Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Moderatisme Islam Indonesia

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

PEMIKIRAN dan gerakan Islam di Indonesia terus berkembang seiring dinamika politik, sosial, dan budaya, di tingkat lokal maupun global. Masing-masing pemikiran dan gerakan mengusung idealisme sendiri yang secara umum ingin melakukan perubahan positif sesuai paradigma masing-masing. Bila diamati, sejak reformasi bergulir pada 1998, terjadi erupsi pemikiran dan gerakan keislaman yang dahsyat.

Kebebasan berpendapat dan berserikat mendorong berbagai pihak mengajukan gagasan-gagasan dan melakukan gerakan-gerakannya, baik secara individual maupun komunal. Paling tidak ada tiga kelompok besar yang mewarnai jagat pemikiran dan gerakan Islam Tanah Air, yaitu liberalisme, fundamentalisme dan moderatisme.

Sebagaimana dikemukakan oleh Jaringan Islam Liberal (JIL), Islam liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut: a) membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam, 2) mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks, 3) mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural, 4) memihak pada yang minoritas dan tertindas, 5) meyakini kebebasan beragama, dan 6) memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.

Memang, pada aras yang paling mendasar, li beralisme mengandaikan perlunya pemberian porsi yang sebesar-besarnya kepada rasio dalam memahami teks-teks ke agamaan. Tak jarang paham ini dinilai me nabrak ajaran-ajaran pokok yang umum diamalkan oleh umat Islam, dan me ngancam eksistensi tradisi dan budaya keagamaan yang sudah berjalan berabad-abad lamanya.

Di lain pihak, fundamentalisme meng inginkan agar umat Islam menjadikan teks-teks ke agamaan sebagai satu-satunya sumber politik, sosial, budaya dan ekonomi umat Islam. Jika umat Islam bertindak di luar bunyi teks-teks keagamaan, maka umat Islam bukan hanya tidak akan pernah maju, tetapi juga tidak akan memperoleh rahmat Allah yang pada gilirannya akan mengakibatkan “kehancuran” umat Islam.

Maka tidak heran bila kaum fundamentalis sering me-man dang tidak Islami atau bahkan kafir bagi siapa pun yang tidak menjalankan syariat (tekstual) agama Islam. Ada nuansa segregasi antara “kita” (minna) dan “mereka” (minhum)yang teramat ken tal, di mana “kita” dipahami sebagai pihak yang mewakili al-haq (benar) dan “me reka” mewakili al-bathil (salah).

Oleh karena itu, identifikasi “orang lain” sebagai jahiliyah dan “diri sendiri” sebagai Is lami tak mudah dihindarkan. Inilah yang melahirkan kecenderungan kuat un tuk menampik kebenaran kelompok lain, termasuk sesama muslim. Di sinilah bibit-bibit klaim kebenaran tungga l mendapatkan lahan suburnya.

Perasaan terancam dan terkepung konspirasi musuh Islam memunculkan reaksi me musuhi, membenci, mencurigai atau paling tidak mewaspadai orang lain. Teologi ke bencian ini tidak hanya ditujukan kepada non muslim, tetapi juga kepada kelompok mu slim lain yang mereka curigai sebagai kaki tangan musuh.

Tidak mengherankan bila kalangan ini menuduh kalangan lain yang berbeda pemikiran dan strategi perjuangan sebagai antek-antek musuh Islam. Kecurigaan ini acapkali diarahkan kepada ke lompok-kelompok yang berparadigma rasional progresif yang mengusung ide-ide pluralisme, multikulturalisme, rasionalisme, dan mereka yang cenderung tidak se tuju terhadap formalisasi syari’at.

Tidak saja kepada partai nasionalis, institusi pen didikan tinggi, lembaga riset, atau LSM prodemokrasi, kritik pedas kelompok ini juga diarahkan ormas-ormas Islam yang menempuh dakwah kultural seperti Nahdlatul Ulama. Tampak kasat mata bahwa liberalisme merepresentasikan ekstrem kanan, sedangkan fundamentalisme merupakan wajah ekstrem kiri, sebagaimana kubu Mu’tazilah dan Qadariyah dengan kubu Khawarij dan Jabariyah.

