sumber : radarbanyuwangi.jawapos.com – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Banyuwangi menyayangkan karnaval dalam rangka HUT ke-80 RI dengan mengundang sound horeg di Desa/Kecamatan Sempu pada Sabtu (6/9) malam.
Pasalnya, kegiatan tersebut dinilai mengabaikan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang telah ditetapkan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Banyuwangi.
Acara yang digelar sejak pukul 10.00, berlangsung hingga pada Minggu (7/9) dini hari. Dari pantauan Jawa Pos Radar Genteng, sekitar pukul 00.00 WIB, masih ada peserta yang mengusung sound horeg dengan atraksi di jalan, dan diperkirakan baru melewati garis finish sekitar pukul 00.30.
“Sangat disayangkan, aturan (dalam SKB) itu kan dibuat untuk mengatur gelaran tersebut, tapi justru diabaikan,” kata, Ketua Komisi MUI Banyuwangi Bidang Fatwa, Kiai Moh Ma’shum Shobih.
Kiai Ma’shum mengaku memonitor gelaran karnaval yang venue-nya berada di jalur utama menuju Stasiun Kalisetail tersebut.
“Padahal aturan sudah ditandatangani banyak pihak, Forkopimda lengkap dan ormas Islam serta yang lainnya. Tapi kenapa panitia mengabaikan aturan tersebut, adanya SKB harusnya diterapkan oleh pemerintah setempat,” ucapnya.
Apalagi, lanjut dia, gelaran tersebut juga dinilai mengganggu tempat peribadatan lantaran suara sound menggema saat melintas di depan masjid. Sehingga, suara azan yang sedang berkumandang bias akibat suara musik, seperti di Masjid Al-Gufron Sempu.
Baca Juga: Karnaval Sempu Banyuwangi Menggelegar, Azan Tertelan Sound Horeg! Aturan Hanya Formalitas?
“Kan maksimal sampai jam 22.00, ketika seperti ini yang rugi kan semuanya. Bukan hanya peserta atau panitia, tapi seluruh masyarakat di sana akan merasakan dampaknya,” terangnya seraya mengaku heran aturan itu tidak diterapkan.
Menurut Kiai Ma’shum, panitia dan pemerintah desa (Pemdes) setempat terkesean menyepelekan aturan yang telah dibuat oleh Forkopimda. Pasalnya, hasil diskusi panjang yang digelar sampai beberapa kali itu sudah diinformasikan oleh camat ke para kepala desa.
“Kok kayaknya tidak menganggap SKB itu, padahal aturan itu sudah dinilai dari beberapa aspek. Kalau tidak ditaati, wah itu perlu dipertanyakan juga, kenapa,” tandasnya.
Dengan adanya daerah yang mengabaikan aturan tersebut dan lolos dari sangsi, Kiai Ma’shum menyebut akan ada kebingunan bagi masyarakat.
“Kalau di daerah lain dibatasi jam 22.00 harus sudah off semuanya, harusnya ini juga, kalau dibiarkan, nanti akan ada anggapan yang betul itu yang mana (aturan),” tandasnya.
Sementara itu, Pemerintah Desa Sempu tampak sudah memberikan respon terhadap polemik yang terjadi di desanya. Jajaran pemdes datang ke rumah-rumah warga yang terdampak sound horeg guna memberikan ganti rugi pada (8/9).
Page 2
“Ada tujuh rumah yang terdampak, semua sudah ditindaklanjuti,” kata Kepala Desa Sempu, Nanang Santoso.
Seperti diberitakanharian ini sebelumnya, kegiatan sound horeg di Desa/Kecamatan Sempu pada Sabtu (6/9) malam, tampaknya tidak patuh terhadap Surat Keputusan Bersama (SKB) yang telah ditetapkan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Banyuwangi.
Karnaval yang digeber sejak pukul 10.00 itu, menampilkan parade sound hingga rampung pada Minggu (7/9) dini hari.
Dari pantauan Jawa Pos Radar Genteng, pada sekitar pukul 00.00 masih ada regu peserta yang masih atraksi di jalan, dan diperkirakan baru melewati garis finish sekitar pukul 00.30.
