Kumpulan Berita Terkini Seputar Banyuwangi
English VersionBahasa Indonesia

Gandrung Kental Ornamen Nuansa Etnik

Daftarkan email Anda untuk Berlangganan berita dikirim langsung ke mailbox Anda

kentalPERHELATAN Festival Paju Gandrung Sewu di kawasan Pantai Boom, Banyuwangi, kemarin (23/11) terasa begitu kental nuansa etnik Bumi Blambangan. Betapa tidak, pertunjukan tari kolosal tersebut mengusung konsep tradisional layaknya masyarakat Banyuwangi mengadakan acara hajatan dengan menanggap kesenian gandrung.

Layaknya pergelaran kesenian gandrung di pentas hajatan warga, sekitar lokasi pertunjukan dipasangi lima unit kiling (kincir angin yang terbuat dari bambu) dan angklung paglak. Kawasan Pantai Boom tersebut juga dipasangi gapura lengkap dengan polo pendem plus tandan pisang yang siap disajikan kepada para tamu. Penanggung jawab perhelatan Paju Gandrung Sewu, drh. Budianto mengatakan, pada pertunjukan tari kolosal kali ini, pihaknya mengusung nuansa etnik Banyuwangi.

“Pertunjukan ini dikonsep layaknya masyarakat Banyuwangi mengadakan upacara hajatan dengan nanggap kesenian gandrung. Hajatan tersebut digelar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan,” ujarnya. Dikatakan, tari kolosal tersebut menampilkan bagian tengah dari pertunjukan gandrung, yakni paju gandrung. Dalam tahap paju gandrung terjadi interaksi antara penari gandrung, para tamu, dan penonton.

Di sini terbangun keakraban dan kebersamaan. Penari gandrung dan tamu menari bersama sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan. Sayang, pada pertunjukan gandrung sesungguhnya, interaksi antara penari gandrung dan penonton sering kali menimbulkan implikasi negatif. Misalnya, ada penonton yang membawa minuman keras saat menari, dan ada yang melakukan tindakan kurang senonoh kepada penari gandrung.

Nah, dalam konteks implikasi negatif paju gandrung tersebut, maka dibutuhkan kepedulian semua pihak untuk menjaga agar kesenian gandrung yang menjadi ikon Banyuwangi itu tidak terkontaminasi hal negatif. Ketika kesenian gandrung dengan nilai yang adi luhung dan tidak melanggar norma kepatutan, generasi muda akan ikut tergerak melestarikan kesenian tersebut. “Dan ini sudah terjadi di Banyuwangi. Parade Paju Gandrung Sewu merupakan bukti generasi muda semakin tergerak melestarikan kesenian gandrung,” pungkasnya.

SEMENTARA itu, parade Paju Gandrung Sewu kemarin benar-benar sukses menyuguhkan tontonan apik bagi para penonton. Puluhan ribu warga asal Banyuwangi, luar daerah, hingga mancanegara, dibuat terkagum-kagum dengan gemulai gerak tari ribuan pasang penari gandrung yang tampil di hamparan pasir Pantai Boom yang memesona tersebut. Bukan itu saja, view Selat Bali yang begitu elok menjadi menjadi daya tarik tersendiri bagi penonton.

Parade Paju Gandrung Sewu kemarin juga menampilkan fragmen yang menceritakan sejarah kesenian gandrung. Awalnya, para penonton disuguhi fragmen penari seblang sebagai cikalbakal penari gandrung. Setelah itu, giliran sembilan pria yang memerankan Gandrung Marsan (Gandrung laki-laki) tampil di arena pertunjukan. Ya, kali pertama muncul, tari gandrung dibawakan oleh penari laki-laki.

Fragmen selanjutnya adalah gambaran sosok Gandrung Semi. Gandrung Semi adalah penari gandrung perempuan pertama yang sekaligus memasyarakatkan tari gandrung dengan cara melakukan pertunjukan gandrung keliling dari satu kampung ke kampung lain. Dalam fragmen tersebut, Gandrung Semi digambarkan menari di atas panggung portable yang digotong oleh beberapa lelaki.

Usai fragmen Gandrung Semi, giliran para penari gandrung profesional memvisualkan fragmen paju gandrung bersama penari laki-laki. Setelah itu, 1.053 pasang penari gandrung laki-laki dan perempuan merangsek ke tengah arena pertunjukan. Tak ayal, hamparan pasir di bibir Pantai Boom seketika berubah menjadi lautan penari gandrung. Gerakan tari yang begitu indah berkali-kali mengundang tepuk tangan meriah penonton. Di akhir penampilannya, seribu lebih pasangan penari gandrung tersebut membentuk formasi I Love (tanda hati) BWI.(radar)