Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia
Sosial  

Dianggap Tetenger, Berharap Jadi Cagar Budaya

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

SEKILAS tidak ada yang spesial dengan pohon suko yang berdiri tak jauh dari aliran Sungai Kali Lo yang berada di pinggir Jalan dr. Soetomo tersebut. Kanan-kiri pohon yang dianggap pohon suci oleh umat Hindu itu sudah dipenuhi tanah  uruk dan barang bekas, sehingga  penampilan pohon itu tampak  kumuh.

Akan tetapi, ternyata ada sesuatu  yang tersimpan di pohon yang  memiliki bunga berwarna oranye itu. Pohon suko atau soka alias asoka itu dianggap sebagai pohon bersejarah yang telah hidup sejak zaman Kerajaan Blambangan, tepatnya abad ke-13.

Hal itulah yang membuat beberapa orang yang menjadi keturunan pemilik pohon itu mempertahankan keberadaan pohon tersebut. Titis Malakin, salah satunya. Wanita yang mengaku sebagai generasi ke delapan dari Raden Mas Patih Singo Gringsing itu mengatakan bahwa pertengahan  Januari lalu ada orang-orang yang berniat memotong pohon  suko itu.

Mereka mengaku orang  suruhan pemilik lahan dan diperintahkan memotong pohon itu. Orang itu menemui ayah Titis,  yaitu Ki Slamet Prawoto, untuk meminta restu agar pemotongan berjalan lancar. “Saya kaget tiba-tiba ada yang meminta izin ke Bapak untuk memotong pohon kembang suko. Bapak juga tidak mau. Setelah itu, saya dan adik saya datang ke Dinas Pariwisata  meminta ditinjau apakah pohon itu layak dijaga sebagai cagar budaya,” ujar Titis.

Sebelum membahas perkembangan masalah pohon suko, Titis menceritakan asal-muasal pohon itu tumbuh. Dulu kakek buyutnya, Raden Mas Patih Singo Gringsing, yang merupakan salah satu panglima perang di era Kerajaan Blambangan yang menemukan pohon tersebut.

Area sekitar pohon itu dijadikan lokasi oleh Patih Singo Gringsing untuk  berkumpul bersama pasukannya  saat merundingkan cara menahan serangan Majapahit. Seiring berjalannya waktu, pohon itu terus digunakan nenek moyangnya untuk berkumpul dari generasi ke generasi.

Bahkan, menurutnya, setiap generasi selalu mewariskan kepada generasi di bawahnya agar menjaga  pohon tersebut. “Kata leluhur pohon ini digunakan untuk tempat paseban. Tempat berkumpul supaya keluarga tidak bercerai-berai. Kita disuruh beraktivitas di dekat sini. Saya dari kecil juga selalu bermain di sini. Makannya kita pertahankan. Kemarin untung ada Pak Noval yang ikut menahan supaya pohon ini tidak dipotong,” kisah Titis.

Adik kandung Titis, Moh. Maskur, menambahkan pada  tahun 70-an terjadi sertifikasi  tanah masal di Lingkungan Karang Baru, Kelurahan Panderejo. Seluruh tanah keluarga di sekeliling pohon itu pun langsung disertifikatkan, kecuali tanah di  sekeliling pohon suko tersebut. Sebab, saat itu keluarga menganggap tanah di sekitar pohon itu milik semua anggota keluarga.

“Makannya kita terkejut waktu ada orang yang minta izin memotong pohon. Karena dari awal memang tidak disertifikatkan, jadi kita bingung yang jual siapa. Dulu sudah banyak orang yang mau  mencoba menebang, tapi baru satu dahannya patah orang nya sudah meninggal, makannya tidak  ada yang berani,” kata Maskur.

Ber bekal pengetahuannya tentang usia pohon suko itu dan  keterangan orang tuanya, tanah  di sekitar pohon itu tidak disertifikatkan. Maskur bersama kakaknya, Titis, akhirnya melaporkan keberadaan pohon itu ke  Disbudpar Banyuwangi. Harapannya, pohon tersebut dianggap sebagai pohon bersejarah sehingga tidak dipotong  dan dibiarkan hidup sedemikian  rupa.

“Kita keluarga tidak mau memiliki tanahnya. Itu jauh dari harapan kami, tapi kita minta supaya pohonnya dipertahankan dan dilestarikan. Kita siap mediasi dengan orang yang mengaku pemilik tanah,’’ ungkapnya. Keluarga besar Maskur yang  masuk dalam Paguyuban Kembang Suko Singo Gringsing juga  memiliki harapan yang sama agar pohon besar itu dibiarkan hidup.

Ki Slamet Prawoto, keturunan ke tujuh RM. Patih Singo Gringsing, yang ikut hadir saat Jawa Pos Radar Banyuwangi mengunjungi pohon  yang diklaim berusia ratusan tahun itu, mengatakan dulu pohon itu  selalu digunakan warga sebagai  pusat aktivitas.

Seperti selamatan atau kegiatan  rembug antarwarga. Di bawah pohon itu dulu ada sebuah batu seukuran bedug yang dililit akar pohon yang biasanya digunakan tempat duduk oleh warga. Batu  itu kini diamankan oleh salah seorang anggota keluarga agar  tidak rusak.

“Nanti kalau pohon ini sudah diambilalih pemerintah,  baru batunya saya letakkan ke sini  lagi. Pohon ini kan bisa dimanfaatkan sebagai lokasi bersejarah,” kata pria 80 tahun itu. Kabid Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi, Choliqul Ridha, mengatakan pohon itu sudah diperiksa dan ada kemungkinan masuk dalam kategori tetenger, yaitu  sebuah pertanda yang biasanya  dibuat oleh orang zaman Kerajaan  Blambangan sebagai penunjuk sebuah wilayah.

“Ada beberapa tanda pendukung, seperti bambu  kuning berusia tua dan batu seukuran bedug yang menunjukkan bahwa pohon itu tetenger,’’ kata Ridha.  Melihat posisi pohon yang tak  jauh dari kompleks-kompleks bersejarah, seperti Inggrisan, Kantor Pos, dan taman kota, Ridha memperkirakan pohon itu dulu memang bukan pohon sembarangan.

Oleh karena itu, Disbudpar Banyuwangi akan berusaha menjaga pohon itu dan kemungkinan mempertahankannya dengan membangun Ruang Terbuka Hijau (RTH) di sekeliling pohon itu. “Pohon seperti ini layak dilindungi. Sebagai perbandingan seperti pohon beringin di Kraton Jogjakarta. Kedua pohon itu juga dijaga karena dianggap bersejarah dan bagian dari cagar budaya,” pungkasnya. (radar)