sumber : radarbanyuwangi.jawapos.com – Ketidakpastian serius menyelimuti kelanjutan Proyek Strategis Nasional (PSN) Jalan Tol Gilimanuk–Mengwi.
Proyek tol terpanjang di Bali dengan panjang 96,84 kilometer itu kini memasuki fase paling kritis, menyusul berakhirnya masa berlaku Penetapan Lokasi (Penlok) pada 7 Maret 2026.
Sesuai ketentuan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Penlok hanya berlaku selama tiga tahun dan dapat diperpanjang maksimal satu kali selama satu tahun.
Setelah tenggat tersebut, pembekuan pengalihan hak atas tanah tidak dapat diperpanjang kembali.
Situasi ini memicu keresahan mendalam di tengah masyarakat, khususnya ribuan pemilik lahan di Kabupaten Tabanan dan Jembrana.
Selama hampir empat tahun, mereka hidup dalam kondisi serba tidak pasti karena aset tanahnya masuk kawasan Penlok.
Lahan “Beku”, Hak Ekonomi Warga Tersandera
Dilansir dari Radar Bali, dalam sejumlah pertemuan antara warga, kepala desa, dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), terungkap bahwa lahan yang masuk Penlok berada dalam status “beku”.
Artinya, tanah tersebut tidak bisa diperjualbelikan, diwariskan secara leluasa, maupun dijadikan agunan perbankan.
Ketua Forum Prebekel Terdampak Tol Gilimanuk–Mengwi, I Nyoman Arnawa, menyebut kondisi ini menimbulkan tekanan luar biasa bagi masyarakat desa.
“Warga kehilangan kendali atas aset milik mereka sendiri. Tanah tidak bisa dijual, tidak bisa diagunkan ke bank, nilai ekonominya seperti hilang,” tegas Arnawa.
Tak hanya itu, warga yang rumahnya berada di atas calon trase tol juga hidup dalam dilema.
Mereka enggan melakukan renovasi atau perbaikan bangunan karena takut investasi tersebut akan sia-sia jika penggusuran benar-benar dilakukan.
Dampak Luas, Puluhan Desa Terdampak
Skala dampak proyek ini sangat luas. Di Kabupaten Tabanan, sedikitnya 64 desa terdampak dengan luasan mencapai 212,9 hektare. Sementara di Kabupaten Jembrana, tercatat 33 desa dengan total 4.305 bidang lahan yang masuk dalam Penlok.
Namun ironisnya, hingga kini progres pembebasan lahan nyaris stagnan.
Page 2
Page 3
Kaur Tata Usaha PPK Tol Gilimanuk–Mengwi, Ketut Kariasa, mengakui bahwa pembebasan lahan baru menyentuh aset milik Perumda Pekutatan di Jembrana.
Sementara lahan milik warga, khususnya di Tabanan, belum tersentuh sama sekali.
“Progres pembebasan lahan memang masih sangat minim,” ujarnya.
Investor Sepi, Biaya Proyek Membengkak
Menurut Kariasa, penyebab utama mandeknya proyek adalah minimnya minat investor pada proses lelang sebelumnya.
Lonjakan biaya konstruksi, meningkatnya kebutuhan anggaran pembebasan lahan, serta rendahnya proyeksi volume lalu lintas membuat proyek ini dinilai kurang menarik secara bisnis.
“Tanpa intervensi pemerintah, proyek ini sulit dianggap layak oleh investor,” jelasnya.
Nilai investasi yang semula diperkirakan sekitar Rp 25,4 triliun kini harus dikaji ulang, seiring perubahan kondisi ekonomi dan konstruksi.
Kaji Ulang dan Opsi Perubahan Trase
Saat ini, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) tengah melakukan kaji ulang studi kelayakan proyek Tol Gilimanuk–Mengwi.
Hasil kajian tersebut diperkirakan rampung bertepatan dengan berakhirnya masa Penlok pada 2026.
Salah satu opsi yang mengemuka adalah perubahan trase atau jalur tol demi menyesuaikan kondisi lapangan dan meningkatkan daya tarik investasi.
“Jika proyek dilanjutkan dengan perubahan trase, maka Penlok harus diperbarui. Artinya seluruh proses, mulai dari perencanaan, DED, AMDAL, hingga sosialisasi, harus diulang dari awal,” terang Kariasa.
Strategi Baru: KPBU dan Intervensi Pemerintah
Untuk menyelamatkan proyek, pemerintah pusat tengah menyiapkan sejumlah skema baru melalui Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Beberapa opsi yang sedang digodok antara lain:
-
Fokus investasi pada ruas Pekutatan–Soka–Mengwi sepanjang 43,2 km yang dinilai memiliki trafik lebih tinggi.
-
Pemerintah membiayai konstruksi ruas Gilimanuk–Pekutatan guna menekan beban investor.
-
Opsi subsidi pembebasan lahan serta perpanjangan masa konsesi.








