sumber : radarbanyuwangi.jawapos.com – Kasus warung bakso babi di Kelurahan Ngestiharjo, Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi sorotan nasional.
Setelah viralnya spanduk bertuliskan “BAKSO BABI” lengkap dengan logo Dewan Masjid Indonesia (DMI), pemerintah daerah kini bergerak cepat dengan mewajibkan seluruh pedagang kuliner mencantumkan label halal atau nonhalal pada produknya.
Wakil Bupati Bantul Aris Suhariyanta menegaskan kebijakan ini penting untuk melindungi konsumen, khususnya umat Muslim, agar tidak salah mengonsumsi makanan yang mengandung bahan haram.
“Harapan kami, semua penjual makanan, khususnya bakso, wajib mencantumkan label halal maupun nonhalal,” ujar Aris dikutip dari Antara, Selasa (28/10/2025).
Kisruh bermula dari sebuah warung bakso di Ngestiharjo yang diketahui menggunakan daging babi (B2) sejak lama.
Warung yang dikenal sebagai Bakso Pak Saido ini ternyata sudah berjualan sejak 1990-an, namun baru membuka lapak tetap pada 2016.
Selama bertahun-tahun, warung tersebut tidak mencantumkan keterangan nonhalal secara jelas.
Hanya ada tulisan kecil “B2” di gerobak—itu pun kadang dilepas. Akibatnya, banyak pelanggan Muslim tidak mengetahui bahwa bakso yang dikonsumsi mengandung daging babi.
Keresahan warga mencuat saat laporan masuk ke Dewan Masjid Indonesia (DMI) Ngestiharjo dalam sebuah pengajian rutin.
DMI kemudian melakukan pendekatan melalui perangkat RT dan dukuh setempat, meminta penjual agar memasang keterangan jelas bahwa produknya nonhalal.
DMI Turun Tangan, Pasang Spanduk “Bakso Babi”
Karena imbauan tak diindahkan, DMI akhirnya turun langsung memasang spanduk besar bertuliskan “BAKSO BABI” di depan warung tersebut.
Langkah itu disepakati bersama pemilik usaha, yang disebut kooperatif.
“Pemasangan spanduk dilakukan atas izin penjual, tujuannya bukan untuk melarang, tapi memberi informasi agar masyarakat tahu produk itu tidak halal,” jelas Sekjen DMI Ngestiharjo, Ahmad Bukhori.
Namun, spanduk yang mencantumkan logo DMI justru memicu salah paham.
Page 2
Video spanduk itu viral di media sosial, dengan banyak warganet menuding DMI mendukung penjualan produk nonhalal.
“Padahal, maksud kami murni edukatif. Agar umat tahu dan tidak salah makan,” tambah Bukhori.
Langgar Aturan Produk Halal
Menurut Bukhori, tindakan penjual yang tidak mencantumkan label nonhalal melanggar Pasal 93 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa pelaku usaha wajib memberikan keterangan “tidak halal” pada produk yang mengandung bahan dari babi atau unsur haram lainnya.
“Dari sisi hukum jelas melanggar. Dari sisi moral, DMI berkewajiban melindungi umat agar tidak salah konsumsi,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Satpol PP Bantul, Jati Bayu Broto, mengaku masih menunggu arahan resmi dari instansi teknis terkait, termasuk Dinas Kesehatan (Dinkes) dan Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, dan Perdagangan (DKUKMPP).
“Kami menunggu respon dari OPD teknis dulu. Karena ranahnya ada di mereka,” ujarnya.
Pemerintah menegaskan, pencantuman label halal dan nonhalal bukan bentuk diskriminasi, melainkan perlindungan konsumen sekaligus langkah menciptakan transparansi di sektor kuliner.
Langkah Edukasi, Bukan Pelarangan
Kasus bakso babi ini menjadi pelajaran penting bagi seluruh pelaku usaha kuliner di Yogyakarta.
DMI menegaskan bahwa tujuan utama pemasangan label adalah edukasi masyarakat, bukan pelarangan usaha.
“Kalau masyarakat tahu sejak awal, mereka bisa memilih sesuai keyakinan. Ini soal kejujuran dalam berjualan,” tutup Bukhori.
Transparansi Jadi Kunci
Kasus viral bakso babi di Bantul membuka mata banyak pihak tentang pentingnya kejelasan label produk di tengah keberagaman kuliner Indonesia.
Pemerintah pun berharap langkah ini menjadi momentum untuk memperkuat kesadaran pelaku usaha dalam menjaga kepercayaan konsumen. (*)
Page 3
sumber : radarbanyuwangi.jawapos.com – Kasus warung bakso babi di Kelurahan Ngestiharjo, Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi sorotan nasional.
Setelah viralnya spanduk bertuliskan “BAKSO BABI” lengkap dengan logo Dewan Masjid Indonesia (DMI), pemerintah daerah kini bergerak cepat dengan mewajibkan seluruh pedagang kuliner mencantumkan label halal atau nonhalal pada produknya.
Wakil Bupati Bantul Aris Suhariyanta menegaskan kebijakan ini penting untuk melindungi konsumen, khususnya umat Muslim, agar tidak salah mengonsumsi makanan yang mengandung bahan haram.
“Harapan kami, semua penjual makanan, khususnya bakso, wajib mencantumkan label halal maupun nonhalal,” ujar Aris dikutip dari Antara, Selasa (28/10/2025).
Kisruh bermula dari sebuah warung bakso di Ngestiharjo yang diketahui menggunakan daging babi (B2) sejak lama.
Warung yang dikenal sebagai Bakso Pak Saido ini ternyata sudah berjualan sejak 1990-an, namun baru membuka lapak tetap pada 2016.
Selama bertahun-tahun, warung tersebut tidak mencantumkan keterangan nonhalal secara jelas.
Hanya ada tulisan kecil “B2” di gerobak—itu pun kadang dilepas. Akibatnya, banyak pelanggan Muslim tidak mengetahui bahwa bakso yang dikonsumsi mengandung daging babi.
Keresahan warga mencuat saat laporan masuk ke Dewan Masjid Indonesia (DMI) Ngestiharjo dalam sebuah pengajian rutin.
DMI kemudian melakukan pendekatan melalui perangkat RT dan dukuh setempat, meminta penjual agar memasang keterangan jelas bahwa produknya nonhalal.
DMI Turun Tangan, Pasang Spanduk “Bakso Babi”
Karena imbauan tak diindahkan, DMI akhirnya turun langsung memasang spanduk besar bertuliskan “BAKSO BABI” di depan warung tersebut.
Langkah itu disepakati bersama pemilik usaha, yang disebut kooperatif.
“Pemasangan spanduk dilakukan atas izin penjual, tujuannya bukan untuk melarang, tapi memberi informasi agar masyarakat tahu produk itu tidak halal,” jelas Sekjen DMI Ngestiharjo, Ahmad Bukhori.
Namun, spanduk yang mencantumkan logo DMI justru memicu salah paham.






