BELASAN sepeda pancal berjejer rapi di tepi jalan Brigjen Katamso, Banyuwangi, tepatnya beberapa meter di belakang kantor DPRD Banyuwangi kemarin siang (21/10). Ada sepeda unto jadul, ada sepeda mini, ada pula sepeda gunung, dan beberapa jenis sepeda lain.
Itu bukan parkiran. Bukan pula stan pameran sepeda bekas. Sepeda- sepeda yang dijajar rapi itu adalah dagangan Ismanto, 65, warga setempat. Sudah sejak sekitar setahun ayah tiga anak tersebut membuka usaha jual- beli sepeda pancal bekas.
Bukan hanya melayani transaksi jual-beli, dia juga melayani pembelian dengan metode tukar-tambah. Lantaran olahraga sepeda semakin digemari masyarakat, Ismanto mencoba menangkap peluang tersebut. Alhasil, sejak dirinya membuka usaha sekitar setahun lalu, rata-rata dalam sehari dia mampu menjual satu sampai dua unit sepeda bekas kepada konsumen.
“Pembeli berasal dari wilayah Kota Banyuwangi dan sekitarnya,” ujarnya. Dikatakan, meski mayoritas konsumen membeli sepeda bekas untuk keperluan transportasi sehari-hari, tidak sedikit pula konsumen yang membeli sepeda bekas sekadar untuk keperluan berolahraga.
Menariknya, pelanggan Ismanto ternyata tidak hanya berasal dari Kota Banyuwangi dan sekitarnya. Sebaliknya, tidak jarang dia melayani pembeli asal luar pulau, tepatnya konsumen asal kepulauan Madura. “Saya punya beberapa pelanggan asal Kepulauan Madura. Sekali beli mereka (pembeli asal kepulauan) bisa sampai tiga sampai lima sepeda. Mungkin untuk dijual lagi di daerah asalnya,” kata dia.
Sepeda-sepeda bekas dagangan Ismanto itu dipatok dengan harga bervariasi, mulai ratusan ribu rupiah hingga Rp 1 juta per unit. Bukan sepeda jenis baru, sepeda bekas yang dia pasarkan dengan harga jutaan rupiah itu justru sepeda unto.
“Semakin tua dan semakin baik kondisi sepeda unto tersebut, harganya semakin mahal,” cetusnya. Hanya saja, Ismanto harus lebih sabar menunggu sepeda unto tersebut terjual. Jika sepeda jenis lain maksimal sudah terjual dalam waktu dua pekan, sepeda unto biasanya baru terjual sebulan lebih.
“Karena peminatnya terbatas, harganya lebih mahal dibanding sepeda pancal jenis lain yang saya jual,” akunya. Ismanto sengaja membiarkan kondisi sepeda bekas tersebut apa adanya. Dia tidak menempelkan stiker atau mengecat ulang agar sepeda bekas tersebut tampak lebih menarik. Dia hanya memperbaiki rem, sadel, jeruji, atau pelek, sepeda bekas itu sebelum dijual kepada konsumen.
“Kalau ditempel-tempel stiker, konsumen malah kurang yakin. Mereka mengira ada bagian tertentu yang rusak. Kalau dibiarkan seperti ini, konsumen tahu kondisi sepeda yang sebenarnya. Tidak ragu,” cetusnya. Masih menurut Ismanto, dalam setiap unit sepeda yang terjual biasanya dia hanya mendapat untung Rp 25 ribu sampai Rp 50 ribu.
“Namun, kalau pembelian dilakukan dengan metode tukar- tambah hasilnya bisa lebih besar. Karena selain dapat untung dari sepeda yang terjual, saya dapat barang untuk dijual lagi,” tuturnya. Sementara itu, salah satu pelanggan, yakni Sugeng, mengaku kerap melakukan jual-beli sepeda bekas dengan Ismanto.
Biasanya dia membeli sepeda dari seseorang lantas menjualnya kepada Ismanto. “Saya juga membeli sepeda untuk dipakai sendiri atau untuk cucu saya. Kalau beli sepeda baru mahal,” pungkasnya. (radar)