Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Krisis Air dan Pungutan yang Mencekik: Sejumlah Petani di Banyuwangi Minta Jogo Tirto di Ganti

krisis-air-dan-pungutan-yang-mencekik:-sejumlah-petani-di-banyuwangi-minta-jogo-tirto-di-ganti
Krisis Air dan Pungutan yang Mencekik: Sejumlah Petani di Banyuwangi Minta Jogo Tirto di Ganti
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

BANYUWANGI, Jurnalnews – Sekitar 20 petani bergotong royong membersihkan sungai Dawuhan kegiatan ini digelar beberapa hari lalu, berlokasi di Dusun Rimpis, Desa Sumbersari, Kecamatan Srono, Banyuwangi, Jawa Timur. Minggu (24/12/2023).

Mereka membersihkan irigasi untuk memastikan aliran air lancar. Tindakan ini diambil karena mereka menduga depit air berkurang dikarenakan tersumbat, menghambat pengairan sawahnya.

Sungai Dawuhan lokasinya berbatasan antara Dusun Rimpis dan Dusun Simbar di Desa Karangsari, Kecamatan Genteng, Banyuwangi.

Sumardi, Salah satu petani dari kelompok tani Margo Utomo Dusun Rimpis, menjelaskan para petani bergotong royong membersihkan sungai Dawuhan. Mereka fokus membersihkan rumput dan tanah wallet yang menggenang menghalangi aliran air.

Tindakan itu diperlukan karena genangan tersebut menghambat aliran air ke persawahan. Mereka menekankan pentingnya pengairan saat musim tanam, dan kekhawatiran bahwa tanaman padi bisa terancam jika kekurangan air.

“kita bareng – bareng membersihkan rumput dan tanah yang menggenang menghalangi aliran air, sebab air minim sampek ke persawahan kita. Lahan sawah saat musim tanam memerlukan pasokan air yang cukup. Kekurangan air dapat mengancam kelangsungan tanam padi.” jelasnya.

Mereka menyebut bahwa petani setempat bergotong royong, namun diduga seorang penjaga air, yaitu Jogo Tirto, enggan berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.

Sumardi, menambahkan bahwa dalam beberapa bulan terakhir, petani telah mengeluhkan kinerja Jogo Tirto. Mereka merasa tidak adil dalam distribusi air ke persawahan dan juga dalam hal membersihkan irigasi di lahan pertanian mereka.

“Petani sudah tidak mau dan tidak setuju, kami menginginkan penggantian untuk Jogo Tirto karena pekerjaannya tidak sesuai dengan kebutuhan petani di sini. Misalnya, membersihkan saluran air ke sawah tidak dikerjakan dan pembagian air juga tidak adil. Namun, setiap kali panen tiba, Jogo Tirto tetap meminta upah,” jelasnya.

Dusun Rimpis, Desa Sumbersari, memiliki wilayah persawahan seluas kurang lebih 80 hektar yang dimiliki oleh hampir 150 petani. Namun, petani terutama dalam kelompok tani Margo Utomo mengeluh terkait pungutan yang terbilang luar biasa.

Setiap petani diwajibkan membayar sekitar 17 kilogram gabah, dalam seperempat hektar lahan setiap kali panen. Besarnya pungutan ini menjadi pertanyaan dan perdebatan di kalangan petani.

“kami tetap disuruh bayar 17 kilogaram dalam seperempat hektar sekali panen,” ungkap Sumardi.

Lebih memprihatinkan saat musim kering, Sumardi mengungkapkan kebingungannya terkait pasokan air. Beberapa petani bahkan terpaksa membeli air untuk mengairi sawah mereka.

“jika musim kering seperti sekarang kita harus membeli air, untuk sawah seluas seperempat hektar harganya 35 ribu rupiah ke Jogo Tirto. Sebenarnya, petani tidak setuju air dijual, tetapi kita bersedia membeli asalkan mendapatkan air. Tapi setelah membayar, air tidak kunjung datang,” ungkap Sumardi.

Permasalahan ini sudah berlangsung hampir 2 bulan. Meskipun Desa telah melakukan mediasi dua kali, namun belum ada solusi yang jelas. Menurut petani di Rimpis, permintaan mereka untuk mengganti Jogo Tirto belum direspon oleh Kepala Desa Sumbersari.

“Kami telah meminta penggantian Jogo Tirto, tetapi permintaan kami tidak ditanggapi oleh Pak Kades, bahkan diabaikan (di olor-olor),” ungkap Sumardi.

