BANYUWANGI – Kasus penyiksaan Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Banyuwangi yang menjadi Asisten Rumah Tangga (ART) di Malaysia, menyita perhatian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat.
Dari persoalan tersebut, DPRD Banyuwangi melalui Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) menggelar rapat kerja internal. Agenda kali ini membahas isu-isu strategis dan penting khususnya terkait dengan adanya kejadian kasus penyiksaan PMI dimaksud.
“Tak ingin kejadian berulang, sehingga perlu adanya percepatan perubahan regulasi tertinggi daerah yang mengatur perlindungan tenaga kerja Indonesia di Kabupaten Banyuwangi,” kata Ketua Bapemperda, Sofiandi Susiadi, Rabu (10/5/2023).
Politisi Partai Golkar ini mengatakan, pihaknya berencana mempercepat pembahasan Raperda tentang perubahan Perda Nomor 15 Tahun 2017 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang telah tercantum dalam Program pembentukan peraturan daerah (Propemperda) Tahun 2023.
“Seluruh anggota Bapemperda mutlak sepakat raperda perubahan Perda tentang perlindungan TKI dipercepat pembahasannya, targetnya di triwulan ketiga ini segera diparipurnakan bersamaan dengan Raperda produk unggulan desa,” ucap Sofiandi.
Pemuda asal Kecamatan Cluring ini menjelaskan, sebelum diajukan untuk di bahas, raperda perubahan Perda tentang perlindungan TKI ini akan dikonsultasikan Biro Hukum Pemprov Jatim dan Kementerian Hukum dan HAM Kanwil Jawa Timur untuk mendapatkan penguatan baik dari sisi substansi materi maupun tahapan-tahapan penyusunan raperda dimaksud.
“Sebelum diajukan untuk dibahas, perubahan Perda tentang perlindungan TKI ini akan kita konsultasikan dulu untuk mendapatkan penguatan baik dari sisi substansi materi maupun tahapannya,” jelasnya.
Menurut Sofiandi, Perda Nomor 15 Tahun 2017 sudah expired atau kadaluarsa sehingga butuh penyesuaian konsiderasi menggunakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 dan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang perlindungan pekerja migran Indonesia.
“Perda tentang perlindungan TKI yang kita miliki saat ini sudah expired, harus ada penyesuaian konsiderasi terkait dengan UU No. 18 Tahun 2017 dan PP terbaru yang mengatur tentang perlindungan PMI,” ucapnya.
Salah satu contohnya, nomenklatur yang dipakai saat ini sesuai UU 18/2017 yang merupakan perubahan dari UU 39 tahun 2004, tidak lagi sebutan TKI atau buruh, melainkan Pekerja Migran Indonesia atau PMI. Karena kaitannya dengan harkat dan martabat manusia.
“Penyebutan tidak hanya sekedar penyebutan namun mengandung makna filosofis dan lain sebagainya,” tagas Ketua AMPI Banyuwangi ini.
Disisi lain pandangan, masukan anggota Bapemperda meminta adanya penguatan sosialisasi terkait peran hadirnya pemerintah di masyarakat baik level desa hingga pemerintah pusat. Banyuwangi sebagai kantong PMI perlu adanya regulasi daerah yang bisa memberikan proteksi terhadap PMI.
“PMI ilegal ini yang perlu kita konsentrasikan karena sering terjadi persoalan sehingga perlu adanya klausul atau pasal yang mengatur, pemerintah daerah harus memproteksi dan hadir penuh, jangan sampai Banyuwangi dijuluki kabupaten kantong PMI ilegal,” tegasnya lagi.
Sofiandi menambahkan, karena raperda ini merupakan mandatory dan sifatnya perubahan Perda maka tidak membutuhkan adanya Naskah Akademik namun Bapemperda akan tetap menyiapkan.
“Adanya Naskah Akademik itu tidak kewajiban, tetapi jauh lebih baik kita siapkan, yang wajib itu sebenarnya Harmonisasi,” paparnya.
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : Muhammad Nurul Yaqin |
Editor | : Satria Galih Saputra |