PAGI itu cuaca di sekitar wilayah Tegaldlimo cukup cerah. Kendaraan banyak yang berlalu lalang di sekitar jalan raya yang ada di daerah ping gir hutan. Dibanding tujuh atau delapan tahun lalu, banyak perubahan yang terlihat di daerah itu, terutama jalan yang kini sudah bagus.
Setelah beberapa tahun tidak pernah melintas di jalan itu, pada Selasa (20/12), saya mengantar teman lama yang kini menjadi direktur LKIS Jogjakarta, Achmad Fikri AF ke Alas Purwo. “Jalannya bagus, alamnya juga asyik sekali,” cetus Achmad Fikri AF saat perjalanan tiba di sekitar Desa/Kecamatan Tegaldlimo.
Perjalanan menuju ke hutan Alas Purwo memang mengasikkan, Fikri berulangkali mengungkapkan rasa kekaguman dengan panorama yang ada di pinggiran hutan itu. Apalagi, saat melihat aliran sungai, tanaman jeruk, dan buah naga di pinggir jalan, bapak tiga putra kelahiran Jakarta itu terus geleng-geleng kepala.
“Banyuwangi itu memang makmur,” pujinya. Suasana agak berbeda saat perjalanan tiba di jalan simpang empat Pasar Anyar, Desa Kalipahit, Kecamatan Tegaldlimo. Dari tempat itu, kami memilih ke utara dengan jurusan situs jati papak. Sebagai penulis buku tentang kajian ke Islaman, Fikri ingin melihat bonggol kayu jati yang konon batangnya diambil oleh Sunan Kalijaga untuk dibuat soko atau tiang di Masjid Demak, Jawa Tengah.
“Hutannya masih alami ya,” katanya. Dari jalan simpang empat menuju situs jati papak, jaraknya sekitar 6,5 kilometer. Jalur yang ditempuh itu berupa jalan makadam yang sudah rusak. Di jalan itu, kanan dan kiri berupa hutan jati dan pohon mahoni.
Di tengah keasikan menikmati panorama hutan Alas Purwo, laju kendaraan sempat terhenti. Jalan yang kami lewati seperti buntu dan terlihat seperti jalan setapak. Di jalan itu banyak ditumbuhi pepohonan. “Gak salah jalannya, ini jalan setapak, mobil apa bisa masuk,” tanya Fikri sambil mengurangi kecepatan mobil.
Jujur saja, saya sendiri juga bingung dan ragu. Sebab, jalan menuju ke situs jati papak itu selama ini cukup bagus dan lebar. Tapi ini, berubah menjadi jalan setapak. Karena ragu, saya mencoba menghubungi Kepala ADM Perhutani KPH Banyuwangi Selatan, Agus Santoso.
“Jalannya ya tetap itu, mas,” kata Agus Santoso dalam telephone. Dari keterangan ADM Perhutani itu, perjalanan diteruskan dengan menerjang pepohonan kecil dan semak blukar yang tumbuh subur di tengah jalan. Lubang yang ada di tengah jalan, tidak terlihat.
“Malah asyik ini, penuh tantangan,” cetus Fikri sambil tertawa lebar. Dalam perjalanan itu hampir tidak berpapasan dengan petugas atau orang lain. Di kanan dan kiri hanya ada pohon jati dan mahoni yang berukuran sedang. Di tengah perjalanan itu, lagi-lagi dibingungkan dengan lokasi situs jati papak.
Sebab, tanda berupa gapura yang ada di pinggir jalan, kini sudah tidak ada lagi. Di tengah kebingunan mencari tanda menuju masuknya situs jati papak, perjalanan terhibur dengan munculnya sejumlah burung merak. Burung itu terlihat berjalan- jalan di jalan yang akan kami lewati.
“Itu bu ada burung merak, bagus sekali,” kata Fikri pada istrinya yang duduk dibelakang. Karena tidak ada penunjuk jalan itu, kami sempat kesasar hingga Pos Resot Jati Papak, TN AP. Tapi, dengan kesasar itu akhirnya bisa melihat panorama yang cukup indah.
Lokasi Pos Resot Jatipapak itu berada di pinggir padang savana yang cukup luas. Di tempat itu, terlihat ada tiga burung merak yang sedang mencari makanan. “Itu ada burung merak,” kata Dudun, petugas di Pos Resot Jatipapak.
Melalui Dudun itu disampaikan kalau lokasi situs jati papak sudah kelewat 1,5 kilometer. Makanya, untuk menuju ke lokasi itu harus kembali. “Sampean kembali lagi, tandanya itu ada dua papan peringatan di pinggir jalan,” jelas Dudun.
Kami pun akhirnya kembali dan berhasil menemukan dua tanda yang seperti disampaikan oleh Dudun. Tapi, dari dua tanda itu untuk menuju ke situs jati papak harus berjalan kaki dengan jarak sekitar 500 meter. “Ini bonggol kayu jati itu ya, besar sekali,” kata Fikri saat melihat situs jati papak.
Situs jati papak yang ada di tengah hutan Alas Purwo itu, terlihat seperti kurang terawat. Bangunan yang menutupi bonggol kayu jati, sudah terbuka. Tidak ada aksesori yang ada di dalamnya, kecuali tempat dupa dan persembahan. Padahal dulunya, di tempat itu tertutup dan penuh dengan gambar-gambar.
Di sekitar situs dulunya juga tampak bersih dan terawatt dengan baik. Tapi kini, semuanya tampak berubah. Di depan situs, ada bekas bangunan yang nyaris ambruk. “Dulu itu bagaimana ya Kanjeng Sunan Kalijaga membawa kayu ke Demak,” ujar Fikri sambil tertawa. (radar)