SEMPU, Jawa Pos Radar Genteng – Sejarah kelam eks Lokalisasi Klopoan di Dusun Klontang, Desa Gendoh, Kecamatan Sempu, kini nyaris sudah pudar. Di lokasi yang dahulu menjadi tempat praktik prostitusi itu kini berdiri musala dan Pondok Pesantren Darul Quran Waddakwah.
Setelah lokalisasi itu ditutup pada 2014 oleh bupati yang saat itu dijabat Abdullah Azwar Anas, warga iuran membangun Musala Baitul Muhajirin. Orang yang ketiban sampur untuk mengurus musala ini adalah H Imamuddin. “Pada 2015, saat masjid ini resmi berdiri, saya yang diminta untuk mengurus,” terang H Imamuddin.
Tidak hanya mengurus musala, Imam juga menetap di tengah kampung eks lokalisasi tersebut dan membeli salah satu rumah. Rumah yang lokasinya di depan Musala Baitul Muhajirin, dahulu milik seorang mucikari. “Saat saya dibawa ke sini (musala) pertama kali, saya langsung lihat rumah ini,” ucap Kepala SMP Bustanul Makmur (Buma) Genteng itu.
Baca Juga: Selip di Dekat Eks Lokalisasi Padang Bulan Singojuruh, Minibus Tabrak Truk
Menurut Imam, awalnya aroma prostitusi sangat kental di rumah yang memiliki banyak kamar bekas wisma pramuria tersebut. Namun, tekad bulat mendorongnya untuk menerima kepercayaan itu. “Saya yakin, saya mampu secara mental, namun yang saya pikir waktu itu istri dan anak saya,” cetusnya.
Saat akan menetap di rumah barunya itu, dia langsung mencari masukan dari sejumlah pihak, termasuk orang tuanya. Dari proses itu, ia berkeyakinan apa pun yang terjadi anak dan istrinya pasti ikut dengannya. “Istri saya kerasan, selama dengan saya pasti kerasan,” ujarnya.
Setelah pindah ke rumah barunya, Imam menggerakkan aktivitas keagamaan di Musala Baitul Muhajirin. Awalnya, hanya segelintir orang yang mau masuk, namun lambat laun masyarakat, termasuk eks mucikari di lokasi tersebut terbuka dan mau masuk musala. “Pelan-pelan, yang penting saya ajak-ajak kebaikan. Saya ajak zikir, mengaji, dan kegiatan positif lain di masjid,” tandasnya seraya menyebut lokasi pembangunan musala itu dahulu bangunan karaoke.
Sambil mengajak warga ke masjid, Imam mendirikan Yayasan Pondok Pesantren Darul Quran Waddakwah. Saat ini, ada 50 anak lebih yang menuntut ilmu di tempatnya. “Kita sudah ada asramanya, juga ada tempat untuk anak-anak mengaji,” terangnya.
Baca Juga: Siagakan Personel di Eks Lokalisasi Gunung Sampan, Polres Situbondo Pastikan Tak Ada Aktivitas Ini
Nama Baitul Muhajirin yang dibuat nama musala, rupanya tidak tercetus begitu saja. Itu hasil kesepakatan warga yang ingin hijrah. Saat ini, nama Kampung Klopoan yang melekat di daerah itu lebih akrab disebut Kampung Muhajirin. “Artinya kampung orang-orang yang hijrah,” terangnya.
Dua tahun pertama perjuangannya, bagi Imam dianggap masa-masa yang sangat berat. Bagaimana tidak, teror demi teror dia alami dari orang yang tidak diketahui. “Rumah saya waktu itu sering dilempari batu, suaranya sangat jelas di genting rumah,” katanya.
Belum lagi tatapan sinis orang-orang yang belum rela bisnis esek-esek di tempatnya ditutup begitu saja, ditambah keberadaannya sebagai imam musala sekaligus pimpinan pesantren. “Setiap saya mau keluar rumah, harus menyiapkan mental dulu, karena ada beberapa orang yang masih melihat sinis ke saya,” terangnya.
Puncaknya saat rumahnya dibobol maling. Uang simpanannya sekitar puluhan juta rupiah yang rencananya akan dipakai membeli sebidang tanah di dekat musala, ditambah sejumlah hand phone (HP) raib digondol maling. “Rumah saya ini pernah dibobol maling, masuk lewat belakang,” ucapnya.
Dengan banyaknya halangan, Imam mengaku tak pernah sedikit pun menyesali keputusannya, mencoba menyerah, dan ingin meninggalkan tugasnya itu. Justru, ia lebih memperbanyak kegiatan di musala tersebut. “Lambat laun banyak yang belajar mengaji di sini. Malahan muazin dulunya juga ada di bisnis itu,” terangnya.
