RadarBanyuwangi.id – Kecelakaan tragis yang melibatkan Kereta Api Malioboro Ekspres dan tujuh sepeda motor di perlintasan sebidang Magetan menewaskan empat orang dan melukai tiga lainnya.
Peristiwa memilukan ini kembali membuka diskusi publik mengenai sistem keamanan perlintasan kereta api di Indonesia, khususnya terkait penggunaan palang pintu manual.
Baca Juga: Bahaya Arc Eye! Akibat Mengelas Tanpa Kacamata Las
Hingga saat ini, banyak perlintasan kereta api di Indonesia masih mengandalkan palang pintu manual dengan penjaga sebagai sistem pengaman utama.
Penggunaan sistem manual bukan tanpa alasan. Keterbatasan anggaran baik di tingkat pusat maupun daerah menjadi salah satu faktor utama.
Pemasangan sistem palang otomatis membutuhkan dana besar, termasuk untuk infrastruktur listrik, sensor, dan teknologi pendukung lainnya.
Sementara itu, jumlah perlintasan sebidang yang mencapai ribuan titik di seluruh Indonesia membuat pemerintah perlu mengambil pendekatan bertahap.
Oleh karena itu, daerah sering memilih opsi manual yang lebih terjangkau agar lebih banyak lokasi bisa diamankan, meski dengan risiko operasional yang lebih tinggi.
Tak jarang, pembangunan palang pintu dan gaji penjaga dibiayai melalui APBD, dana desa, bahkan swadaya masyarakat.
Baca Juga: Fakta Mengejutkan di Balik Kecelakaan Perlintasan Magetan, Petugas Mengaku Tak Tahu Kereta Api Malioboro Ekspres Akan Melintas
Kecelakaan Magetan: Dampak Nyata Keterbatasan Sistem
Insiden di Magetan menunjukkan kerapuhan sistem manual dalam menjamin keselamatan pengguna jalan.
Berdasarkan pernyataan resmi Kapolres Magetan, AKBP Raden Erik Bangun Prakasa, kecelakaan terjadi akibat dibukanya palang pintu oleh petugas penjaga, meskipun masih ada kereta yang akan melintas dari arah berlawanan.
Kelalaian seperti ini sulit dihindari ketika bergantung pada sistem manual. Minimnya pelatihan, kelelahan petugas, dan keterbatasan komunikasi antarkereta bisa menjadi celah yang berbahaya.
Perlunya Evaluasi dan Modernisasi
Meskipun pemanfaatan teknologi membutuhkan biaya besar, kejadian seperti di Magetan memperlihatkan bahwa risiko dari sistem manual bisa sangat mahal, baik dari segi nyawa manusia maupun kerugian materi.
Page 2
Page 3
RadarBanyuwangi.id – Kecelakaan tragis yang melibatkan Kereta Api Malioboro Ekspres dan tujuh sepeda motor di perlintasan sebidang Magetan menewaskan empat orang dan melukai tiga lainnya.
Peristiwa memilukan ini kembali membuka diskusi publik mengenai sistem keamanan perlintasan kereta api di Indonesia, khususnya terkait penggunaan palang pintu manual.
Baca Juga: Bahaya Arc Eye! Akibat Mengelas Tanpa Kacamata Las
Hingga saat ini, banyak perlintasan kereta api di Indonesia masih mengandalkan palang pintu manual dengan penjaga sebagai sistem pengaman utama.
Penggunaan sistem manual bukan tanpa alasan. Keterbatasan anggaran baik di tingkat pusat maupun daerah menjadi salah satu faktor utama.
Pemasangan sistem palang otomatis membutuhkan dana besar, termasuk untuk infrastruktur listrik, sensor, dan teknologi pendukung lainnya.
Sementara itu, jumlah perlintasan sebidang yang mencapai ribuan titik di seluruh Indonesia membuat pemerintah perlu mengambil pendekatan bertahap.
Oleh karena itu, daerah sering memilih opsi manual yang lebih terjangkau agar lebih banyak lokasi bisa diamankan, meski dengan risiko operasional yang lebih tinggi.
Tak jarang, pembangunan palang pintu dan gaji penjaga dibiayai melalui APBD, dana desa, bahkan swadaya masyarakat.
Baca Juga: Fakta Mengejutkan di Balik Kecelakaan Perlintasan Magetan, Petugas Mengaku Tak Tahu Kereta Api Malioboro Ekspres Akan Melintas
Kecelakaan Magetan: Dampak Nyata Keterbatasan Sistem
Insiden di Magetan menunjukkan kerapuhan sistem manual dalam menjamin keselamatan pengguna jalan.
Berdasarkan pernyataan resmi Kapolres Magetan, AKBP Raden Erik Bangun Prakasa, kecelakaan terjadi akibat dibukanya palang pintu oleh petugas penjaga, meskipun masih ada kereta yang akan melintas dari arah berlawanan.
Kelalaian seperti ini sulit dihindari ketika bergantung pada sistem manual. Minimnya pelatihan, kelelahan petugas, dan keterbatasan komunikasi antarkereta bisa menjadi celah yang berbahaya.
Perlunya Evaluasi dan Modernisasi
Meskipun pemanfaatan teknologi membutuhkan biaya besar, kejadian seperti di Magetan memperlihatkan bahwa risiko dari sistem manual bisa sangat mahal, baik dari segi nyawa manusia maupun kerugian materi.