Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Budaya  

Sudarmaji, Pelawak Legendaris Kesenian Rengganis

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

sudarmajiDi Pentas Bikin Terbahak, di Rumah Pemalu dan Pendiam

NAMA Gendon cukup familiar bagi masyarakat Desa Tampo, Kecamatan Cluring, Banyuwangi. Namanya seakan menjadi penunjuk arah posisi rumahnya. Tidak lama mencari, alamat yang dituju pun ketemu. Rumahnya cukup sederhana. Lokasinya di sebuah jalan kecil di sisi balai Desa Tampo. Di usia senjanya kini, Gendon banyak menghabiskan waktu dengan kerja serabutan. Ragam pekerjaan, seperti menjadi buruh dan kuli kasar, dia jalani.

Itu demi dapur tetap ngebul. Meski sesekali dia masih diajak tampil, usia senja yang melekat pada dirinya membuatnya tidak bisa berkarya maksimal lagi. Kehidupan Gendon kini jauh dari glamor. Dia pun pernah menghuni rumah kontrakan selama beberapa tahun. Ada tiga anak yang menjadi tanggung jawabnya. Kini, di masa tuanya, dia dituntut senantiasa tetap hidup mandiri bersama istrinya. Bagi masyarakat Desa Tampo dan sekitarnya, Gendon dikenal sebagai seorang seniman sejati. 

Dia merupakan satu dari sekian banyak saksi hidup kejayaan kesenian rengganis di Banyuwangi. Banyak sebutan yang dialamatkan untuk kesenian tersebut. Ada yang menyebutnya kesenian Prabu Roro dan ada pula yang menyebutnya Umar Moyo. Ciri khas kesenian itu terletak pada musik dan pemainnya. Musik dalam kesenian tersebut kental nuansa Banyuwangian. Kostum para pemain lebih mirip pemain wayang orang.

Dialog para tokoh menggunakan bahasa Osing.Tema yang disajikan menceritakan nilai-nilai Islam. Beberapa pemain memakai baju serba hitam dan menggunakan kacamata. Sebetulnya bapak tiga anak itu merupakan seniman serba bisa. Beberapa alat musik tradisional mampu dikuasai dengan baik. Tidak heran, dalam sebuah pertunjukan, dia bisa menjadi pemain dan pemukul alat musik. Meski tidak muda lagi, Gendon masih hafal karakter kesenian rengganis. 

Tahun 1967 merupakan kali pertama dia terjun ke dunia seni rengganis. Serba kebetulan. Itu yang dia ceritakan. Itu diawali saat dirinya diminta temannya menjadi pemain tambahan dalam sebuah pertunjukan. “Pemainnya saat itu kurang,” kenangnya. Tidak ada training khusus yang diperoleh untuk aksi panggung pertamanya itu. Mungkin sudah bakat, dia pun sukses menjalankan perannya dengan baik. Padahal, tidak ada naskah skenario yang mampir ke tangannya.

Dia hanya diberi tahu jalan cerita secara umum yang harus dimainkan. Peran sebagai bolo abangan (buto) maupun abdi dalem pernah dia jalani. Seringnya Gendon naik panggung kala itu mengibarkan namanya. Tahun 1973 dia mulai mendapat peran sebagai pelawak. Peran itu juga mampu dimainkan dengan apik. Ketenaran Gendon sebagai komedian di panggung kesenian rengganis membuatnya laris-manis menerima order. Bahkan, dia pernah berduet dengan salah satu seniman top tanah air waktu itu, Topan. 

Duet keduanya menjadi salah satu bagian pertunjukan lawakan di kesenian rengganis yang paling ditunggu di zamannya. “Prinsip saya, siap tampil dengan siapa saja dan tidak mau terikat dengan satu grup kesenian,” tegasnya. Gendon pun melanglang buana hingga ke beberapa kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya.Tanpa bakat alami yang dimiliki, mungkin hingga kini Gendon tidak akan pernah menjejakkan kaki di Taman Mini Indonesia Indah.

Penampilannya di Surabaya dalam HUT Provinsi Jawa Timur tahun ini, di usia senjanya, dia tetap tampil menghibur. Lawakannya dan kemampuannya tampil dalam cerita peperangan di atas panggung cukup baik. “Padahal, waktu itu sudah istirahat dan melepas sebagian kostum. Tiba-tiba dia tampil lagi di atas panggung, dan hasilnya baik,” ujar Suko Prayitno, owner Gandrung Arum Cluring. Meski dikenal sebagai komedian, Gendon jauh dari karakter yang diperankan di atas panggung. 

Di rumahnya, dia merupakan sosok yang pemalu dan pendiam. Bahkan, sang istri yang juga pemain kesenian rengganis, Mujiati, mengatakan, suaminya jarang melawak di rumah. “Melawak seringnya di panggung. Kalau di rumah ya serius begini orangnya,” ujar Mujiati. Saking pemalunya, Gendon kerap menolak jika istrinya meminta diajari ilmu pertunjukan rengganis.

Bahkan, saat berada di rumah, keduanya jarang membahas pertunjukan dan bayarannya. “Waktu itu sekali mentas bayarannya ya Rp 10 sampai Rp 15 (sekitar tahun 1970-an),” bebernya. Meski demikian, perjalanan karir Gendon tak semulus harapan. Dia kerap dibayar tidak sesuai perjanjian. “Kalau ingat itu ya sedih. Bayarannya sudah kecil banyak dipotong dan tidak diberikan penuh,” ujar Gendon. (radar)