radarbanyuwangi.jawapos.com – Banyak dari kita mungkin tumbuh dengan keyakinan bahwa nama “Indonesia” lahir dari rahim perjuangan rakyat nusantara.
Sebuah nama yang seakan-akan telah ada sejak zaman nenek moyang, menyatu dengan darah dan tanah air. Namun kenyataannya, sejarah berkata lain.
Istilah ini pertama kali lahir bukan dari pemikiran tokoh pribumi, melainkan dari pena dua orang asing di abad ke-19.
Kisah ini dimulai pada tahun 1850 di Singapura, di sebuah pusat percetakan dan pertemuan para intelektual dunia.
George Windsor Earl, seorang etnolog asal Inggris yang meneliti kepulauan Asia Tenggara, menulis artikel di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA).
Dalam tulisannya, ia memperkenalkan dua istilah baru: “Indunesians” dan “Malayunesians.” Menurut Earl, “Malayunesia” lebih tepat secara rasial karena merujuk pada rumpun Melayu.
Namun muridnya yang cerdas, James Richardson Logan, justru jatuh hati pada istilah “Indunesia” dan memodifikasinya menjadi “Indonesia” demi kemudahan pelafalan.
Logan tidak hanya menyukai kata ini, ia juga menggunakannya berulang kali dalam tulisannya.
Seiring waktu, “Indonesia” mulai muncul di berbagai karya ilmiah dan dikenal di kalangan akademisi.
Gelombang popularitasnya semakin menguat ketika Adolf Bastian, etnolog asal Jerman, menerbitkan karya besar Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (1884–1894).
Dalam dunia akademik Eropa dan Belanda, kata ini mulai menempati posisi yang penting sebagai istilah geografis dan etnografis.
Namun titik balik sesungguhnya terjadi saat istilah “Indonesia” mulai diadopsi oleh tokoh pergerakan pribumi.
Pada 1913, Ki Hajar Dewantara, yang saat itu berada di Belanda, mendirikan Indonesisch Persbureau menjadikannya orang Indonesia pertama yang menggunakan nama ini secara resmi.
Sumber: uici.ac.id, id.wikipedia.org, rctiplus.com, indonesia.go.id, kumparan.com, en.wikipedia.org
Page 2
Page 3
radarbanyuwangi.jawapos.com – Banyak dari kita mungkin tumbuh dengan keyakinan bahwa nama “Indonesia” lahir dari rahim perjuangan rakyat nusantara.
Sebuah nama yang seakan-akan telah ada sejak zaman nenek moyang, menyatu dengan darah dan tanah air. Namun kenyataannya, sejarah berkata lain.
Istilah ini pertama kali lahir bukan dari pemikiran tokoh pribumi, melainkan dari pena dua orang asing di abad ke-19.
Kisah ini dimulai pada tahun 1850 di Singapura, di sebuah pusat percetakan dan pertemuan para intelektual dunia.
George Windsor Earl, seorang etnolog asal Inggris yang meneliti kepulauan Asia Tenggara, menulis artikel di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA).
Dalam tulisannya, ia memperkenalkan dua istilah baru: “Indunesians” dan “Malayunesians.” Menurut Earl, “Malayunesia” lebih tepat secara rasial karena merujuk pada rumpun Melayu.
Namun muridnya yang cerdas, James Richardson Logan, justru jatuh hati pada istilah “Indunesia” dan memodifikasinya menjadi “Indonesia” demi kemudahan pelafalan.
Logan tidak hanya menyukai kata ini, ia juga menggunakannya berulang kali dalam tulisannya.
Seiring waktu, “Indonesia” mulai muncul di berbagai karya ilmiah dan dikenal di kalangan akademisi.
Gelombang popularitasnya semakin menguat ketika Adolf Bastian, etnolog asal Jerman, menerbitkan karya besar Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (1884–1894).
Dalam dunia akademik Eropa dan Belanda, kata ini mulai menempati posisi yang penting sebagai istilah geografis dan etnografis.
Namun titik balik sesungguhnya terjadi saat istilah “Indonesia” mulai diadopsi oleh tokoh pergerakan pribumi.
Pada 1913, Ki Hajar Dewantara, yang saat itu berada di Belanda, mendirikan Indonesisch Persbureau menjadikannya orang Indonesia pertama yang menggunakan nama ini secara resmi.
Sumber: uici.ac.id, id.wikipedia.org, rctiplus.com, indonesia.go.id, kumparan.com, en.wikipedia.org