
RUMAH yang sekelilingnya dipagari bambu itu sekilas tidak berbeda dengan rumah warga lain di sekitarnya. Bangunan itu terlihat sudah permanen dengan ukuran agak lebar. Di teras depan rumah tampak becak sedang diparkir.
Di ruang tamu yang berukuran tiga meter kali tiga meter itu tidak ada perabotan yang ditemui. Sebuah motor lengkap tobos untuk jualan roti bakar diparkir dekat pintu. “Ini bukan rumah saya, tapi saya mengontrak Rp 1,5 juta setahun,” jelas Maat, ayah Eko Supriyono.
Eko tengah duduk di kursi dengan kepala menyandar ke dinding ruang tamu sebelah timur. Butiran air mata sesekali mengalir dari kedua matanya. “Air matanya sering mengalir seperti menangis,” jelas Sahami, ibunya, sambil mengusap air mata yang membasahi pipi Eko.
“Pernah diperiksakan ke dokter, katanya tidak ada penyakitnya,” sahut Maat. Dengan suara lirih Maat menyebut, dirinya memang jarang memeriksakan putranya ke dokter karena masalah keuangan. Dirinya bekerja sebagai tukang becak dan istrinya menjual jamu keliling. Penghasilan mereka hanya cukup untuk hidup seharihari. “Saya juga tidak tahu penyakit apa yang menimpa Eko ini,” katanya.
Saat diperiksakan ke dokter beberapa tahun lalu, dijelaskan bahwa kelainan yang menimpa putranya hingga kepalanya membesar itu disebabkan cairan di kepala beku dan urat sarafnya kecil. “Anehnya kedua kakinya ikut mengecil hingga akhirnya lumpuh,” cetusnya.