Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Pertarungan Merebut Perhatian Generasi Alpha – TIMES Banyuwangi

pertarungan-merebut-perhatian-generasi-alpha-–-times-banyuwangi
Pertarungan Merebut Perhatian Generasi Alpha – TIMES Banyuwangi

TIMES BANYUWANGI, BANYUWANGI – Setiap pagi di banyak sekolah Indonesia, sebuah adegan berulang tanpa banyak disadari. Seorang guru berdiri di depan kelas, menjelaskan konsep matematika sambil berusaha menjaga semangatnya tetap stabil. 

Di barisan belakang, beberapa siswa menunduk. Bukan karena mengantuk atau mencatat, tetapi karena menatap cahaya kecil dari layar ponsel. Dengan gerakan refleks, ibu jari mereka terus menggeser video demi video di TikTok, seolah dunia hanya membutuhkan perhatian lima belas detik untuk terasa menarik.

Di sinilah pertarungan paling senyap namun paling menentukan terjadi: guru berhadapan dengan sebuah ekosistem digital yang dirancang untuk memenangkan perhatian generasi paling muda dalam sejarah Generasi Alpha. 

Anak-anak ini tumbuh dengan gawai sejak usia balita. Cara mereka belajar, berfokus, dan memaknai informasi sudah dibentuk oleh ritme visual dan interaksi cepat yang media sosial tawarkan.

TikTok tidak hadir sebagai hiburan belaka. Platform ini bekerja layaknya mesin persuasi yang mampu mengenali preferensi seseorang hampir seketika. Dalam waktu singkat, algoritmanya dapat menyesuaikan konten sesuai selera pengguna sering kali lebih cepat daripada guru memahami dinamika kelasnya sendiri. 

Video yang muncul pun ringkas, padat, emosional, dan sangat visual. Sementara pembelajaran di kelas menuntut fokus panjang dan kemampuan memproses konsep abstrak, TikTok menawarkan rangsangan cepat yang secara biologis terasa lebih mudah diterima.

Tidak heran bila banyak guru merasakan perubahan besar. Ada yang bercerita bahwa mengajar selama lima menit kini terasa seperti lima puluh karena tatapan siswa begitu cepat kehilangan fokus. 

Pelajaran yang dahulu bisa berjalan tanpa gangguan, kini sering terpotong oleh distraksi yang muncul dari saku seragam mereka. Secara global, penelitian juga menunjukkan penurunan rentang perhatian, melemahnya kemampuan membaca teks panjang, dan meningkatnya kebutuhan akan hiburan dalam proses belajar.

Namun, menyalahkan anak-anak atau melarang TikTok bukan langkah yang bijak. Membatasi aplikasi hanya akan menjadi tameng sementara. Teknologi bukan musuh; ia adalah bagian dari lanskap baru yang harus dipahami. Yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk menjadikan teknologi sebagai sekutu, bukan lawan.

Beberapa guru mulai mengambil langkah itu. Mereka melihat media sosial bukan sebagai hambatan, melainkan sebagai jembatan belajar. Materi fisika diubah menjadi eksperimen 60 detik. Kisah sejarah disampaikan lewat visual storytelling yang ringkas. 

Pelajaran bahasa Indonesia dipadatkan menjadi tips yang relevan dengan pengalaman sehari-hari siswa. Ada seorang guru IPA di Surabaya yang mencoba mengenalkan hukum Newton melalui tren dance TikTok. 

Siswa tertawa, belajar, dan kemudian mulai memahami. Dalam beberapa bulan, nilai mereka meningkat. Bagi guru tersebut, keberhasilan ini membuktikan bahwa pendekatan baru bisa membuka pintu pemahaman yang berbeda.

Contoh semacam ini memberikan gambaran bahwa guru tidak harus tersingkir dalam pertarungan perhatian digital. Namun, agar perubahan dapat terjadi secara luas, sekolah memerlukan dukungan sistemik. 

Guru perlu pelatihan untuk menguasai produksi konten, memahami dinamika algoritma, dan mengembangkan metode pembelajaran yang lebih modular, interaktif, dan visual. Infrastruktur seperti internet stabil, perangkat multimedia, hingga ruang produksi sederhana menjadi kebutuhan dasar, bukan fasilitas tambahan. Literasi digital pun harus diajarkan sejak dini tidak hanya cara menggunakan teknologi, tetapi juga bagaimana bersikap kritis terhadapnya.

Negara-negara seperti Finlandia telah memulai langkah ini sejak sekolah dasar. Sementara itu, anak-anak Indonesia usia 10–15 tahun menghabiskan rata-rata 3,5 jam per hari di TikTok, sebagian besar tanpa pendampingan untuk memahami bagaimana algoritma membentuk cara pikir mereka. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa pendidikan harus bergerak lebih cepat.

Pertanyaan utamanya bukan lagi apakah TikTok melemahkan kemampuan konsentrasi anak. Pertanyaannya adalah apakah sistem pendidikan kita siap menyesuaikan diri dengan cara baru generasi ini melihat dunia. Mampukah guru mengubah kelas menjadi ruang yang relevan dan menarik, semenarik video yang mereka konsumsi setiap hari?

Generasi Alpha tidak salah karena menyukai video pendek. Mereka hanya merespons lingkungan yang membentuk kebiasaan berpikir mereka. Bila pendidikan ingin tetap relevan, guru harus diberi ruang dan kemampuan untuk menjadi bagian dari ekosistem digital itu. 

Pertarungan ini bukan lagi Guru melawan TikTok. Ini adalah pertarungan antara pendidikan dan keusangan. Dan hanya dengan kreativitas, inovasi, serta keberanian memahami zaman, guru dapat kembali memenangkan perhatian generasi yang menentukan masa depan bangsa.

***

*) Oleh : Nurvita Dwi Kurniawati, Universitas KH. Mukhtar Syafa’at Blokagung Banyuwangi Tadris Bahasa Indonesia.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

____________

**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman