Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Pesta Ganja dan Tsunami 1994, Dia yang Selamat Berkat Nasehat Bapak – Radar Banyuwangi

pesta-ganja-dan-tsunami-1994,-dia-yang-selamat-berkat-nasehat-bapak-–-radar-banyuwangi
Pesta Ganja dan Tsunami 1994, Dia yang Selamat Berkat Nasehat Bapak – Radar Banyuwangi

RADARBANYUWANGI.ID – Hari itu Jumat Pon, 3 Juni 1994. Langit gelap tak biasa menyelimuti pesisir selatan Banyuwangi. Sekitar pukul 02.00 dini hari, dari arah Samudra Hindia datanglah gelombang setinggi hampir 14 meter, menggulung daratan, menyapu pemukiman, dan meluluhlantakkan kehidupan.

Bencana tsunami mengerikan itu, menewaskan 229 jiwa dan menenggelamkan puluhan lainnya ke dalam catatan yang tak pernah selesai dituliskan.

Peristiwa ini bukan sekadar bencana alam. Ia adalah luka kolektif yang membekas kuat di ingatan ribuan warga. Di pesisir Pantai Rajegwesi, Pancer, Lampon, Pulau Merah, hingga Grajagan, hanya puing-puing yang tersisa.

Ratusan rumah hancur, kapal nelayan terlempar ke daratan, dan harapan ikut karam bersama gelombang yang datang tanpa tanda.

Menurut catatan BMKG, tsunami ini dipicu oleh gempa tektonik berkekuatan magnitudo 7,8 di kedalaman 18 kilometer, tepat di lempeng bawah Samudra Hindia.

Namun inilah yang membuatnya mengerikan: guncangannya nyaris tak terasa. Tak ada alarm, tak ada peringatan. Hanya bunyi laut yang mendadak mengaum.

Baca Juga: Sejarah Banyuwangi Juni 1994: Bencana Tsunami Dahsyat, Kengerian Laut Selatan yang Tak Terlupakan

Dari sekian banyak cerita duka, ada satu kisah yang berputar arah. Bukan karena keberuntungan, melainkan karena ketaatan pada firasat seorang ayah.

Hidayat, yang kini berusia 51 tahun, adalah warga Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu. Pada malam sebelum Jumat Pon itu, ia bersama tujuh temannya merencanakan berkemah ke Pantai Pancer.

Mereka ingin menikmati akhir pekan sambil menyaksikan pertunjukan wayang kulit dari dalang terkenal.

Di tahun tersebut, pergaulan cukup bebas. Peredaran miras dan penjualan remah ganja masih marak. Ia berencana menggelar pesta “teler” malam itu.

Namun saat ia berpamitan, ayahnya yang bernama Asmoro, seorang dalang sepuh Banyuwangi, meminta membatalkan rencana tersebut.

Beberapa hari sebelumnya, Asmoro mengalami mimpi buruk di mana Banyuwangi terlihat kering kerontang.

Ia juga merasa gelisah saat menjalani ritual ruwatan murwakalla, yakni saat ia melakoni puasa adat sebelum pementasan wayang.

Sebagai dalang, ia percaya bahwa alam bisa memberi isyarat kepada mereka yang hidup dalam keseimbangan.


Page 2

Ojo le, sampean ojo budal. Bapak ora penak. Yen bapak ngomong ora, sampean kudu manut. (Jangan pergi, Nak. Perasaan Bapak tidak enak. Kalau Bapak bilang tidak, kamu harus nurut),” ucap Asmoro.

Tanpa pikir dan bertanya berkelanjutan, Hidayat langsung nurut. Ia menyingkirkan rasa penasaran dan kekecewaannya, menuruti suara tua yang tak bisa dijelaskan oleh logika.

Dan benar saja. Esok paginya, berita musibah tsunami menyambar seperti petir. Lima dari tujuh temannya tewas, jenazah mereka ditemukan berserakan di antara reruntuhan pantai Pancer.

