TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Bagi banyak orang, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hanyalah kewajiban tahunan yang dibayar saat menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Namun, bagi perekonomian daerah, PBB-P2 adalah instrumen fiskal yang memengaruhi aliran uang, investasi, dan kualitas layanan publik.
Dalam tulisan ini saya mencoba untuk mendialogkan dampak kenaikan PBB PS melalui analisa Ekonomi Makro. Paling tidak melalui tulisan ini sebenarnya dampak dari kenaikan PBB-P2 dalam perekonomian.
Di Banyuwangi, PBB-P2 menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang stabil. Stabilitas ini penting. Dalam teori stabilization function kebijakan fiskal (Musgrave, 1959), pendapatan pajak yang tidak mudah berfluktuasi membantu pemerintah menjaga kesinambungan program pembangunan, bahkan saat sektor lain sedang lesu.
Tanah dan bangunan yang menjadi objek PBB-P2 tidak bisa dipindahkan, sehingga basis pajaknya relatif aman. Inilah mengapa banyak ekonom menganggap pajak properti sebagai “jangkar” penerimaan daerah.
Dari kacamata makroekonomi, peran PBB-P2 bisa dijelaskan melalui kerangka permintaan agregat (Aggregate Demand = C + I + G + NX). Pajak ini memengaruhi dua komponen utama: konsumsi rumah tangga (C) dan belanja pemerintah (G).
Saat masyarakat membayar PBB-P2, ada sedikit pengurangan pendapatan yang bisa dibelanjakan (disposable income). Namun, karena sifatnya tahunan dan nilainya relatif kecil dibanding pengeluaran harian, pengaruhnya terhadap konsumsi agregat umumnya terbatas.
Sebaliknya, setiap rupiah yang masuk dari PBB-P2 menjadi bahan bakar bagi belanja pemerintah daerah. Jika belanja ini diarahkan ke infrastruktur produktif, efek gandanya bisa besar. Teori fiscal multiplier (Samuelson, 1939) menjelaskan bahwa belanja pemerintah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lebih dari nilai awal belanja itu sendiri.
Misalnya, pembangunan pasar desa dari dana PBB-P2 tidak hanya memberi tempat layak bagi pedagang, tetapi juga menggerakkan usaha warung makan, jasa angkutan, dan pemasok lokal.
Dari sisi investasi (I), teori user cost of capital (Jorgenson, 1963) menyebutkan bahwa pajak properti adalah bagian dari biaya memegang aset. Namun, karena tanah bersifat location-specific, beban ini jarang membuat pelaku usaha memindahkan investasi keluar daerah.
Justru, kepastian kebijakan PBB-P2 lebih penting daripada nominalnya, karena prediktabilitas memberi rasa aman bagi investor. Lalu bagaimana dengan inflasi?Menurut teori cost-push inflation, kenaikan biaya produksi atau operasional bisa memicu kenaikan harga.
Jika pemilik properti komersial mengalihkan beban PBB-P2 ke tarif sewa, maka biaya usaha bisa naik. Meski begitu, kontribusi PBB-P2 terhadap inflasi umum (IHK) biasanya kecil dan bersifat tidak langsung.
PBB-P2 juga punya peran dalam distribusi pendapatan. Prinsip ability-to-pay menyatakan bahwa pajak sebaiknya proporsional dengan kemampuan membayar. Di sinilah struktur PBB-P2 yang bertingkat membebankan lebih pada objek pajak bernilai tinggi membantu mengoreksi ketimpangan.
Di Banyuwangi, kebijakan keringanan untuk lahan pertanian dan peternakan adalah contoh penerapan prinsip ini, yang melindungi sektor strategis bagi ketahanan pangan. Ada pula dimensi spasial. Tiebout Hypothesis (1956) berpendapat bahwa masyarakat memilih tempat tinggal berdasarkan kombinasi pajak dan layanan publik.
Jika PBB-P2 dirasa wajar dan manfaatnya nyata jalan yang bagus, drainase berfungsi, fasilitas umum terawat maka warga cenderung bertahan dan berpartisipasi aktif. Sebaliknya, jika pajak terasa memberatkan tanpa imbalan layanan yang jelas, bisa muncul dorongan untuk pindah atau mengurangi investasi di wilayah tersebut.
Selama beberapa tahun terakhir, Banyuwangi menjalankan strategi fiskal yang berhati-hati. Pemerintah menjaga stabilitas PBB-P2 sambil memberikan stimulan untuk meringankan beban warga tertentu.
Dari perspektif makro, ini mirip konsep fiscal smoothing: menyeimbangkan penerimaan dan pengeluaran daerah tanpa memicu guncangan besar pada konsumsi atau inflasi lokal. Namun, tantangan ke depan akan semakin besar.
Pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan kebutuhan infrastruktur akan terus meningkat. PAD dari sektor lain cenderung fluktuatif, sementara biaya layanan publik naik setiap tahun. Pada titik tertentu, penyesuaian PBB-P2 mungkin tak terelakkan.
Jika saat itu tiba, pelajarannya jelas: lakukan secara bertahap dan transparan. Penyesuaian bertahap memberi waktu adaptasi bagi masyarakat, sementara transparansi membangun kepercayaan publik.
Teori fiscal exchange menunjukkan bahwa kepatuhan pajak meningkat jika masyarakat melihat hubungan langsung antara pajak yang dibayar dan manfaat yang diterima.
Dengan modal sosial yang ada, Banyuwangi sebenarnya memiliki peluang besar untuk menjadikan PBB-P2 bukan sekadar tagihan tahunan, tetapi sebagai alat penggerak pembangunan yang inklusif. Kuncinya adalah memastikan setiap rupiah kembali ke masyarakat dalam bentuk layanan publik yang berkualitas dan merata.
Pada akhirnya, pajak yang baik adalah pajak yang dibayar dengan rela. Dan kerelaan itu lahir dari keyakinan bahwa pajak tersebut benar-benar menjadi investasi bersama untuk masa depan daerah. (*)
***
*) Oleh : Dr. M. Iqbal Fardian, SE,M.Si., Pemerhati Kebijakan Publik.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |