PADA 4 Juni 2023, Detasemen Khusus (Densus) Antiteror Polri menangkap seorang terduga teroris di Tulungagung, Jawa Timur. Saat ditangkap, terduga teroris itu membawa serta buku-buku bertema jihad. Buku-buku itu turut diamankan (Kompas.com, 5/6/2023).
Kompas.id memberitakan bahwa pada 24 Mei 2023 bahwa Densus juga menggeledah rumah terduga teroris di Surabaya, Jawa Timur. Dalam penggeledahan itu aparat menyita kardus berisi buku dan dokumen (Kompas.id, 24/5/2023).
Bukan kali ini saja buku disita aparat keamanan untuk dijadikan alat bukti keterorisan seseorang. Dalam satu dekade terakhir, setiap kali ada penangkapan terduga teroris dan penggeledahan, buku hampir selalu menjadi salah satu dokumen yang disita. Bahkan pernah pula aparat secara serampangan menjadikan Al Quran sebagai barang bukti, yang kemudian diprotes keras.
Baca juga: Serangan Siber BSI dan Rekonseptualisasi Tindak Pidana Terorisme
Apa hubungan buku atau bahan bacaan lainnya dengan pikiran, paham atau ideologi? Apakah suatu pengetahuan dapat membuat seseorang menjadi teroris? Layakkah buku dijadikan sebagai barang bukti sebuah kejahatan? Apa yang ingin dibuktikan oleh aparat keamanan dengan keberadaan buku bacaan tertentu di rumah terduga teroris?
Buku dan Kejahatan
Buku telah lama menjadi sarana untuk menyebarluaskan ilmu dan pengetahuan. Tujuannya supaya ilmu dan pengetahuan terus berkembang, dan peradaban manusia kian maju. Semua bangsa maju di mana saja berlomba-lomba memproduksi buku.
Adakah penjahat yang rajin, atau paling tidak suka membaca buku? Pernahkah aparat penegak hukum menyita buku dari rumah para koruptor, pencuri atau pembunuh berantai?
Inilah pertanyaan saya sejak beberapa tahun lalu, ketika muncul berita yang menyebut polisi menyita sejumlah buku di rumah seorang terduga teroris. Jawabannya jelas, tidak ada penjahat yang suka membaca buku apalagi rajin membaca buku.
Pembaca yang baik tidak akan pernah melakukan kejahatan. Tidak pernah pula aparat menyita buku dari rumah para koruptor, pencuri atau pembunuh berantai sebagai barang bukti. Tak ada satu pun buku yang mendorong seseorang untuk melakukan korupsi, mencuri atau membunuh. Toh pada kenyataannya korupsi tumbuh subur di Republik Indonesia, demikian juga tingkat kejahatan pencurian dan pembunuhan.
Bila kejahatan terus tumbuh, walau tidak ada buku yang mengajarkannya, maka hal itu menunjukkan bahwa antara buku atau bacaan tertentu tidak ada hubungannya dengan suatu kejahatan, termasuk kejahatan terorisme.
Lantas kenapa selalu ada buku yang menjadi barang bukti di penangkapan terduga teroris? Jawaban yang paling mungkin hanya satu, yaitu aparat ingin menyatakan bahwa sang terduga teroris telah terpapar ideologi atau paham tertentu melalui bacaan yang dibuktikan dengan adanya sejumlah buku tentang paham atau ideologi terserbut.