Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Nanik Nurhayati, Guru Difabel yang Multi Talenta

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

nannikIPK Kecil karena tak Punya Komputer Khusus Acungan dua jempol patut diberikan kepada Nanik Nurhayati, 30. Di tengah keterbatasan fisik yang diderita, penyandang tunanetra yang satu ini terus berupaya hidup mandiri. Merasa tidak cukup dengan titel sarjana yang disandangnya, dia ingin mengembangkan life skill yang dimiliki.

PULUHAN penyandang disabilitas berkumpul di aula SMP Negeri Luar Biasa (LB) Banyuwangi siang itu (11/2). Mereka tampak menyimak pemaparan program rehabilitasi sosial dalam panti oleh Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Banyuwangi, Syaiful Alam Sudrajat, dan Kepala Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Mahatmiya, Bali, Kaswito.

Dari sekian banyak penyandang di sabilitas yang berkumpul siang itu, ada satu perempuan yang paling aktif bertanya dan melontarkan aspirasi. Perempuan pe nyandang tunanetra itu berharap di Banyuwangi didirikan se macam balai latihan kerja (BLK) khusus kalangan difabel. Dengan demikian, para penyandang disabilitas bisa lebih leluasa mengakses BLK. Dengan demikian, kalangan disabilitas bisa mengambangkan diri lebih optimal.

Perempuan yang belakangan di ketahui bernama Nanik Nurhayati itu memang luar biasa. Keterbatasan fisik tidak menyurutkan langkahnya mencapai taraf hidup yang lebih baik. Setidaknya itu terbukti dari keteguhan hatinya dalam me nun taskan pendidikan hingga jenjang stra ta satu (S-1). Predikat Sarjana Pendidikan Islam (S.PdI) yang telah dia genggam tidak ingin disia-siakan. Terbukti, dia mengabdikan diri menjadi salah satu pengajar di SLB Muhammadiyah Licin.

“Saya ingin bermanfaat bagi sesama.  Saya ingin sumber daya manusia (SDM)kalangan difabel mumpuni, sehingga  kami bisa lebih berdaya,” ujarnya. Nanik mengakui, indeks prestasi kumulatif (IPK) yang dia raih sampai semester VII “hanya” sebesar 2,90. Meski begitu, de ngan percaya diri dia mengatakan IPK yang dia anggap rendah itu bukan berarti mencerminkan bahwa dirinya bodoh. IPK yang rendah itu terjadi lantaran keterbatasan sa rana bagi penyandang tunanetra di Banyuwangi.

“Contohnya, saya tidak punya komputer  khu sus tunanetra. Bahkan, sepengetahuan saya, di Banyuwangi tidak ada rental komputer yang menyediakan komputer khusus tu nanetra. Jadi, saya tidak leluasa membuat makalah,” urai alumnus Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ibrahimy Genteng tahun 2014 yang baru lulus beberapa bulan lalu tersebut. Lantaran IPK-nya cukup rendah, Nanik me ngaku tidak berharap banyak dirinya bisa mengakses seleksi calon pegawai negeri sipil.

Itu mengingat keputusan Pemkab Banyuwangi yang hanya membuka kesempatan bagi lulusan S-1 universitas swasta dengan IPK minimal 3,5. “Saya tidak berharap banyak. Tetapi, jujur, saya ingin peraturan tersebut tidak saklek. Karena fasilitas bagi tunanetra terbatas, rasanya tidak adil kalau keputusan tersebut diberlakukan bagi tunanetra seperti kami. IPK kami kecil bukan berarti kami bodoh,” tuturnya.

Nanik mengatakan, akan lebih baik jika penyandang disabilitas di Banyuwangi bisa mendedikasikan diri bagi daerahnya sendiri tanpa dibebani peraturan yang rumit. Sementara itu, lantaran mengaku tidak berharap banyak menjadi PNS, semangat Nanik begitu menggebu saat mengikuti sosialisasi program rehabilitasi sosial dalam panti di Banyuwangi yang di gelar Dinsosnakertrans bersama PSBN Mahatmiya, Bali.

Terlebih, PSBN Mahatmiya yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Sosial (Kemensos) RI untuk wilayah Jatim, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT), itu menawarkan program rehabilitasi sosial yang begitu menarik. Para penyandang disabilitas diberi pelatihan kerja secara intensif. Mereka dilatih memiliki keterampilan tertentu sekaligus manajemen yang baik.

Bagi mereka yang ber sedia tinggal di panti, disediakan fasilitas gratis, seperti kamar gratis, makan tiga kali sehari, dan sejumlah fasilitas lain yang juga diberikan secara cuma-cuma. Mendengar pemaparan pihak PSBN Ma hatmiya, Bali, Nanik mengaku sangat tertarik dengan program rehabilitasi sosial tersebut. “Jujur, saya ingin mengikuti program itu. Karena saya tidak bisa berharap banyak menjadi PNS,” urainya. Usut punya usut, Nanik adalah satu di antara sedikit tunanetra multi talenta di Banyuwangi.

Perempuan yang hingga kini masih melajang itu pernah meraih predikat juara II Lomba qiroah se-Provinsi Bali mewakili Kabupaten Bangli beberapa waktu yang lalu. Selain itu, di tahun 1990- an, Nanik menjadi finalis lomba karaoke tingkat Kabupaten Banyuwangi. Selain qiroah dan karaoke, Nanik juga piawai menjadi master of ceremony (MC). Tidak hanya itu, di tahun 1991 dia pernah menggenggam juara II lomba baca puisi kategori umum tingkat kabupaten. “Tetapi, karena terkendala usia, saat ini saya sudah tidak menekuni puisi dan karaoke,” pungkasnya. (radar)