Baca Juga: Sejarah Banyuwangi: Jejak Lahir Kerajaan Blambangan, Praja di Ujung Timur Jawa

“Saya dan adik-adik itu memang diajarkan untuk selalu patuh pada orang tua. Setelah kejadian itu, bapak juga melarang saya mengenakan pakaian berwarna merah, dan sampai hari ini saya tetap taati,” katanya.

Kini, 31 tahun sudah berlalu. Hidayat masih mengenang momen itu bukan hanya sebagai penyelamatan dari maut, tapi sebagai penanda bahwa kearifan lokal, intuisi orang tua, dan kedekatan spiritual masih punya tempat di tengah era logika.

Sebagai pengingat abadi, tugu peringatan tsunami 1994 didirikan di Dusun Pancer, Desa Sumberagung.

Tugu ini bukan sekadar monumen batu. Ia adalah simbol bahwa kekuatan alam bisa datang kapan saja, dan bahwa terkadang, keselamatan datang dari tempat yang tak terduga. Yakni hati yang peka.

Tsunami Banyuwangi 1994 akan selalu dikenang sebagai tragedi besar yang menguji iman, logika, dan ikatan keluarga. Dan dalam reruntuhan itu, hidup seseorang bisa tetap utuh hanya karena ia percaya pada firasat.


Page 3

RADARBANYUWANGI.ID – Hari itu Jumat Pon, 3 Juni 1994. Langit gelap tak biasa menyelimuti pesisir selatan Banyuwangi. Sekitar pukul 02.00 dini hari, dari arah Samudra Hindia datanglah gelombang setinggi hampir 14 meter, menggulung daratan, menyapu pemukiman, dan meluluhlantakkan kehidupan.

Bencana tsunami mengerikan itu, menewaskan 229 jiwa dan menenggelamkan puluhan lainnya ke dalam catatan yang tak pernah selesai dituliskan.

Peristiwa ini bukan sekadar bencana alam. Ia adalah luka kolektif yang membekas kuat di ingatan ribuan warga. Di pesisir Pantai Rajegwesi, Pancer, Lampon, Pulau Merah, hingga Grajagan, hanya puing-puing yang tersisa.

Ratusan rumah hancur, kapal nelayan terlempar ke daratan, dan harapan ikut karam bersama gelombang yang datang tanpa tanda.

Menurut catatan BMKG, tsunami ini dipicu oleh gempa tektonik berkekuatan magnitudo 7,8 di kedalaman 18 kilometer, tepat di lempeng bawah Samudra Hindia.

Namun inilah yang membuatnya mengerikan: guncangannya nyaris tak terasa. Tak ada alarm, tak ada peringatan. Hanya bunyi laut yang mendadak mengaum.

Baca Juga: Sejarah Banyuwangi Juni 1994: Bencana Tsunami Dahsyat, Kengerian Laut Selatan yang Tak Terlupakan

Dari sekian banyak cerita duka, ada satu kisah yang berputar arah. Bukan karena keberuntungan, melainkan karena ketaatan pada firasat seorang ayah.

Hidayat, yang kini berusia 51 tahun, adalah warga Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu. Pada malam sebelum Jumat Pon itu, ia bersama tujuh temannya merencanakan berkemah ke Pantai Pancer.

Mereka ingin menikmati akhir pekan sambil menyaksikan pertunjukan wayang kulit dari dalang terkenal.

Di tahun tersebut, pergaulan cukup bebas. Peredaran miras dan penjualan remah ganja masih marak. Ia berencana menggelar pesta “teler” malam itu.

Namun saat ia berpamitan, ayahnya yang bernama Asmoro, seorang dalang sepuh Banyuwangi, meminta membatalkan rencana tersebut.

Beberapa hari sebelumnya, Asmoro mengalami mimpi buruk di mana Banyuwangi terlihat kering kerontang.

Ia juga merasa gelisah saat menjalani ritual ruwatan murwakalla, yakni saat ia melakoni puasa adat sebelum pementasan wayang.

Sebagai dalang, ia percaya bahwa alam bisa memberi isyarat kepada mereka yang hidup dalam keseimbangan.