detik.com
Tradisi Maulid Nabi di Banyuwangi tak hanya penuh kekhusyukan, tapi juga meriah dengan Festival Ndog-ndogan. Arak-arakan kembang telur ini telah mengakar di masyarakat sejak ratusan tahun lalu, berkat gagasan seorang kiai kharismatik, KH Abdullah Faqih dari Pondok Pesantren Cemoro.
Mulai dari tingkat RT, kecamatan, hingga kabupaten, peringatan Maulid Nabi Muhammad di Banyuwangi digelar meriah selama sebulan penuh. Perayaan ini identik dengan Festival Ndog-Ndogan, arak-arakan telur rebus yang dihias dengan aneka bentuk dan diiringi lantunan selawat Nabi oleh ratusan warga.
Di Banyuwangi, tradisi ini berjalan seiring dengan kekhusyukan maulid sebagai wujud cinta umat muslim pada Nabinya. KH Abdullah Faqih dikenal sebagai sosok di balik lestarinya tradisi penuh syiar ini. Gus Fahd Reza, pengurus Pondok Pesantren Alkaf Cemoro di Kecamatan Songgon, menyebut KH Abdullah Faqih sebagai pencetus gagasan festival kembang telur tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Beliau adalah pendiri Ponpes Cemoro sekaligus yang mencetuskan tradisi Ndog-ndogan, tradisi arak arakan kembang telur yang diselenggarakan setiap Maulid Nabi,” tegas Gus Reza, Selasa (16/9/2025).
Tradisi ini bermula di Desa Balak, Kecamatan Songgon (dulu bagian Kecamatan Singojuruh), sekitar akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19.
“Beliau mencetuskan sekitar abad 18 akhir atau awal abad ke 19. Sepulang beliau dari Hizas Makkah. Di Desa Balak Kecamatan Songgon dulu Kecamatan Singojuruh sebelum pemekaran,” jelas Reza.
![]() |
Tradisi Ndog-ndogan sarat makna. Telur menjadi simbol kelahiran Rasulullah SAW, sementara batang bambu yang dihias melambangkan kesejahteraan dan kecerahan bagi masa depan umat muslim.
“Dalam buku yang sudah pernah ditulis di Banyuwangi terkait tradisi Ndog-ndogan ini, telur di sini dimaknai sebagai kelahiran dan batang-batang bambu yang dihias adalah bunga yang tidak mungkin berbunga karena batang bambu itu tapi menumbuhkan telur di ujung tangkainya,” terang Gus Reza.
Selain sebagai pencetus tradisi, KH Abdullah Faqih juga tokoh penting perjuangan kemerdekaan Indonesia. Melalui Komando Laskar Santri Cemoro, ia turut mengatur strategi dalam perjuangan memenangkan kemerdekaan RI.
“Beliau tokoh penting dalam perjuangan Kemerdekaan RI melalui Komando Laskar Santri Cemoro,” tambah Reza.
Kini, tradisi yang menjadi agenda festival tahunan ini telah mendarah daging di masyarakat Banyuwangi, khususnya suku Osing. Ratusan bahkan ribuan telur rebus berhias memenuhi jalanan protokol hingga kampung-kampung, menciptakan suasana guyub rukun bahkan lintas agama.
I Gede Sedana, warga Hindu Banyuwangi, mengaku selalu ikut terlibat dalam perayaan tersebut.
“Di kampung saya ini ya setiap tahun ada muludan, saya juga ikut menghias bahkan mendesain karikaturnya karena khan biasanya saya juga bikin ogoh-ogoh. Memang ada aturan sendiri, yang saya mendesain bentuk telur atau rumah ibadah muslim untuk jadi media tempot telurnya itu,” jelas Gede Sedana.
Lestari dalam harmoni, tradisi peninggalan KH Abdullah Faqih Cemoro ini menjadi syiar Islam yang damai dan inklusif, sejalan dengan kebhinekaan masyarakat Banyuwangi yang majemuk.

(auh/hil)