sumber : radarbanyuwangi.jawapos.com – Simbol perlawanan lintas generasi kini merambah ke ruang digital Indonesia.
Tiga huruf dan satu singkatan sederhana, ACAB dan 1312 menjadi sorotan setelah ribuan warganet menggunakannya pasca demonstrasi besar di Jakarta.
ACAB adalah akronim dari “All Cops Are Bastards”, sebuah frasa yang lahir di Inggris awal abad ke-20.
Kala itu, para buruh dan tahanan menuliskannya di dinding penjara sebagai ungkapan kekecewaan terhadap polisi.
Pada 1940-an, bahkan seragam tahanan kerap dipenuhi coretan ACAB.
Istilah tersebut kembali hidup bersama subkultur punk dan skinhead di Eropa pada dekade 1970–1980.
Baca Juga: Lebih dari Sekedar Ikan Mentah: Evolusi Sushi yang Seru
Band Oi! asal London, The 4-Skins, mengabadikannya lewat lagu berjudul “A.C.A.B.” pada 1982. Sejak saat itu, jargon tersebut menjelma identitas protes global terhadap aparat.
Namun, di sejumlah negara, ACAB memicu kontroversi. Anti-Defamation League (ADL) memasukkannya sebagai simbol kebencian.
Bahkan, orang bisa dikenai denda jika kedapatan membawa spanduk dengan tulisan ACAB di ruang publik.
Untuk menghindari sensor, muncullah kode numerik 1312. Angka ini sekadar pengganti huruf (A=1, C=3, A=1, B=2), tetapi membawa makna sama: kritik terhadap institusi kepolisian.
Kode tersebut menyebar cepat di ruang digital karena lebih sulit terdeteksi algoritma penyaringan.
Kini, linimasa X (Twitter) Indonesia dibanjiri kedua simbol itu setelah tragedi yang menewaskan pengemudi ojek online, Affan Kurniawan.
Meski konteksnya lokal, penggunaan ACAB dan 1312 menegaskan bahwa bahasa perlawanan global mudah melebur dengan luka nasional.
Page 2

Selasa, 2 September 2025 | 16:15 WIB
Page 3
sumber : radarbanyuwangi.jawapos.com – Simbol perlawanan lintas generasi kini merambah ke ruang digital Indonesia.
Tiga huruf dan satu singkatan sederhana, ACAB dan 1312 menjadi sorotan setelah ribuan warganet menggunakannya pasca demonstrasi besar di Jakarta.
ACAB adalah akronim dari “All Cops Are Bastards”, sebuah frasa yang lahir di Inggris awal abad ke-20.
Kala itu, para buruh dan tahanan menuliskannya di dinding penjara sebagai ungkapan kekecewaan terhadap polisi.
Pada 1940-an, bahkan seragam tahanan kerap dipenuhi coretan ACAB.
Istilah tersebut kembali hidup bersama subkultur punk dan skinhead di Eropa pada dekade 1970–1980.
Baca Juga: Lebih dari Sekedar Ikan Mentah: Evolusi Sushi yang Seru
Band Oi! asal London, The 4-Skins, mengabadikannya lewat lagu berjudul “A.C.A.B.” pada 1982. Sejak saat itu, jargon tersebut menjelma identitas protes global terhadap aparat.
Namun, di sejumlah negara, ACAB memicu kontroversi. Anti-Defamation League (ADL) memasukkannya sebagai simbol kebencian.
Bahkan, orang bisa dikenai denda jika kedapatan membawa spanduk dengan tulisan ACAB di ruang publik.
Untuk menghindari sensor, muncullah kode numerik 1312. Angka ini sekadar pengganti huruf (A=1, C=3, A=1, B=2), tetapi membawa makna sama: kritik terhadap institusi kepolisian.
Kode tersebut menyebar cepat di ruang digital karena lebih sulit terdeteksi algoritma penyaringan.
Kini, linimasa X (Twitter) Indonesia dibanjiri kedua simbol itu setelah tragedi yang menewaskan pengemudi ojek online, Affan Kurniawan.
Meski konteksnya lokal, penggunaan ACAB dan 1312 menegaskan bahwa bahasa perlawanan global mudah melebur dengan luka nasional.