BANYUWANGI, KOMPAS.com – Hari beranjak sore saat anak-anak bermain di halaman rumah baca “Rumah Literasi Indonesia” yang terletak di Dusun Gunung Remuk, Desa Ketapang, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, Jawa Timur.
Tembok bangunan berwarna jingga terang dengan pintu lebar dan rak-rak berisi berbagai buku yang tampak tertata rapi di dalamnya, memungkinkan siapa saja masuk dan menjelajah untuk menikmati bacaan.
Pemandangan yang jarang ditemukan di desa-desa atau perkampungan, kala anak-anak disuguhi buku-buku yang menunjang perkembangan literasi anak-anak.
Pencetusnya adalah Nurul Hikmah, seorang wanita warga setempat yang mendirikan rumah baca tersebut karena keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat di wilayahnya.
Baca juga: Komunitas Civitas Kotheka Hadapi Tekanan Polisi, Penolakan FPI hingga Perkara Politik untuk Berliterasi dan Dirikan Perpustakaan
“Berawal dari keprihatinan karena banyaknya pernikahan dini hingga meningkatnya KDRT sejak saya kecil. Keprihatinan melihat kampung saya ini supaya bisa produktif,” kata Hikmah, Minggu (10/8/2025).
Khususnya untuk para perempuan, yang menurutnya harus meraih pendidikan tinggi dan memiliki pengetahuan luas sebab memiliki anugerah untuk melahirkan generasi penerus, sehingga melalui pendidikan, wanita pula dapat merawat generasinya.
Hikmah mengaku tak menyangka, perjuangan yang dimulai pada tahun 2011 sejak ia lulus S1 Sastra Inggris Universitas Negeri Jember, kini bisa bertahan dan terus berkembang, bahkan memiliki banyak jejaring rumah baca di berbagai titik di Banyuwangi hingga luar kota.
“Dulu pulang dari kuliah, saya berpikir, apa yang bisa saya kontribusikan di kampung tempat kelahiran saya,” tuturnya.
Ia pun terinspirasi dari gerakan Indonesia Mengajar yang kemudian menumbuhkan rasa tanggung jawabnya, ketika mereka yang terdidik juga perlu mengambil langkah membantu mencerdaskan orang-orang di sekitarnya.
Baca juga: Sulitnya Hidupkan Perpustakaan Desa
Karena kesukaannya terhadap buku, Hikmah memilih membuat rumah baca untuk meningkatkan literasi masyarakat di desanya yang kala itu belum cukup teredukasi.
“Pemikiran masyarakat di kampung, belajar itu seperti di sekolah, duduk lalu membaca dan menulis. Sementara saya memakai model permainan, susur sungai, jelajah kampung, yang itu tidak dianggap belajar,” cerita Hikmah.
Hal itu kemudian membuat masyarakat sekitar tak selalu mengizinkan anak-anak mereka datang belajar bersama Hikmah.
Meskipun sebetulnya, tujuan metode belajar yang digunakannya adalah berupaya meningkatkan jiwa kepemimpinan, kreativitas, pengembangan motorik kasar, kognitif, hingga literasi bagi anak-anak.
“Tapi pengetahuan masyarakat belum sampai ke sana. Tantangan secara psikologis, apakah kegiatan ini diteruskan atau tidak,” tuturnya.
Namun Hikmah enggan menyerah begitu saja, ia tetap mendampingi anak-anak dengan optimal, melakukan pendekatan, mengikuti kemauan dan kesukaan anak-anak yang ia amati, untuk kemudian justru menjadi ide-ide belajar keseharian.

Page 2
Hikmah tak memaksa anak-anak membaca buku atau mengikuti program yang ia buat, melainkan program yang dijalankan berasal dari anak-anak serta melihat kebutuhan mereka, sebelum menerapkan literasi.
“Mereka tidak dipaksa untuk baca. Mereka harus suka dulu dengan komunitas ini. Kebutuhan mereka apa, mereka butuh belajar matematika, bahasa, kita melihat kesulitan mereka di sekolah,” ujar Hikmah.
Perlahan, ia melebar ke minat bakat anak-anak yang digalinya, mulai dari musik hingga hari menggunakan alat-alat sederhana.
Namun karena berada di lingkungan pemukiman penduduk, anak-anak juga belajar untuk mengerti batasan.
