Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Mengenal Lontar Yusuf, Puisi Naratif Kehidupan Nabi dalam Budaya Lisan Banyuwangi

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Budaya lisan merupakan cerita turun-menurun dari masyarakat. Salah satu contohnya adalah manuskrip kuno Lontar Yusuf yang menceritakan sebuah puisi naratif tentang kehidupan salah seorang rasul dalam Islam yakni Nabi Yusuf.

Menurut Sekertaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi, Choliqul Ridho, Lontar Yusuf diyakini telah ada sejak kebudayaan Islam masuk ke pulau Jawa kurang lebih pada abad ke-11. Lontar Yusuf ditulis di pelepah daun lontar dengan menggunakan aksara Jawa, dan kemudian menjadi huruf Arab Pegon.

“Untuk tahun pastinya kapan manuskrip kuno itu ada belum ada yang tau pasti, namun Lontar Yusuf sampai saat ini masih terjaga,” jelasnya, Kamis (09/03/2023).

Naskah kuno Lontar Yusuf tersebut tersimpan di Museum Blambangan yang terletak di Jalan Jenderal Ahmad Yani, Kota Banyuwangi. Dalam serat yang tersimpan di Museum tersebut berisi tembang atau lagu Asmaradana di bagian manggala atau bagian pengantar yang mengisahkan tentang fase kehidupan asmara manusia dalam hal ini Nabi Yusuf.

“Sementara hanya itu tembang yang masih diketahui dan dipelajari sampai saat ini,” ucapnya.

Naskah kuno Lontar Yusuf tersebut berisi 12 pupuh atau puisi, 593 bait, dan 4.366 larik. Setiap tembang memiliki arti masing-masing yang menggambarkan tentang kehidupan manusia, dengan intinya bahwa orang hidup di dunia harus paham tentang empat perkara, yaitu pupuh Kasmaran, Sinom, Durmo, dan Pangkur.

Yang pertama pupuh Kasmaran atau fase dimana manusia menimbulkan rasa asmara jatuh hati terhadap lawan jenis. Perkara kedua yaitu Sinom artinya sek enom atau masih muda pada saat remaja masih memiliki banyak waktu luang, tugas mereka adalah menuntut ilmu sebaik mungkin dan setinggi-tingginya agar kelak bisa menjadi bekal kehidupannya.

Kemudian perkara ketiga yaitu Durmo artinya mendarmabaktikan apa yang harus dilakukan seperti mengajarkan agar manusia dapat saling memberi dan melengkapi satu sama lain dengan saling tolong menolong, welas asih, dan rela memberikan bantuan kepada siapa saja. Perkara terakhir yaitu Pangkur, dengan artinya waktunya mungkur atau sudah waktunya kembali.

Namun, secara lengkap 12 pupus atau tembang tersebut berisi Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanthi, Kasmaran, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh dan Pucung yang mengisahkan awal mula manusia mulai dari alam ruh hingga meninggal dunia.

“Saat ini, mocoan Lontar Yusuf kembali digalakkan, tidak cuma di Desa Kemiren yang dilaksanakana semalaman dari sholat Isya hingga usai sebelum waktu sholat subuh, ada pula di Desa Alasmalang, Desa Mondoluko dan Desa Tamansuruh,” kata Ridho.

Rencananya Mocoan Lontar Yusuf akan dimasukkan agenda Banyuwangi Festival supaya tradisi mocoan Lontar Yusuf tetap terjaga, dilestarikan dan turunkan dari generasi ke generasi. “Semoga bisa segera terealisasikan,” tegas Ridho. (*)

Pewarta : Syamsul Arifin
Editor : Wahyu Nurdiyanto

source