RADARBANYUWANGI.ID – “Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini,” ujar Presiden Soeharto dalam pidato pengunduran dirinya yang disampaikan secara resmi pada hari Kamis, 21 Mei 1998.
Pernyataan itu sekaligus menjadi penanda berakhirnya era Orde Baru yang telah ia pimpin selama lebih dari tiga dekade, dan membuka gerbang menuju Era Reformasi.
Dalam pidato singkatnya, Soeharto menyerahkan mandat kekuasaan kepada wakilnya, B.J. Habibie, yang kemudian diambil sumpah sebagai Presiden ketiga Republik Indonesia.
Runtuhnya kekuasaan Soeharto terjadi di tengah tekanan ekonomi, sosial, dan politik yang luar biasa hebat.
Aksi demonstrasi besar-besaran yang digerakkan oleh mahasiswa dan elemen masyarakat sipil semakin menggema, menyuarakan tuntutan reformasi total terhadap pemerintahan yang dianggap sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sebelum pengunduran diri itu terjadi, situasi politik sudah memanas. Gedung DPR/MPR telah dikuasai ribuan mahasiswa.
Pada 18 Mei 1998, Ketua DPR saat itu, Harmoko, bersama para wakilnya, secara terbuka meminta Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Namun, perjuangan menumbangkan rezim Orde Baru dibayar mahal. Tragedi berdarah terjadi pada 12 Mei 1998, ketika empat mahasiswa Universitas Trisakti — Elang Mulya Lesmana, Heri Hartanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie — tewas ditembak aparat saat berdemonstrasi.
Tragedi ini menjadi pemicu kemarahan mahasiswa di seluruh Indonesia dan memicu gelombang aksi lanjutan yang makin besar. Tercatat, sedikitnya 681 mahasiswa terluka dalam rangkaian aksi tersebut.
Mahasiswa yang turun ke jalan kala itu tidak hanya menuntut pengunduran diri Soeharto, tetapi juga membawa agenda reformasi menyeluruh.
Mereka menyoroti krisis ekonomi yang menyebabkan harga sembako melambung tinggi, nilai tukar rupiah terjun bebas, serta sistem birokrasi yang karut-marut karena korupsi dan nepotisme. Indonesia saat itu juga menanggung beban utang yang berat.
Meski akhirnya tumbang, kenangan tentang Soeharto masih membelah opini publik. Sosok yang dijuluki ‘Bapak Pembangunan’ ini dikenang sebagian masyarakat karena stabilitas politik dan kemajuan infrastruktur yang ia wujudkan selama masa kekuasaannya.
Banyak yang kemudian memunculkan nostalgia terhadap masa Orde Baru melalui poster dan meme bergambar Soeharto dengan tulisan: “Piye kabare? Penak jamanku, to?”
Namun di sisi lain, warisan Soeharto penuh kontroversi. Ia dikenal sebagai pemimpin otoriter yang membungkam kebebasan sipil, memberlakukan diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa, dan memimpin invasi ke Timor Timur.
Page 2
Kenapa Banyuwangi Dijuluki Kota Santet?
Selasa, 20 Mei 2025 | 13:35 WIB
Page 3
RADARBANYUWANGI.ID – “Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini,” ujar Presiden Soeharto dalam pidato pengunduran dirinya yang disampaikan secara resmi pada hari Kamis, 21 Mei 1998.
Pernyataan itu sekaligus menjadi penanda berakhirnya era Orde Baru yang telah ia pimpin selama lebih dari tiga dekade, dan membuka gerbang menuju Era Reformasi.
Dalam pidato singkatnya, Soeharto menyerahkan mandat kekuasaan kepada wakilnya, B.J. Habibie, yang kemudian diambil sumpah sebagai Presiden ketiga Republik Indonesia.
Runtuhnya kekuasaan Soeharto terjadi di tengah tekanan ekonomi, sosial, dan politik yang luar biasa hebat.
Aksi demonstrasi besar-besaran yang digerakkan oleh mahasiswa dan elemen masyarakat sipil semakin menggema, menyuarakan tuntutan reformasi total terhadap pemerintahan yang dianggap sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sebelum pengunduran diri itu terjadi, situasi politik sudah memanas. Gedung DPR/MPR telah dikuasai ribuan mahasiswa.
Pada 18 Mei 1998, Ketua DPR saat itu, Harmoko, bersama para wakilnya, secara terbuka meminta Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Namun, perjuangan menumbangkan rezim Orde Baru dibayar mahal. Tragedi berdarah terjadi pada 12 Mei 1998, ketika empat mahasiswa Universitas Trisakti — Elang Mulya Lesmana, Heri Hartanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie — tewas ditembak aparat saat berdemonstrasi.
Tragedi ini menjadi pemicu kemarahan mahasiswa di seluruh Indonesia dan memicu gelombang aksi lanjutan yang makin besar. Tercatat, sedikitnya 681 mahasiswa terluka dalam rangkaian aksi tersebut.
Mahasiswa yang turun ke jalan kala itu tidak hanya menuntut pengunduran diri Soeharto, tetapi juga membawa agenda reformasi menyeluruh.
Mereka menyoroti krisis ekonomi yang menyebabkan harga sembako melambung tinggi, nilai tukar rupiah terjun bebas, serta sistem birokrasi yang karut-marut karena korupsi dan nepotisme. Indonesia saat itu juga menanggung beban utang yang berat.
Meski akhirnya tumbang, kenangan tentang Soeharto masih membelah opini publik. Sosok yang dijuluki ‘Bapak Pembangunan’ ini dikenang sebagian masyarakat karena stabilitas politik dan kemajuan infrastruktur yang ia wujudkan selama masa kekuasaannya.
Banyak yang kemudian memunculkan nostalgia terhadap masa Orde Baru melalui poster dan meme bergambar Soeharto dengan tulisan: “Piye kabare? Penak jamanku, to?”
Namun di sisi lain, warisan Soeharto penuh kontroversi. Ia dikenal sebagai pemimpin otoriter yang membungkam kebebasan sipil, memberlakukan diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa, dan memimpin invasi ke Timor Timur.