Sementara itu, Kepala Desa Sumbersari, Khamdan, menjelaskan bahwa Jogo Tirto, yang akrab dipanggil Pak Biki, memiliki dua wilayah tugas, yaitu wilayah utara dan selatan. Wilayah utara, di antara keduanya, memiliki luas yang lebih besar.

Ketika dalam sesi mediasi, Kades menceritakan bahwa yang hadir bukan hanya petani, tetapi juga orang yang mengawasi Pengairan Alas Malang (Semalang), yaitu Pak Kalup dari Dinas Pengairan.

“Jogo Tirto memiliki tugas menurunkan air dari saluran induk, sementara untuk tugas di lapangan, ada Supblok, yang membersihkan saluran kotor itu menjadi tanggung jawab Supblok,” kata Khamdan.

Menurut Khamdan, pada musim kemarau panjang tahun ini, kekurangan air tidak hanya terjadi di wilayah Rimpis, melainkan hampir di seluruh wilayah Desa Sumbersari.

Khamdan berharap ke depan, Pak Biki diberi kesempatan untuk memperbaiki kinerjanya. Jika ada permasalahan, diharapkan dapat diselesaikan dengan cara yang baik dan adil. Karena ada dua wilayah utara dan selatan, diwilayah tersebut ada dua Supblok, sedangkan Kepala Supblok (jogo tirto) yaitu pak Biki.

“Kami tidak memihak satu kelompok saja, kami ingin permasalahan ini diselesaikan secara baik dan adil tanpa menciptakan permusuhan,” ujar Khamdan.

Khamdan menambahkan, menurunkan Kepala Subblok (Jogo Tirto) bukanlah hal yang mudah. Proses ini melibatkan tahapan-tahapan tertentu, termasuk persiapan wilayah petani dan penentuan calon yang tepat.

Demikian juga dengan isu penjualan air oleh Pak Biki, ketika mediasi dilakukan di kantor Desa, kepala desa bertanya kepada para petani dalam forum. Menurut Kades, tidak ada yang bersedia bicara.

“Saat di forum, saya tanya kepada mereka, ada yang menyebutkan bahwa Pak Biki menjual air. Ketika saya tanya seperti itu, semua hanya diam tanpa ada yang mau mengaku. Jika memang benar Pak Biki menjual air, segera saya hentikan. Semuanya terdiam dan tidak ada yang mau bicara,” kata Khamdan.

Permasalahan petani, seperti permainan bola liar dan keterpurukan dalam pembagian air persawahan di lingkup petani Dusun Rimpis selatan, menyerupai sebuah kompetisi saling merebut.

Ternyata bisa kita simpulkan ternyata persoalan yang sulit itu penyebabnya adalah soal air, irigasi satu pitu itu yang membuat salah satu kelompok tani di wilayah itu merasa kurang  adil.

Diketahui, air yang mengalir ke persawahan di wilayah Rimpis selatan ternyata melalui satu pintu yang dibagi menjadi dua wilayah, yaitu ke persawahan petani Rimpis utara dan selatan.

Pembagian air yang menyedihkan ini menyebabkan sawah-sawah di Rimpis utara dan selatan harus menunggu aliran air dari wilayah Dusun Simbar, jika ingin mengairi lahan pertanian mereka.

“Memang, masalah air sawah di wilayah itu, yang saya tau sejak dulu tidak akan selesai, jika irigasi masih mengalir melalui satu pintu di dusun Simbar. Sebelum air mencapai persawahan di Rimpis, harus terlebih dahulu memenuhi kebutuhan di wilayah dusun Simbar,” kata Kepala Desa Sumbersari, Khamdan.

Khamdan bercerita bahwa saat musim kemarau panjang, wilayah mereka di Dusun Rimpis selalu menghadapi permasalahan volume air yang tidak pernah cukup untuk dibagi di dua wilayah, yakni Rimpis utara dan selatan.

Khamdan pernah menyampaikan kepada pemerintah daerah untuk membuatkan irigasi terpisah dari Dusun Simbar. Namun, permohonan tersebut diabaikan oleh petugas dari Dinas Pengairan Banyuwangi, dengan alasan bukan wewenangnya.

“Ternyata, sungai yang dialiri berasal dari pengelolaan PU Pengairan Provinsi,” jelasnya.

Wilayah persawahan di Dusun Rimpis memiliki luas sekitar 150 hektar, terbagi menjadi dua wilayah dan dua kelompok tani, yakni Rimpis utara dan selatan.

Rimpis utara merupakan wilayah terluas, sementara Rimpis selatan terletak di ujung wilayah, membuat pasokan air sering mengalami kekurangan, terutama saat musim kemarau panjang. (Rony//JN).