Sumber: Jawa Pos Radar Banyuwangi
Page 2
Page 3
SEMPU, Jawa Pos Radar Genteng – Sejarah kelam eks Lokalisasi Klopoan di Dusun Klontang, Desa Gendoh, Kecamatan Sempu, kini nyaris sudah pudar. Di lokasi yang dahulu menjadi tempat praktik prostitusi itu kini berdiri musala dan Pondok Pesantren Darul Quran Waddakwah.
Setelah lokalisasi itu ditutup pada 2014 oleh bupati yang saat itu dijabat Abdullah Azwar Anas, warga iuran membangun Musala Baitul Muhajirin. Orang yang ketiban sampur untuk mengurus musala ini adalah H Imamuddin. “Pada 2015, saat masjid ini resmi berdiri, saya yang diminta untuk mengurus,” terang H Imamuddin.
Tidak hanya mengurus musala, Imam juga menetap di tengah kampung eks lokalisasi tersebut dan membeli salah satu rumah. Rumah yang lokasinya di depan Musala Baitul Muhajirin, dahulu milik seorang mucikari. “Saat saya dibawa ke sini (musala) pertama kali, saya langsung lihat rumah ini,” ucap Kepala SMP Bustanul Makmur (Buma) Genteng itu.
Baca Juga: Selip di Dekat Eks Lokalisasi Padang Bulan Singojuruh, Minibus Tabrak Truk
Menurut Imam, awalnya aroma prostitusi sangat kental di rumah yang memiliki banyak kamar bekas wisma pramuria tersebut. Namun, tekad bulat mendorongnya untuk menerima kepercayaan itu. “Saya yakin, saya mampu secara mental, namun yang saya pikir waktu itu istri dan anak saya,” cetusnya.
Saat akan menetap di rumah barunya itu, dia langsung mencari masukan dari sejumlah pihak, termasuk orang tuanya. Dari proses itu, ia berkeyakinan apa pun yang terjadi anak dan istrinya pasti ikut dengannya. “Istri saya kerasan, selama dengan saya pasti kerasan,” ujarnya.
Setelah pindah ke rumah barunya, Imam menggerakkan aktivitas keagamaan di Musala Baitul Muhajirin. Awalnya, hanya segelintir orang yang mau masuk, namun lambat laun masyarakat, termasuk eks mucikari di lokasi tersebut terbuka dan mau masuk musala. “Pelan-pelan, yang penting saya ajak-ajak kebaikan. Saya ajak zikir, mengaji, dan kegiatan positif lain di masjid,” tandasnya seraya menyebut lokasi pembangunan musala itu dahulu bangunan karaoke.
Sambil mengajak warga ke masjid, Imam mendirikan Yayasan Pondok Pesantren Darul Quran Waddakwah. Saat ini, ada 50 anak lebih yang menuntut ilmu di tempatnya. “Kita sudah ada asramanya, juga ada tempat untuk anak-anak mengaji,” terangnya.
Baca Juga: Siagakan Personel di Eks Lokalisasi Gunung Sampan, Polres Situbondo Pastikan Tak Ada Aktivitas Ini
Nama Baitul Muhajirin yang dibuat nama musala, rupanya tidak tercetus begitu saja. Itu hasil kesepakatan warga yang ingin hijrah. Saat ini, nama Kampung Klopoan yang melekat di daerah itu lebih akrab disebut Kampung Muhajirin. “Artinya kampung orang-orang yang hijrah,” terangnya.
Dua tahun pertama perjuangannya, bagi Imam dianggap masa-masa yang sangat berat. Bagaimana tidak, teror demi teror dia alami dari orang yang tidak diketahui. “Rumah saya waktu itu sering dilempari batu, suaranya sangat jelas di genting rumah,” katanya.
Belum lagi tatapan sinis orang-orang yang belum rela bisnis esek-esek di tempatnya ditutup begitu saja, ditambah keberadaannya sebagai imam musala sekaligus pimpinan pesantren. “Setiap saya mau keluar rumah, harus menyiapkan mental dulu, karena ada beberapa orang yang masih melihat sinis ke saya,” terangnya.
Puncaknya saat rumahnya dibobol maling. Uang simpanannya sekitar puluhan juta rupiah yang rencananya akan dipakai membeli sebidang tanah di dekat musala, ditambah sejumlah hand phone (HP) raib digondol maling. “Rumah saya ini pernah dibobol maling, masuk lewat belakang,” ucapnya.
Dengan banyaknya halangan, Imam mengaku tak pernah sedikit pun menyesali keputusannya, mencoba menyerah, dan ingin meninggalkan tugasnya itu. Justru, ia lebih memperbanyak kegiatan di musala tersebut. “Lambat laun banyak yang belajar mengaji di sini. Malahan muazin dulunya juga ada di bisnis itu,” terangnya.
Sumber: Jawa Pos Radar Banyuwangi