Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Masitah Enjoy Jadi Kuli Bangunan, Wulan Mahir Nambal Ban

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

PELUH bercucuran dari wajah Masitah, 41. Ibu dua anak itu tengah bekerja keras untuk mengaduk adonan semen bercampur pasir yang akan digunakan untuk menempelkan bata menjadi tembok. Meski pekerjaan sebagai kuli bangunan identik dengan pekerjaan pria, tetapi Masitah tampaknya tak peduli.

Tidak ada lagi urat kecantikan apalagi kelemah lembutan yang ditunjukkannya saat harus berjibaku dengan semen, batu-bata, dan  material bangunan lainnya. Ketika menjelang siang, Masitah pun duduk sejenak untuk beristirahat. Begitu melihat Jawa Pos  Radar Banyuwangi datang menghampirinya, Masitah langsung tersenyum.

Tak tahu apa alasannya, mungkin dia memang tipikal orang yang murah senyum. Sambil mempersilakan saya duduk, wanita yang tinggal di Dusun Dukuh Rupi, Desa Grogol, Kecamatan Giri itu mengaku sedang membantu suaminya. Kebetulan suaminya adalah seorang tukang bangunan.

Hari  itu dia diajak suaminya untuk menyelesaikan sebuah rumah pribadi di Lingkungan Gentengan,  Kelurahan Pengantigan. Rutinitas seperti ini, kata Masitah, sudah lama dijalani hampir 20 tahun. Tak hanya mengaduk adonan semen, Masitah juga  harus mengangkat bata dan memindahkan pasir.

“Saya ini sebenarnya buruh tani kalau di rumah, tapi kadang juga di ajak suami jadi tukang bangunan. Jadi kemana suami saya kerja, saya  kadang diajak ikut,” tutur Masita. Awalnya Masitah mengaku sangat kelelahan ketika harus membantu suaminya. Tetapi  saat dirinya ingat kedua anaknya,semangat kembali terpompa.   Dia tidak peduli kulitnya menjadi  legam karena pekerjaannya.

“Kadang kalau sudah capek yang saya ingat ini anak, dapat uang  terus buat anak,” kata wanita yang mengaku buta huruf itu. Meski terbilang pekerjaan kasar, tapi Masitah mengaku hanya berani bekerja di pembangunan rumah pribadi, bukan proyek-proyek   besar.

Di pembangunan rumah, lebih santai dan tidak diburu-buru oleh mandor. Selama menjadi kuli batu, sudah puluhan rumah  yang dikerjakan bersama suaminya.  Pernah juga Masitah diajak  suaminya Ahmad Khomsi, 55,    untuk mengerjakan bangunan   perumahan di Bali.

Di sana dirinya juga bekerja sebagai kuli bangunan, tetapi sebelum berangkat kerja dirinya terlebih dulu memasakkan makanan untuk  semua kuli yang ada. Meski bagi sebagian orang pekerjaannya  ini tergolong keras dan kasar, tetapi baginya pekerjaan ini banyak memberi manfaat untuknya dan keluarganya.

Bahkan banyak orang di desanya yang memujinya karena menganggap Masitah adalah wanita  yang setulus hati membantu suaminya. “Yang ada dipikiran saya cuma anak. Kalau saya orang  kaya pasti tidak bekerja di sini. Gara-gara bekerja ini, anak saya yang pertama sudah lulus SMA. Tinggal yang kedua masih SMP.  Yang penting jangan sampai seperti saya,” ujar wanita yang  tak lulus SD itu.

Di mata rekan-rekannya sesama pekerja bangunan, sosok Masitah  dianggap seperti pemecah kejenuhan. Karena tak jarang wanita itu mengajak bercanda dan berbicara pekerja lainnya layaknya keluarga sendiri. “Meskipun perempuan tapi kerjanya tidak  kalah dengan kita,’’ kata Zaini, salah satu teman Masitah.

Di sisi kota Banyuwangi, ada juga seorang ibu tengah mencari  nafkah dengan cara yang berbeda. Dia adalah Retno Wulandari, 31. Dia bekerja tak jauh dari patung Jenderal Basuki Rachmat  di Kelurahan Singotrunan. Setiap  hari, jika ada kendaraan yang mengalami ban bocor, wanita yang akrab disapa Wulan itu siap  dengan jasanya.

Wulan adalah seorang wanita tukang tambal ban. Sama seperti   Masitah, Wulan bekerja untuk  ikut mendampingi suaminya, Joyo Waskito. Kepada Jawa Pos Radar Banyuwangi usai menyelesaikan pekerjaannya, Wulan menceritakan jika awalnya tidak berniat untuk melakukan pekerjaan itu.

Namun, setelah melihat suaminya yang bekerja sebagai penjual sepeda pancal bekas dan tambal ban sering meninggalkan tempat kerjanya, maka munculah instingnya untuk memanfaatkan pekerjaan suaminya. Jadi, ketika suaminya pergi, Wulanlah yang   mengambil alih mengoperasikan kios penjualan sepeda bekas dan jasa tambal ban.

Karena berulang kali menangani kasus ban bocor, Wulan kini   mengaku sudah mampu untuk  menambal ban mobil sekalipun. “Awalnya diajari suami, tapi lama-lama berusaha sendiri dan sekarang mulai pagi sampai tengah hari saya yang menjaga tambal bannya,” ujar ibu rumah tangga itu.

Wulan sendiri awalnya sempat mengenyam bangku pendidikan bidan. Bahkan, dulu tak jarang  dia diminta menjadi Sales Promotion Girl (SPG) produk-produk wanita. Tetapi setelah menikah dan mempunyai anak, akhirnya  Wulan memutuskan berhenti.

Dia memilih mencari pekerjaan yang bisa meluangkan banyak waktu untuk anak-anaknya.  Wulan mengaku sangat nyaman  dengan pekerjaannya sebagai tukang tambal ban. “Kadang ada orang yang melihat saya kasihan.  Seolah saya ini patut dikasihani karena kerja seperti ini. Tapi ini  memang pilihan saya, yang  penting saya punya banyak waktu  mendidik mereka,” pungkas ibu dua anak itu. (radar)