Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Aliran Air Cukup Deras, Warga Bikin Wisata Arung Jeram

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

kepala-dusun-srampon-khomaidi-membersihkan-dedaunan-kering-di-sekitar-air-terjun-kedung-lumbung-dusun-srampon-desa-segobang-kecamatan-licin

BAGI orang yang pernah mendaki puncak Ijen tanpa bantuan troli, mungkin perjalanan menuju lokasi air terjun kali ini boleh dikatan sama capeknya. Nama air terjun yang dikunjungi Jawa Pos Radar Banyuwangi  kali ini adalah air terjung Cenggilik  dan air terjun Kedung Lumbung.

Lokasi air terjun ini tepat berada di  tengah tebing yang memisahkan dua  dusun yang berada di Desa Segobang. Gampangnya, sebelum menuju lokasi air terjun ini ikutilah penunjuk panah  yang mengarah ke Ijen Cliff Resto. Begitu sampai di sebuah jalan yang kanan-kirinya areal persawahan, langsung saja bertanya kepada warga yang ada.

Atau minta diantarkan ke lokasi air terjung Cenggilik dan air terjun Kedung Lumbung. Saya sendiri bisa sampai ke lokasi itu berkat bantuan Kepala Dusun Srampon, Khomaidi  yang bersedia mengantarkan ke lokasi air  terjun yang sempat digunakan warga sebagai  wisata arung jeram.

Tak ada jalur lain selain melewati areal persawahan sebelum bisa tiba di lokasi air terjun. Setelah berjalan sekitar lima menit, kami harus melewati perengan (tanah miring) yang nyaris  tanpa petunjuk. Tingkat kemiringannya boleh  dibilang cukup ekstrim dan hampir melebihi 45 derajat.

Kami berdua pun harus berpegangan ke beberapa pepohonan yang kebetulan berdiri di sekitar jalur. Setelah berjalan turun sekitar lima puluh  meter, ada sebuah jalan buatan dari tebing  batu yang dibor. Kami harus berjalan miring  karena lebar jalan hanya sebesar dua telapak  tangan orang dewasa.

Jalanan pun kembali hilang setelah melewati tebing tersebut, terlihat sekali jika jalanan yang kita lalui ini sudah lama sekali tidak dilewati manusia. Barulah setelah turun sejauh kurang lebih tiga puluh meter, ada susunan tangga bambu yang dipasang berhimpitan sampi ke bibir air terjun.

Khomaidi menuturkan, jalan tersebut dibuat oleh warga sekitar. Tujuannya untuk memudahkan akses wisatawan yang ingin melihat air terjun. “Sayangnya banyak yang sibuk. Mereka juga harus mencari nafkah  untuk keluarganya. Jadi kalau senggang saja mereka membuat jalanan seperti ini. Makannya  jalannya jadinya setengah setengah,” ujar pria yang sehari-harinya sebagai petani itu.

Begitu sampai di air terjun, yang terlihat  adalah sebuah tempat yang tampak belum pernah dijamah manusia. Tidak ada sampah sama sekali. Air terjun setinggi 8 meter ini mengucurkan air yang cukup deras. Khomaini mengatakan, di lokasi ini lah masyarakat sekitar  mencoba peruntungan dengan mengembangkan  wisata arung jeram.

Berbekal dengan ban-ban dalam bekas  berukuran besar dan sebuah perahu karet  pinjaman dari Badan Usaha Milik Desa (BUMDdes), orang-orang Dusun Srampon  dan para pemuda setempat kemudian membuat  trip singkat yang kemudian menyuguhkan  wisata arung jeram.

Para wisatawan biasanya  akan naik dari air terjun Cenggilik yang berada di atas air terjun Kedung lumbung.  Jarak kedua air terjun itu sendiri sekitar 100  meter. Selanjutnya perahu karet atau karet  ban yang sudah berisi wisatawan akan meluncur  dengan kencang mengikuti aliran air. Dan di air terjun Kedung Lumbung ini lah biasanya mereka akan terlempar dari tunggangannya  karena terbawa arus air.

“Di sini ini titik ekstrimnya. Dan pasti mereka akan terlempar   ke bawah mendahului perahunya. Tapi untungnya di bawah air terjun ini cukup dalam dan luas, jadi tidak usah takut kena batu,”  terang pria yang masih lajang itu. Jalur sungai yang dilewati oleh wisatawan arung  jeram, menurut pria yang baru menjabat Kadus  selama tiga tahun, itu selanjutnya terus mengalir   sepanjang 2,5 kilometer dari titik air terjun.

Jalurnya pun lumayan berliku. Wisatawan bisa  merasakan terombang-ambing dengan air yang  melewati bebatuan berukuran cukup besar. Di titik akhir wisatawan bisa pulang melalui jalanan   yang tidak securam awal perjalanan. “Kita mampunya masih membuat sepanjang 2,5 kilometer itu. Warga memindahkan batu  dengan cara manual. Mereka bergantian menggunakan linggis supaya sungainya  bisa dilewati perahu dan ban karet,” jelasnya.

Setelah menunjukkan lokasi air terjun Kedung Lumbung, Khomaidi kembali mengajak saya  untuk menuju air terjun Cenggilik yang ada di atas Kedung Lumbung. Sayangnya, jalanan  yang cukup sulit dan curam itu membuat   energi saya terkuras habis. Jadi saya memilih  melihat air terjung Cenggilik dari atas tebing.

Lokasinya cukup bagus, air terjunnya lebih indah dari Kedung Lumbung. Dengan tinggi air terjun  sekitar 10 meter. Di sekelilingnya tumbuh pepohonan  durian yang cukup lebat. Kata Khomaidi, wisatawan bisa mendapatkan durian-durian itu dengan  harga murah jika musimnya tiba.

Warga berencana ingin membuat bidak-bidak kecil di sekitar air terjun agar wisatawan bisa menikmati durian sambil melihat air  terjun. “Inginnya yang pertama jalan diperbaiki.  Dikasih pegangan jadi orang tidak takut jatuh. Perlu juga dibangun tempat istirahat juga  supaya mereka bisa istirahat. Tapi memang  kembali lagi masalah biaya” ujar anak kedua  dari empat bersaudara itu.

Setelah puas melihat air terjun dari atas,  saya pun mengajak Khomaidi untuk pulang. Di jalan dia mengatakan jika warga sebenarnya senang dengan adanya program wisata yang  dikembangkan untuk rakyat. “Banyak yang  senang jika nanti lokasi itu ramai. Orang yang  punya sawah di sana saja mau menghibahkan  tanahnya untuk jalan. Padahal dulu warga  tidak ada yang berani main di sana. Konon ada makhluk bernama Sri Ngangong yang  tinggal di sana. Bentuknya seperti Oleng (sidat) tapi besar,” kisahnya. (radar)