Baca juga: Mengenal Majang Buku, Komunitas Baca di Lumajang yang Ubah Jalanan jadi Perpustakaan
“Di sanalah fungsi pendidikan karakter dari pendamping. Literasi mereka sudah sampai ke sana. Mereka punya batasan kapan harus sopan, kapan boleh bebas,” jelasnya.
Anak-anak juga kemudian belajar tanggung jawab terhadap aktivitas yang dilakukan, salah satunya merapikan kembali buku-buku bacaan yang dipinjam.
Karena menurutnya, rumah baca bukan hanya tentang buku melainkan juga manusianya, bagaimana setelah membaca buku, manusia tersebut memiliki dampak sosial.
“Dari membaca buku, dia tidak hanya terinspirasi untuk dirinya, tapi harus berdampak untuk orang lain, contohnya apa yang bisa dimanfaatkan untuk lingkungan,” tuturnya.
Anak-anak di desanya itu kemudian diajak melihat potensi lokal, masalah yang ada di sekitar, seperti isu sampah, yang kemudian membuat perubahan dari segi mental untuk berkembang lebih baik dan bermanfaat.
“Bahkan anak bisa menemukan potensinya. Anak didik saya dulu yang belajar di sini mulai kelas 3 SD, sekarang bisa menjadi guru,” ucapnya bangga.
Satu contoh dari banyak hasil perjalanan panjang dan keteguhan Hikmah untuk mengubah pola pikir masyarakat di desanya melalui literasi.
Baca juga: Berawal dari Lapak Baca, Lahir Perpustakaan Desa
Untuk meneguhkan mimpinya, pada tahun 2014, dengan dukungan sang suami dan orang-orang terdekatnya, Rumah Literasi Indonesia mendirikan sebuah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) melengkapi rumah baca yang sudah ada.
“Mengapa didirikan PAUD, karena bermula dari keresahan saya melihat anak-anak SD yang saya dampingi mengalami miskonsepsi pengasuhan, gangguan emosional, gangguan psikososial sehingga proses belajar di SD banyak mengalami tantangan,” urainya.
Banyak dari mereka tidak bisa membaca meski sudah usia sekolah dasar, lalu terdapat pula slow learner yang kemudian meneguhkan niatnya untuk juga perlu terlibat di pendidikan usia dini.
Bagaimana literasi dikembangkan dan pendidikan karakter terbangun dari kecil yang akhirnya akan menimbulkan perubahan.
Page 3
“Biasanya taman baca hanya bukunya saja, kami tidak. Kami berupaya menyeluruh karena semua itu terhubung,” kata Hikmah.
Bahkan, kini Rumah Literasi Indonesia juga menginisiasi sekolah parenting sehingga tidak ada kesenjangan pengasuhan terhadap anak-anak yang telah mendapatkan pembelajaran dengan baik, melalui sekolah maupun rumah baca.
Baca juga: Dibakar atau Memudar? Misteri Hancurnya Perpustakaan Alexandria
Sejak 2017, Rumah Literasi Indonesia aktif menggelar kelas parenting dengan datang ke kajian mushola, lingkungan hutan, hingga persawahan untuk mengobrol dengan orang tua terkait pola asuh.
“Tidak berupa kelas, tapi ketika ada komunitas atau pengajian, kita masuk ke sana. Sharing praktek baik, kami punya materi atau modul pengembangan sekolah parenting,” ungkapnya.
Di sana, para orang tua dapat secara bergantian mencurahkan permasalahan dan kendala mereka terkait pola asuh.
Kini, dengan jargon Membangun Indonesia dari Kampung Halaman, Hikmah terus merangkai mimpinya untuk dapat mencerdaskan anak-anak di kampung halamannya demi peningkatan taraf hidup mereka di masa depan.
Baginya, tak perlu harus menjadi pejabat negara untuk bisa dikatakan membangun Indonesia, melainkan dengan menguatkan akar rumput, khususnya melalui gerakan dan inovasi yang dilakukan para anak muda.
Selain itu, Hikmah juga berharap makin banyak kolaborasi dari berbagai pihak khususnya pemerintah untuk menemukan kembali arah pendidikan bangsa.
“Kolaborasi untuk pendidikan harus diintensifkan, pemerintah harus bisa merangkul banyak pihak,” pesannya.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!