.

“Kondisi saat itu mendesak, di Banyuwangi juga sama mencekam,” katanya.

Suwandi mengisahkan secuil cerita saat kelompoknya di Banyuwangi terkepung. Bersama veteran lainnya sedang berjuang untuk mengusir militer Belanda yang mendarat di pesisir Banyuwangi.

Regu perlawanan Suwandi dipukul mundur hingga nyaris tak tersisa. “Belanda datang kami berperang. Karena kalah jumlah dan senjata akhirnya terpaksa mundur,” kenang Suwandi.


Page 2


Page 3

Suwandi bersama regunya berlari ke hutan untuk menyelamatkan diri. Ada yang menyeberang laut, ada yang menyusup ke rawa, ada pula yang menenggelamkan diri di lumpur.

Suwandi memilih bertahan di tepi sungai. Makanan nyaris tak ada. Mereka hanya mengunyah daun-daunan dan meneguk air sungai. “Siang malam sama saja, takut terus. Yang penting bisa hidup,” katanya.

Menurut dia, dari belasan kawan seperjuangan, hanya enam yang tersisa. Mereka adalah Suwandi, Darmin, Broto, Slamet Cokro, Jendul, dan Sukri Ilyas.

Pelarian mereka berakhir di sebuah kampung yang kini bernama Dusun Sidomulyo. “Keberadaan kami dilacak Belanda. Tentara mereka mengetahui persembunyian kami,” tandasnya.

Satu temannya, Jendul, lanjut Suwandi, kala itu nekat keluar rumah. Ia tertangkap dan ditembak mati oleh Belanda.

Sukri yang bersembunyi di kerumunan warga yang sedang kerja bakti, juga dieksekusi bersama penduduk setempat. Slamet Cokro yang berlari ke arah timur pun terjebak patroli lain dan tewas di pinggir sungai.

“Saya dengar suara tembakannya. Waduh, satu per satu teman saya mati,” kenangnya.

Menurutnya, saat itu hanya Darmin dan Broto yang masih berhasil melanjutkan pelarian, masing-masing ke arah selatan dan hutan Raung.

Suwandi sendiri akhirnya memilih bertahan bersama warga kampung. Hingga kini, ia tak pernah tahu nasib dua rekannya itu.

“Sekarang di mana, masih hidup atau tidak, saya sudah tidak tahu,” katanya.

Ia juga menjelaskan, saat itu untuk mencegah Belanda masuk lebih jauh, warga setempat merobohkan jembatan utama yang menghubungkan kampung.

Sejak saat itu, pasukan Belanda tak pernah kembali. “Dulu warga gotong royong untuk mengusir dan mempertahankan negara ini,” cetusnya.

Di Sidomulyo inilah Suwandi menetap hingga kini. Sesekali ia masih menitikkan air mata ketika mengingat rekan-rekan seperjuangan yang gugur. Bagi Suwandi, perjuangan melawan penjajah adalah perang suci.

“Teman-teman saya dikubur di sini, karena itu saya juga menetap di sini,” katanya seraya menyebut satu teman, Cokro, dibuatkan patung oleh warga untuk mengenang jasanya.

Patung itu kini berada di halaman Kantor Desa Jambewangi. Cokro, seperti dirinya bertarung tanpa memikirkan pulang atau mati.