RADARBANYUWANGI.ID – Langit senja di Banyuwangi selalu punya warna yang berbeda.
Jingga dan keemasan membentang lembut, seolah ingin membisikkan rahasia masa lalu kepada siapa saja yang mau mendengarkan.
Di taman kota yang rindang, di bawah pohon tanjung yang berbunga putih dan harum, duduklah dua anak muda—Sid dan Sri.
“Jadi namamu Sri Tanjung? Nama yang unik banget,” kata Sid, menatap gadis di hadapannya dengan senyum iseng. “Jangan-jangan kamu keturunan bidadari?”
Sri hanya tersenyum. “Bisa jadi. Tapi yang jelas, aku nggak pakai selendang terbang, kok.”
Pertemuan mereka tak direncanakan. Sid, mahasiswa arkeologi dari Surabaya, sedang melakukan penelitian tentang situs-situs Majapahit di Banyuwangi.
Sri, mahasiswi seni pertunjukan, sedang menyiapkan pementasan drama rakyat tentang legenda Sri Tanjung. Takdir mempertemukan mereka dalam diskusi budaya di kampus lokal.
Mereka cepat akrab. Terlalu cepat, mungkin. Tapi siapa yang bisa menolak perasaan yang datang seperti aliran air di musim hujan—deras dan tak terelakkan?
Hari-hari mereka dipenuhi cerita sejarah, canda tawa, dan kopi dari warung pinggir jalan. Sid terpukau pada sosok Sri yang cerdas, berani, dan… wangi.
Bukan wangi parfum. Tapi aroma bunga tanjung yang entah kenapa selalu menyertai kehadirannya.
“Serius deh, kamu itu seperti legenda hidup,” kata Sid suatu malam, saat mereka duduk di tepi pantai Boom. “Aku bisa bayangin kamu menari di pelataran candi, mengenakan kebaya dan selendang…”
Sri mengangkat alis. “Kamu mulai puitis nih. Hati-hati jatuh cinta sama legenda.”
Sid tersenyum, tidak membantah.
Tapi seperti kisah klasik, cinta mereka tak selamanya tenang.
Page 2
Page 3
Suatu malam, saat Sid sedang memeriksa arsip digital kiriman dosennya, ia menemukan foto Sri sedang duduk berdua dengan seorang pria berjas.
Pria itu, ternyata, adalah kurator museum yang juga sponsor utama pertunjukan drama Sri. Tapi dalam foto itu, mereka terlihat dekat. Terlalu dekat.
Sid mulai curiga. Apalagi saat Sri tidak menjawab chat-nya malam itu.
Cemburu buta mulai membakar pikirannya. Esoknya, ia menunggu Sri di taman tanjung.
“Kamu bohong sama aku?” tanyanya tajam.
Sri terkejut. “Apa maksudmu?”
“Pria itu. Yang di foto. Kamu kelihatan nyaman banget sama dia.”
Sri menghela napas panjang. “Itu Pak Arif, mentor sekaligus donatur. Dia… sudah seperti ayah sendiri buatku. Sid, kamu pikir aku seperti apa?”
Sid terdiam, masih dibalut emosi. Sri menatapnya lama, lalu berkata lirih:
“Kalau kamu masih ragu, aku punya satu permintaan. Kalau aku bohong, kalau aku nggak setia, maka wangi dari bunga tanjung ini akan hilang dari tubuhku.”
Sid menatap Sri. Angin berembus pelan. Ajaibnya, aroma wangi itu masih menyelimuti udara. Harum, hangat, dan tulus.
Saat itulah Sid tahu—dia salah. Seperti Sidapaksa yang buta karena cemburu, dia nyaris mengulang sejarah.
“Sri… maaf.”
Sri tersenyum kecil. “Legenda itu hidup bukan untuk ditiru kesalahannya. Tapi untuk kita belajar jadi lebih bijak, Sid.”
Mereka berpelukan di bawah pohon tanjung yang bunganya perlahan jatuh satu per satu, seperti restu dari masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi.