Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Pendidikan Islam di Era Digital – TIMES Banyuwangi

pendidikan-islam-di-era-digital-–-times-banyuwangi
Pendidikan Islam di Era Digital – TIMES Banyuwangi

TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Digitalisasi kini menjadi arus besar yang tidak bisa dihindari oleh lembaga pendidikan Islam mulai dari madrasah, pesantren, hingga perguruan tinggi. Transformasi ini bukan hanya soal perangkat teknologi, tetapi menyentuh cara berpikir, budaya sekolah, dan pola hubungan guru–siswa. 

Sementara teknologi bergerak begitu cepat, banyak lembaga pendidikan Islam justru masih terseok menyesuaikan diri. Di sinilah persoalan besar muncul: inovasi berjalan kencang, tetapi nilai-nilai dasar pendidikan mulai tertinggal.

Fenomena di lapangan menunjukkan ketimpangan yang nyata. Sebagian lembaga sudah memakai e-learning, e-rapor, dan platform akademik digital, namun sebagian lain bahkan masih kesulitan menyediakan Wi-Fi stabil. 

Di saat yang sama, generasi pelajar kini tumbuh dalam ekosistem digital yang serba instan, visual, dan interaktif. Ketidaksiapan lembaga dalam mengelola perubahan ini memunculkan jarak antara kebutuhan perkembangan siswa dan kemampuan manajemen pendidikan Islam menjawabnya.

Tantangan digital tidak hanya terkait sarana. Ada persoalan yang jauh lebih dalam: krisis moral di tengah banjir informasi. Remaja Muslim kini setiap hari bersentuhan dengan konten bebas tanpa filter, komunikasi kasar di media sosial, hingga budaya instan yang mengikis karakter dan adab. 

Di satu sisi, teknologi menghadirkan peluang baru untuk berdakwah dan memperkaya pembelajaran. Namun di sisi lain, dunia digital membuka celah luas bagi disorientasi nilai jika tidak dikelola dengan baik.

Karena itu, digitalisasi dalam pendidikan Islam harus dipahami sebagai bagian dari manajemen nilai. Kepemimpinan lembaga tidak cukup hanya menguasai administrasi, tetapi harus memiliki visi digital yang jelas: teknologi dipakai untuk apa, bagaimana meminimalkan risikonya, dan bagaimana tetap menjaga ruh pendidikan Islam. 

Model kepemimpinan transformatif menjadi kunci yakni pemimpin yang dapat membangun arah perubahan, menggerakkan guru, dan memastikan nilai-nilai spiritual tetap menjadi fondasi seluruh kebijakan.

Digitalisasi membutuhkan ekosistem, bukan hanya alat. Guru perlu dilatih, siswa diberi literasi digital, orang tua dilibatkan, dan budaya sekolah harus diarahkan. Tanpa sinergi ini, digitalisasi hanya akan menjadi kosmetik: tampak modern di permukaan, tetapi rapuh di dalam. 

Sayangnya, realitas menunjukkan banyak lembaga mengadopsi teknologi tanpa rencana matang. Hasilnya, aplikasi ada tetapi tidak digunakan optimal; perangkat tersedia tetapi tidak terpelihara; guru terlatih tetapi tidak mendapat pendampingan lanjutan.

Perdebatan tentang digitalisasi pun tidak bisa dihindari. Kelompok pro melihat teknologi sebagai percepatan: memudahkan guru mengelola pembelajaran, mempercepat administrasi, dan membuka ruang kreatif dakwah melalui video, podcast, dan platform interaktif. Pendidikan Islam menjadi lebih dekat dengan karakter generasi Z.

Namun kelompok yang kontra menilai digitalisasi mengancam ruh pendidikan Islam. Tradisi talaqqi, kedekatan emosional guru-murid, dan keteladanan langsung dikhawatirkan memudar. Selain itu, gawai dianggap memperbesar risiko kecanduan, menurunkan konsentrasi ibadah, dan membuka pintu bagi konten-konten negatif yang sulit dikendalikan.

Kedua pandangan ini sama-sama valid, sehingga tugas manajemen pendidikan Islam bukan memilih salah satu, tetapi menemukan keseimbangan. Teknologi perlu dimanfaatkan untuk inovasi, tetapi adab, akhlak, dan keteladanan tetap menjadi poros utama pendidikan.

Contoh lembaga yang berhasil mengelola digitalisasi sebenarnya sudah banyak. Beberapa madrasah memakai sistem keuangan digital, pesantren modern memanfaatkan aplikasi untuk murojaah dan monitoring hafalan, dan sekolah Islam bekerja sama dengan komunitas digital untuk meningkatkan kompetensi guru. Namun tantangan tetap ada: keterbatasan anggaran, keamanan data, rendahnya literasi digital, dan budaya organisasi yang belum siap berubah.

Keberhasilan transformasi digital hanya mungkin terjadi jika manajemen lembaga mampu merencanakan perubahan secara berkelanjutan. Digitalisasi bukan proyek satu tahun, tetapi komitmen jangka panjang. Visi digital yang kuat perlu dibarengi penguatan moral, tata kelola yang kolaboratif, dan keberanian pemimpin untuk keluar dari pola lama.

Era digital membawa peluang besar sekaligus tanggung jawab baru bagi pendidikan Islam. Jika dikelola dengan baik, digitalisasi bukan hanya meningkatkan kualitas pembelajaran dan administrasi, tetapi juga memperluas jangkauan nilai dan dakwah pendidikan. Sebaliknya, jika dibiarkan tanpa arah, teknologi justru dapat merusak apa yang dibangun oleh pendidikan Islam selama ini.

Karena itu, pendidikan Islam harus berjalan dengan dua sayap: inovasi dan nilai. Teknologi menjadi alat, bukan tujuan. Akhlak tetap menjadi fondasi, bukan pelengkap. Dengan kepemimpinan yang visioner dan manajemen yang terencana, digitalisasi dapat menjadi jalan bagi lahirnya generasi Muslim yang cerdas, berakhlak, dan adaptif menghadapi dunia baru.

***

*) Oleh : Muhamad Vaisal Ismail, Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan Universitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

____________

**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman