Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Andai saja RAL Tidak Nyalon Lagi

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

KABAR penahanan mantan bupati Banyuwangi Ratna Ani Lestari (RAL) oleh penyidik Kejagung sungguh mengejutkan warga Bumi Blambangan. Publik pantas kaget lantaran isu penahanan mantan orang kuat di bumi berjuluk Sunrise of Javaitu sempat beredar satu bulan sebelumnya.

Kala itu beredar SMS (short message service) dan messagedi situs jejaring sosial Facebook yang menanyakan kebenaran penahanan istri Prof. dr. Gede Winasa, mantan bupati Jembrana tersebut. Mulai LSM, politisi, pejabat, penga-cara, hingga tukang becak, larut dalam ramainya isu penahanan bupati perempuan pertama di Banyuwangi tersebut.

Kabar penahanan RAL juga berembus sampai jeruji besi Lapas Banyuwangi. Beberapa terpidana kasus lapter yang menghuni lapas sempat menanyakan kebenaran kabar tersebut. Sampai-sampai saya kewalahan menjawab. Ada yang bertanya apa benar RAL ditahan di Rutan Medaeng. Ada juga yang bertanya, apakah RAL sudah menyusul rekan-rekannya yang terjerat kasus lapter.

Isu penahanan itu jadi kenyataan Selasa sore kemarin (3/7). Sejumlah media online lebih dulu mengupdate penahanan RAL oleh Kejagung. Seorang teman yang juga punya hubungan dekat dengan RAL langsung kirim kabar lewat BBM. Isinya seperti ini: “Ada berita apa dari tetangga sebelah (Bali, Red)?,” tanya teman tersebut. Saya jawab: “Nggakada, Mas”.

Teman tersebut langsung memberi kabar bahwa RAL sudah ditahan. Di akhir pesan BBM-nya itu, rekan tadi beru cap: “Semoga beliau (RAL, Red) diberi ketabahan dan ke sabaran”. RAL kini menghuni tahanan wanita Pondok Bambu, Jakarta. Bupati Banyuwangi periode 2005-2010 itu dianggap telah merugikan negara Rp 19 miliar terkait kasus pengadaan lahan lapangan terbang Blimbingsari.

Dalam kasus pengadaan lahan lapter tersebut, RAL diduga dengan sengaja tak melibatkan tim penaksir harga saat membeli lahan seperti diatur Pasal 15 Perpres No. 65 Tahun 2006. Seharusnya, sesuai Pasal 15 Per pres 65 Tahun 2006, untuk menentukan harga tanah itu harus membentuk tim penaksir harga. Regulasi itu tidak dipenuhi RAL.

Gara-gara tim penaksir tidak dibentuk, harga pengadaan lahan di patok seenaknya. Harganya melambung tinggi melebihi batas kewajaran. Di sinilah unsur korupsi kasus lapter itu muncul. Seiring berjalannya waktu, pe lanpelan kasus tersebut bergulir ke ranah hukum. Sembilan orang jadi “tumbal” lapter.

Mantan bupati Banyuwangi, Samsul Hadi, adalah yang pertama masuk bui, lalu disusul RAL. Bedanya, Kang Samsul tinggal di Lapas Banyuwangi, sedangkan RAL menghuni tahanan wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur. Sejak awal, kasus lapter memang menjadi atensi Kejagung.

Sampai-sampai untuk mengusut kasus itu, Kejagung membentuk tim khusus pimpinan Mohamad Anwar dan diterjunkan ke Banyuwangi. Hasilnya sungguh men cengangkan. Dalam tempo singkat, sembilan orang langsung ditetapkan se bagai tersangka. RAL pun masuk penanganan perkara gelombang tiga.

Cukup lama RAL ditetapkan sebagai tersangka, tapi “eksekusi” penahanannya terkesan lamban. Kelambanan itu sempat memicu kemarahan masyarakat Banyuwangi. Berkali-kali massa berunjuk rasa ke kantor Kejaksaan Negeri Banyuwangi. Mereka mendesak RAL segera di tahan. Sayang, desakan itu tidak mempan.

RAL pun tak kunjung ditahan. Hingga akhirnya, RAL memberanikan diri maju sebagai calon Bupati Banyuwangi yang berpasangan dengan Pebdi Arisdiawan. Saat itu, tekanan publik terhadap RAL semakin gencar. Pasangan RAL-Pebdi akhirnya kandas di tengah jalan sebelum bertarung dalam pilkada sesungguhnya.

Ganjalannya adalah KPU tidak “merestui” pasangan tersebut. Kegagalan RAL maju sebagai bupati itu justru disyukuri aktivis antikorupsi. Sejumlah aktivis LSM langsung menyembelih 25 ekor kambing. Setelah tidak menjabat sebagai bupati Banyuwangi, RAL seolah hilang ditelan bumi. Keberadaannya sulit terlacak media. Sejak saat itu, RAL tak lagi tinggal di rumah pribadinya di Jalan Serayu, Banyuwangi.

Ada yang mengabarkan RAL menetap di Malang. Ada pula yang bilang bahwa dia tinggal di Jembrana bersama suaminya, Gede Winasa. RAL memang sempat bikin “penasaran” publik Banyuwangi. Bupati perempuan yang dikenal dengan program pendidikan gratis itu seolah sudah lepas dari Banyuwangi. Namun, seiring “hilangnya” RAL, tiba-tiba publik dikejutkan dengan kembalinya sosok sang mantan bupati itu.

Dua bulan lalu, RAL sempat bikin publik terperangah. Namanya menghiasi pemberitaan di Radar Jember dan rubrik Baljebol di Radar Banyuwangi. De gan penuh percaya diri, dia ikut bertarung dalam bursa pencalonan bupati Bondowoso untuk periode mendatang. RAL pun menjadi perbincangan hangat warga Bondowoso.

Lawan politiknya menganggap RAL adalah sosok calon bupati yang patut diperhitungkan ke kuatannya. Apalagi, ketika bertarung dalam pilkada di Banyuwangi periode 2005-2010, RAL yang kala itu berpasangan dengan Yusuf Nur Iskandar dinyatakan menang mutlak. Berdasar kaca mata politik, RAL di Bondowoso adalah lawan berat bagi para pesaingnya.

Berbagai cara pun ditempuh untuk “mengganjal” RAL agar tidak bisa maju sebagai cabup Bondowoso. Puncaknya Senin kemarin (2/7), penyidik Kejagung akhirnya menahan RAL sebagai tersangka kasus pengadaan lahan lapter. Andai saja RAL tidak buru-buru macung sebagai bupati lagi, kasusnya tidak bakal “diusik” oleh lawan-lawan politiknya.

RAL semestinya lebih konsentrasi di bidang barunya, yakni sebagai tenaga pengajar di sebuah perguruan tinggi. Penahanan RAL setidaknya menjadi cermin bagi para pejabat di Banyuwangi. Lihat saja, dua mantan bupati yang pernah memimpin Banyuwangi berakhir di balik jeruji besi, yakni Samsul Hadi dan RAL.

Biar fenomena tersebut tidak menular kepada pejabat sekarang, semua harus berkaca dan introspeksi dari kasus RAL. Kami pun sependapat dengan pernyataan mantan ke tua DPRD Banyuwangi, H. Achmad Wahyudi. Dalam SMS yang dikirim kepada saya, Wahyudi yang juga pengacara itu mengingatkan pemimpin Banyuwagi agar tidak menebar permusuhan.

Pemimpin harus bisa menjalin persaudaraan alias seduluran. Pemimpin seperti ini akan semakin dicintai rakyat. Pesan kedua, pemimpin jangan suka menumpuk harta hanya untuk kepentingan pribadi. Kalau itu yang terjadi, suatu saat tipe pemimpin seperti itu akan masuk perangkap hukum yang akhirnya mendekam di pen jara.

Pesan terakhir, pemilih (konstituen) jangan terjebak dalam hingar-bingar calon pemimpin yang menonjolkan uang ketika maju sebagai bupati. Sebab, pemimpin seperti itu akan mencari “ganti” sebagai konsekuensi biaya bertarung dalam pilkada. Semoga pejabat kita tidak masuk da lam kategori seperti yang di sampaikan Wahyudi tersebut. ([email protected] @radar)