Moderatisme Islam merupakan pemikiran dan gerakan yang mampu me-nengahi perseteruan antara ekstrem lib-eralis dan ekstrem fundamentalis di atas. Mo deratisme Islam merupakan pemikiran dan gerakan Islam yang tidak buta akan tra disi yang hidup, menjalin kerja sama an taragama dan multikultural, serta tidak gamang dengan perubahan tingkat global.

Moderatisme Islam sejatinya telah di letakkan secara mendasar oleh tokoh-tokoh pemikir kampiun seperti Syafi’i, Maliki, Hanafidan Hambali dalam bidang fikih, atau al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam bidang teologi, serta oleh al-Ghazali dan al-Ju naidi dalam bidang tasawuf. Tokoh-tokoh tersebut telah menjadi acuan utama (marji al-’ala) bagi prinsip dan tata nilai Aswaja yang telah sukses menunjukkan jalan bagai mana umat Islam harus senantiasa berada pada sikap jalan tengah.

Lebih dari itu, sudah waktunya untuk berik htiarmenjauhi sikap sakralisasi pe mikiran keagamaan yang hanya akan menghasilkan eksklusivisme ke be-ragamaan. Meminjam istilah Muhammad Abid al-Jabiri, sakralisasiterhadap tradisi akan membawa pada “tradisionalisme”. Atau menukilpandangan Nasr Hamid Abu Zaid, sakralisasiakan melahirkan ma syarakat dengan peradaban teks, yakni masyarakat yang cara berpikirnya dimulai dari teks, melalui teks, dan berakhir pada teks.

Pada masyarakat seperti inilah lahir kon servativismeperadaban Islam. Seperti di pahami, munculnya Islam Aswaja pada ha kikatnya merupakan respons atas per-kembangan pemikiran umat Islam yang cen derung ekstrem, baik ekstrem kanan maupun kiri. Melalui jalan tengah inilah prinsip-prin-sip pemikiran Aswaja menetaskan sikap tawassuth (moderat) dan tasamuh(to-leran).

Sikap jalan tengah ini jelas masih re levan jika dikaitkan dengan munculnya ber bagai persoalan yang mendera dewasa ini, seperti lahirnya model keberagamaan baru yang sama-sama ekstrem, baik eks-trem liberal maupun radikal (tatharruf ). As waja akan bisa menjadi jalan tengah un tuk menetralisasi dua ekstremitas pe-mikiran Islam.

Dengan prinsip ini, umat Islam tidak terjebak pada cara berpikir yang kaku dan eksklusif, juga tidak terjebak pada pemikiran liberalisme yang kebablasan. Dalam ungkapan lebih tandas, umat Is-lam dapat menerima modernitas sembari te tap menghargai tradisinya secara kokoh. Inilah yang dikenal dengan kaidah al mu -hafazhah ‘ala al qadim al shalih wa al akhdz bi al jadid al ashlah, yakni mempertahankan tradisi atau pemikiran lama yang baik dan mengadopsi tradisi atau pemikiran baru yang lebih baik.

Prinsip-prinsip Aswaja sudah seharusnya terus dikembangkan sebagai basis moderatisme umat Islam dalam berselancar meningkahi perjalanan sejarahnya dari masa ke masa, baik dalam ranah sosial-politik maupun sosial-keagamaan. Tuntutan pembaruan dan keharusan ber pijak di atas tradisi dan modernitas se cara simultan saat ini kian niscaya untuk senantiasa dijadikan acuan sikap umat Islam Indonesia yang hidup di alam multikultural ini. Hanya dengan itu, ada jaminan umat Islam Indonesia akan mampu mempertahankan sikap moderat sekaligus tampil di barisan terdepan dalam turut serta menebar kedamaian dunia. (Wakil Ketua PW GP. Ansor Jawa Timur @ radar)