ASAP mengepul dari dua bangunan bambu di Jalan Mahesa Cakrawala, Kelurahan Kebalenan, Banyuwangi. Tampak dua-tiga orang mondar-mandir membawa belasan toples kaleng dan semak-semak kering. Di sekitar bangunan itu ada ratusan toples kaleng tersusun acak.
Semua warga lingkungan sekitar tahu tempat itu adalah industri pengolahan cincau milik Sanari, 56. Produksi cincau itu ternyata juga dikenal hingga wilayah Wongsorejo, Rogojampi, Songgon, dan Stail. Saat Jawa Pos Radar Banyuwangi bertandang, kebetulan proses produksi sedang berlangsung, tapi Sanari tidak ada di rumah.
Musanatun, 72, ibu Sanari, bersedia mewakili anaknya dalam berbincang dengan Jawa Pos Radar Banyuwangi. “Anak saya masih ke Rogojampi. Di sana juga ada usaha seperti ini. Di kelola istrinya,” jelasnya.
Perempuan yang biasa dipanggil Mus itu mengatakan, hingga sore proses produksi masih berlangsung. Hal itu karena mereka memproduksi lebih banyak daripada hari biasa. Dia mengakui produksi meningkat drastis saat Ramadan.
Ada empat orang di bagian produksi. Mereka mencuci daun cincau, merebus, menyaring, dan mencetak cincau hingga siap jual. Proses masak cincau kurang lebih sama seperti tahu. Peralatannya pun hampir sama seperti pengolahan tahu yang menggunakan tungku tradisional.
Yang pertama dilakukan adalah mencuci daun cincau. Khusus bahan yang ini, Sanari membeli di Madiun. Sebab, tanaman cincau di Banyuwangi dan wilayah terdekat lain tidak ada. Daun cincau dibeli dalam keadaan kering.
Sekilas daun cincau tersebut mirip semak liar yang dikeringkan. Sanari memiliki gudang khusus penyimpanan daun cincau di pojok rumahnya. Sanari menyetok berkarung-karung daun cincau di gudang tersebut. Setelah dicuci, daun cincau itu direbus sampai daunnya luruh dan sarinya keluar.
Agar benar-benar sari daun keluar, biasanya minimal dibutuhkan waktu tiga jam. Rebusan daun tadi akan dipisahkan dari sarinya dengan cara disaring. Kemudian, sari cincau kembali direbus hingga mendidih menggunakan panci super besar di atas tungku.
Penyaringan kembali dilakukan untuk mendapatkan adonan yang benar-benar halus. Baru kemudian proses dilanjutkan dengan pencampuran sari cincau dengan tepung tapioka (kanji). Minimal sekitar dua jam proses pemasakan sari dan tepung tapioka untuk mendapatkan kekentalan yang diinginkan.
“Jika sudah kental maka bisa dimasukkan toples kaleng pencetak,” beber Musnatun. Rupanya ratusan toples kaleng tersebut merupakan cetakan cincau. Kurang-lebih lima jam waktu yang dibutuhkan agar cincau dingin dan siap dipotong.
Satu toples cincau dipotong menjadi 40 bagian dan dibanderol seharga Rp 55 ribu. Pada hari-hari biasa, usaha yang berdiri sejak tahun 1980-an itu rata-rata memproduksi cincau dengan bahan 10 kilogram tepung tapioka dan 10 kilogram daun cincau atau menghasilkan 12 toples kaleng cincau.
Pada bulan Puasa, produksinya bisa meningkat menjadi 100 kilogram tepung tapioka dan 100 kilogram daun cincau untuk menghasilkan 120 kaleng cincau per hari. Cincau-cincau ini dipasarkan ke Pasar Banyuwangi, Blambangan, Wongsorejo, dan sekitarnya. Pelanggan yang jauh biasanya datang sendiri ke rumah Sanari. (radar)