BANYUWANGI – Maraknya kasus kekerasan anak di sejumlah daerah di Tanah Air menggugah kepedulian segenap elemen di Banyuwangi. Segenap elemen di Bumi Blambangan pun menyatakan siap memberantas berbagai bentuk kekerasan terhadap anak, mulai kekerasan fisik, kekerasan seksual, maupun kekerasan verbal.
Untuk menyinergikan gerakan pemberantasan kekerasan anak, Pemkab Banyuwangi meluncurkan Banyuwangi Children Centre (BCC) kemarin (20/5). Launching yang dilaksanakan bersamaan dengan momentum Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) tersebut digeber di hall Hotel Ketapang Indah.
BBC merupakan satuan tugas (satgas) terintegrasi. Satgas itu melibatkan lintas elemen, mulai tahap pengaduan hingga penanganan kasus kekerasan terhadap anak. Sejumlah elemen yang terlibat dalam BBC, antara lain jajaran pemkab, aparat penegak hukum, kalangan guru dan siswa, dan petugas kesehatan.
Bukan itu saja, untuk mempermudah penyampaian dan pengaduan, Pemkab Banyuwangi juga telah merilis call centre dan SMS centre di nomor 082139374444. Selain bisa melapor lewat telepon dan SMS, masyarakat juga bisa memanfaatkan aplikasi pesan berbasis internet, yakni WhatsApp, melalui nomor tersebut.
“Ini nomor khusus pengaduan kekerasan terhadap anak. Jangan takut melapor jika ada kasus kekerasan terhadap anak di sekitar Anda,” ujar Bupati Abdullah Azwar Anas dalam acara peluncuran BBC kemarin. Anas menambahkan, WhatsApp nomor pengaduan tersebut langsung terkoneksi dengan dirinya.
Selain terkoneksi dengan bupati, grup WhatsApp itu juga terhubung dengan kapolres, kepala kejaksaan negeri (kajari), dan kepala pengadilan negeri (PN). Menurut Anas, kasus kekerasan terhadap anak yang terungkap di media massa belakangan ini harus menjadi perhatian serius.
Data Komisi Nasional Perlindungan Anak menyebutkan, dalam lima tahun terakhir terjadi 21,68 juta laporan kasus pelanggaran hak anak di seluruh Indonesia. 58 persen di antaranya adalah kasus kekerasan seksual.
“Saya terus terang merinding baca berita di media belakangan ini. Karena itu, kami bergerak cepat mengumpulkan semua elemen agar ada perhatian serius terkait masalah kekerasan terhadap anak,” ujar Anas.
Khusus di Banyuwangi, berdasar data Polres Banyuwangi dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), jumlah kasus kekerasan terhadap anak fl uktuatif. Pada 2013 terdapat 120 kasus, lalu pada 2014 turun menjadi 64 kasus.
Namun, pada 2015 meningkat menjadi 102 kasus. Sebanyak 67 persen dari kasus tersebut adalah kekerasan seksual. Sisanya berupa kekerasan fi sik dan sengketa hak asuh. ”Dari laporan 2015, lewat sinergi P2TP2A dan kepolisian, telah dilakukan pendampingan dan 26 kasus dalam proses penyelesaian, ada yang sedang disidangkan, dan ada juga yang diproses kepolisian.
Ada juga yang berhasil diselesaikan secara kekeluargaan lewat konseling,” ujar Anas. Sementara itu, sejak awal tahun hingga Maret 20016, terjadi 27 kasus kekerasan terhadap anak di Banyuwangi. ”Kami berharap
terus menurun. Dan yang lebih penting lagi adalah memastikan anak mendapat perlindungan, mendapatkan haknya,” kata Anas.
Dia menamba kan, selama ini kasus kekerasan terhadap anak cenderung didefinisikan hanya terkait kekerasan fisik dan seksual. Padahal, kekerasan terhadap anak juga bisa berbentuk kekerasan verbal, termasuk bullying di sekolah.
”Misalnya, anak disebut sebagai anak bodoh saat guru marah. Itu tidak boleh. Memori anak bisa menyimpannya menjadi sesuatu yang intimidatif dan menyeramkan. Anak memang tidak berdarah ketika mengalami kekerasan verbal, tapi hatinya luka. Kekerasan verbal ini bisa mempengaruhi rasa percaya diri anak, sehingga potensi anak tidak bisa keluar,” kata Anas.
Oleh karena itu, sambung dia, Banyuwangi Children Center juga melibatkan segenap elemen di lingkungan sekolah, baik guru maupun siswa. ”Banyuwangi Children Center akan bergerak ke sekolah-sekolah untuk menekan bullying di sekolah, termasuk sosialisasi ke pengurus OSIS,” pungkasnya. (radar)