Padahal, dari SKB yang ditandatangani Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani bersama jajaran Forkopimda lain itu, disepakati pawai yang belakangan kerap disorot itu harus sudah rampung pada pukul 00.00.
Selain itu, dalam SKB yang ditetapkan pada Jumat (25/7) itu, penggunaan perangkat sound system dibatasi hanya enam subwoofer saja. Namun, dari sekitar 27 peserta pawai sound, mayoritas menggunakan sekitar delapan sub.
“Suaranya sangat keras, di kuping dan di dada terasa. Kalau lihat terlalu dekat, saya enggak kuat,” kata salah satu penonton, Murtini, 41, asal Desa Bumiharjo, Kecamatan Glenmore.
Page 3
sumber : radarbanyuwangi.jawapos.com – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Banyuwangi menyayangkan karnaval dalam rangka HUT ke-80 RI dengan mengundang sound horeg di Desa/Kecamatan Sempu pada Sabtu (6/9) malam.
Pasalnya, kegiatan tersebut dinilai mengabaikan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang telah ditetapkan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Banyuwangi.
Acara yang digelar sejak pukul 10.00, berlangsung hingga pada Minggu (7/9) dini hari. Dari pantauan Jawa Pos Radar Genteng, sekitar pukul 00.00 WIB, masih ada peserta yang mengusung sound horeg dengan atraksi di jalan, dan diperkirakan baru melewati garis finish sekitar pukul 00.30.
“Sangat disayangkan, aturan (dalam SKB) itu kan dibuat untuk mengatur gelaran tersebut, tapi justru diabaikan,” kata, Ketua Komisi MUI Banyuwangi Bidang Fatwa, Kiai Moh Ma’shum Shobih.
Kiai Ma’shum mengaku memonitor gelaran karnaval yang venue-nya berada di jalur utama menuju Stasiun Kalisetail tersebut.
“Padahal aturan sudah ditandatangani banyak pihak, Forkopimda lengkap dan ormas Islam serta yang lainnya. Tapi kenapa panitia mengabaikan aturan tersebut, adanya SKB harusnya diterapkan oleh pemerintah setempat,” ucapnya.
Apalagi, lanjut dia, gelaran tersebut juga dinilai mengganggu tempat peribadatan lantaran suara sound menggema saat melintas di depan masjid. Sehingga, suara azan yang sedang berkumandang bias akibat suara musik, seperti di Masjid Al-Gufron Sempu.
Baca Juga: Karnaval Sempu Banyuwangi Menggelegar, Azan Tertelan Sound Horeg! Aturan Hanya Formalitas?
“Kan maksimal sampai jam 22.00, ketika seperti ini yang rugi kan semuanya. Bukan hanya peserta atau panitia, tapi seluruh masyarakat di sana akan merasakan dampaknya,” terangnya seraya mengaku heran aturan itu tidak diterapkan.
Menurut Kiai Ma’shum, panitia dan pemerintah desa (Pemdes) setempat terkesean menyepelekan aturan yang telah dibuat oleh Forkopimda. Pasalnya, hasil diskusi panjang yang digelar sampai beberapa kali itu sudah diinformasikan oleh camat ke para kepala desa.
“Kok kayaknya tidak menganggap SKB itu, padahal aturan itu sudah dinilai dari beberapa aspek. Kalau tidak ditaati, wah itu perlu dipertanyakan juga, kenapa,” tandasnya.
Dengan adanya daerah yang mengabaikan aturan tersebut dan lolos dari sangsi, Kiai Ma’shum menyebut akan ada kebingunan bagi masyarakat.
“Kalau di daerah lain dibatasi jam 22.00 harus sudah off semuanya, harusnya ini juga, kalau dibiarkan, nanti akan ada anggapan yang betul itu yang mana (aturan),” tandasnya.
Sementara itu, Pemerintah Desa Sempu tampak sudah memberikan respon terhadap polemik yang terjadi di desanya. Jajaran pemdes datang ke rumah-rumah warga yang terdampak sound horeg guna memberikan ganti rugi pada (8/9).