Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Tak Salat, Anas Diikat di Pohon Kelapa

BAPAK-ANAK: Foto kenangan Bupati Abdullah Azwar Anas bersama (alm) KH Musayyidi semasa hidup.
Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda
BAPAK-ANAK: Foto kenangan Bupati Abdullah Azwar Anas bersama (alm) KH Musayyidi semasa hidup.

Selain dikenal sebagai sosok kiai yang berani dan memiliki ilmu kekebalan, almarhum KH. Achmad Musayyidi juga dikenal keras dalam menanamkan nilai- nilai agama kepada anaknya.

-ABDUL AZIZ, Tegalsari-

SETELAH selamat dari maut saat diseret dari mobil dalam gejolak Gerakan 30 September 1965 yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI), almarhum Kiai Sayyidi memilih kembali mengajar di kampungnya. Bersama masyarakat setempat, dia mendirikan sebuah masjid di atas tanah wakaf sesepuh kampung setempat yang juga sudah dianggap orang tua angkatnya, yaitu Mbah Joyo Karso.

Peletakan batu pertama masjid yang kini diberi nama Mabadi’ul Ihsan tersebut dilakukan pendiri Pesantren Bustanul Makmur, Kebunrejo, almarhum KH. Djunaidi. Penentuan arah kiblatnya dilakukan pendiri Ponpes Darussalam, Blok- agung, almarhum KH. Muhtar Syafaat Abdul Ghofur. Selain mendirikan masjid, Kiai Sayyidi juga langsung pindah rumah.

Lokasi rumah barunya persis di utara tempat ibadah tersebut. Rumah yang dulu sangat sederhana itu ditempati bersama istri dan sepuluh anaknya sampai yang bersangkutan mengembuskan napas terakhir Kamis malam lalu (2/8). Nah,selama mendiami rumah tersebut, Kiai Sayyidi bukan hanya aktif mengajar para santri kampung, tapi juga bekerja mencari nafkah untuk keluarga layaknya masyarakat kebanyakan.

Saat itu, Kiai Sayyidi membuat jamu di rumahnya. Yang bertugas menjual ke para pelanggan, termasuk ke daerah per kebunan, adalah anaknya nomor dua, yaitu Ab dullah Azwar Anas, yang kini menjadi Bupati Banyuwangi. Dipilihnya Azwar Anas sebagai anak yang ber tugas memasarkan jamu oleh sang ayah, ada kisah menarik yang disampaikan adik kan dungnya, yaitu Murtasimah.

Alasannya adalah selain karena yang ber sangkutan adalah anak tertua (karena anak pertama meninggal dunia), Azwar Anas kecil dianggap pandai memasarkan barang dagangan. Bila ada pelanggan yang utang dan berjanji membayar pada waktu tertentu, Anas kecil selalu disiplin menagih ke rumah pe-langgan yang bersangkutan.

“Kalau orang yang ditagih belum bayar yaditunggui di ru mahnya sampai orangnya bayar,” cerita Murtasimah sambil tersenyum kecil. Sementara itu, di lingkungan keluarga, Kiai Sayyidi adalah sosok ayah yang sangat keras mengajarkan ajaran agama. Hal itu bisa dilihat ketika dia menghukum anak ke duanya, Abdullah Azwar Anas.

Suatu ketika, layaknya anak kecil kebanyakan, Anas tengah asyik bermain bola di lapangan kampung bersama teman-temannya. Saking asyiknya bermain bola, dia lupa menunaikan salat Duhur. “Begitu pulang ke rumah, Mas Anas langsung diikat di pohon kelapa oleh Abah,” tutur Murtasimah yang se lama ini dikenal sangat dekat dengan al marhum.

Kerasnya hukuman yang diberikan kepada anak-anaknya yang tidak menunaikan salat tersebut bukan hanya diterima Anas. Ternyata semua adiknya juga merasakan hal serupa. “Sukron juga pernah merasakan ke rasnya Abah dalam mendidik anak,” lanjutnya sambil menunjuk ke arah adiknya, Syukran Makmun Hidayat. Murtasimah sampai sekarang juga masih ingat kerasnya sang ayah dalam men didik.

Dia pun bisa merasakan dampak kedisiplinan yang diajarkan sang ayah itu. Perempuan yang juga hafal Alquran itu sampai sekarang tidak bisa naik sepeda pancal, ka rena pernah dilarang keras sang Abah. Suatu ketika, Mustasimah pernah belajar naik sepeda pancal di timur rumahnya. Sat itu ayahnya tahu. “Saat itu, saya dikejar sama Abah dan langsung diminta turun.

Abah bilang haram perempuan naik sepeda,” ceritanya dengan mata menerawang. Ternyata kerasnya mendidik anak tidak hanya terjadi saat anak-anaknya masih kecil. Ketika anak-anaknya sudah dewasa, Kiai Sayyidi tetap keras dalam hal ibadah, khususnya salat lima waktu. Bahkan, Anas yang kini sudah menjadi bupati, ketika pulang ke rumah orang tuanya di Desa Karangdoro, tetap diperlakukan sebagaimana masih kecil.

Ketika azan subuh berkumandang dari masjid di depan rumahnya, Kiai Sayyidi yang memang ru tin tidak tidur malam itu langsung membangunkan Anas. Dia ketuk pintu kamar dan meminta Anas bangun untuk menunaikan salat Su buh. “Jadi, saya kalau pulang ke sini (Karangdoro, Red), Abah ya tetap bangunkan saya seperti dulu,” tutur Bupati Anas.

Pendidikan agama Kiai Sayyidi terhadap anak-anaknya terus berlanjut hingga anak-anaknya studi di perguruan tinggi. Mesti sudah kuliah, harus tetap di pesantren. Ketika anak-anaknya studi di perguruan tinggi, Kiai Sayyidi tak pernah menanyakan nilai akademik. Menurut Bupati Anas, selama dirinya di Madrasah Ibtidaiah sampai S2 di Universitas Indonesia, Abahnya sama sekali tidak pernah menanyakan ni lai akademik yang dia dapat. “Nilai aka demik saya nggak pernah ditanyakan. Setiap kali pulang dan bertemu, yang di tanyakan Abah bagaimana salatnya dan ba gaimana ibadahnya. Itu yang selalu di tanyakan,” tandas Bupati Anas. (radar/bersambung)