Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Mengenal Athang Arturo, Pencipta Lagu Edan Turun

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

Geram karena Karyanya Sempat Diklaim Daerah Lain 

SEPENGGAL bait lagu di atas mungkin sudah cukup familiar di telinga masyarakat Banyuwangi. Lagu asli berbahasa Oseng yang dinyanyikan penyanyi Demy itu, sempat menjadi  hits di belantika musik Banyuwangi. Beberapa bidak penjualan video compact disc (VCD) pun sering   memutar lagu ini sebagai teman pembuka lapak.

Bahkan lagu bertitel ‘’Edan Turun’’  ini pun juga bisa disaksikan lewat  jejaring sosial media seperti youtube. Siapa sangka, di balik ketenaran lagu ini, ada sosok musisi sekaligus  seniman yang cukup nyentrik. Athang  Arthuro nama bekennya. Nama aslinya Tatang Pramono.

Pria asal Dusun Truko, Desa Karangsari, Kecamatan Sempu  ini, menjadi arsitek lagu yang menjadi magnet bagi penikmat  musik di Bumi Blambangan itu.  Di rumah sederhana yang ditinggali bersama istri, menjadi saksi bisu kelahiran karya fenomenal tersebut.

Lagu berjudul ‘’Edan Turun’’ itu sendiri berlatar belakang seputar asmara. Ceritanya adalah seorang pemuda yang cinta masih terhadap kekasih.  Tetapi sang kekasih masih ragu  dengan cinta dari si pemuda. Berbagai upaya pun ditunjukkan untuk menunjukkan besarnya  cinta kepada kekasihnya itu.

Terlepas dari isinya soal asmara tersebut. Ada penekanan yang diberikan Athang Arthuro dalam  setiap karya lagu yang dihasilkannya. Sebagai orang Oseng asli, pria ini sangat teliti dan jeli menerapkan setiap detail kata dalam bahasa Oseng dalam syair lagu yang dibuatnya.

“Isun wong Oseng kudu biso majukno boso Oseng,” katanya.  Memiliki darah seniman yang diasah sejak duduk di bangku SMP, Athang Arthuro memiliki  kemampuan memainkan sejumlah alat musik. Dia piawai memainkan kendang, gitar, hingga  drum.

Skill bermusik itulah yang menjadi modal berharga baginya dalam menelurkan setiap karya. Terlebih lagi, backgroundnya  sebagai orang Oseng membuatnya  bisa mewarnai dan mempertahankan keotentikan budaya leluhur daerah dalam karya lagu.

Tidak hanya konten syair yang  harus mengandung bahasa Oseng.  Athang Arthuro juga cukup cerewet dengan penggunaan alat musik yang digunakan dalam setiap lagu ciptaannya. Unsur kendang , seruling, hingga biola,  selalu yang menjadi ciri khas  musik Banyuwangian.

Di sisi lain,  Athang juga tidak menepikan  keberadaan musik lain. Dengan kolaborasi alat musik  tradisional, musik ciptaan Athang Arthuro mampu bersanding dan berkolaborasi dengan musik lain yang lebih modern seperti drum, keyboard, hingga gitar sekalipun.

“Intinya alat tradisional harus tetap dipakai. Itu sebagai identitas,” tegasnya. Maka tidak heran bila kemudian musik Banyuwangi mampu menembus level regional Jawa Timur bahkan nasional. Ini terbukti dengan pengakuan karyanya, lagu Edan Turun sukses menembus dapur rekaman untuk kesekian kalinya.

Kali ini, giliran tiga diva dangdut yang tergabung dalam Trio Macan yang menjadikan lagu ini sebagai tembang andalan dalam  album anyar mereka. Lewat lirik lagu yang kuat dan makna yang dikandung di dalamnya, Trio Macan pun kesengsem  lagu Banyuwangi yang tersebar  lewat jejaring sosial.

Hingga akhirnya, perwakilannya datang dan menemui Athang untuk meminta izin lagu itu diangkat ke belantika musik nasional. “Ya kaget dan senang ,” katanya. Seperti mimpi, begitulah rasa  bangga dan senang dirasakan oleh Athang. Dia tidak menyangka  bila lagu karyanya mampu  menembus pasar musik nasional.

Baginya itu tidak hanya menjadi kebanggaan bagi dirinya sendiri. Tetapi bagi seluruh penggiat musik di Banyuwangi. “Bangga sudah pasti. Itu bukti musik  Banyuwangi diakui,” bebernya.  Tapi di balik sukses dengan lagu Edan Turun itu, Athang Arthuro juga sempat dibuat geram sekaligus heran.

Beberapa pihak sempat membajak lagu itu sebagai karya dari daerah lain. Kesamaan  beberapa perbendaharaan kata dan intonasi membuat lagu ini, sempat dicap bukan nyanyian asal Banyuwangi.  Parahnya lagi, dibalik ketenaran lagu ini ada juga yang mengklaim  lagu Edan Turun pernah diakui berasal dari daerah lain.

Hal inilah  yang membuat Athang Arthuro geram. Langkah hukum pun disiapkan bila ada yang membajak karya fenomenal tersebut. “Itu intinya salah paham saja. Tapi kalau ada yang berani ngaku- ngaku, awas saja!” tegasnya. Meski sudah melahirkan lagu  yang fenomenal hal itu tidak membuat Athang berpuas diri.

Dia pun kini sedang mengebut  karya lainnya. Ada lebih kurang  70 lagu yang pernah dibuatnya.  Sejumlah hasil lagu ciptaannya  bisa disimak seperti I’iIe Yoyo,  Aring-Aring, Lare Ayu, Mung mampir Nyopo, Cerito Welas, Lungsuran Panggonane, dan masih banyak lagi lagu lainnya.

Selain enak didengar, lagu yang dibuatnya senantiasa memberikan  pesan lewat lirik yang dibuatnya. Lagu I’iIe Yoyo misalnya. Lagu ini secara tersirat memberikan pesan bagi orang untuk jangan banyak omong. Itu kemudian disimbolkan oleh Athang dengan omongan balita.

“Kalau banyak omong sama seperti bayi. Omongannya tidak bisa dimengerti dan tidak ada gunanya,” bebernya. Beberapa lagu Osing dengan ragam genre musik pun kini coba diselesaikannya. Targetnya dia ingin lagu Banyuwangi bisa membumi di seluruh Nusantara.

Meski berbahasa Osing, lagu Banyuwangi bisa diterima dan dinyanyikan oleh semua lapisan masyarakat di Indonesia. Jangka  panjang, Athang ingin punya studio sendiri. (radar)

Kata kunci yang digunakan :